Kebebasan Berekspresi di Bawah Bayang-Bayang Ancaman

Kebebasan Berekspresi di Bawah Bayang-Bayang Ancaman Diskusi publik Rebut Kebebasan Berekspresi, Wujudkan Demokrasi Digital! yang digelar di halaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Sabtu (8/6/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.
Diskusi publik Rebut Kebebasan Berekspresi, Wujudkan Demokrasi Digital! yang digelar di halaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Sabtu (8/6/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Kebebasan berekspresi di Indonesia berada dalam ancaman serius seiring dengan semakin maraknya penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai alat untuk membungkam kritik dan suara-suara banal.

Hal tersebut menjadi sorotan utama dalam diskusi publik bertajuk “Rebut Kebebasan Berekspresi, Wujudkan Demokrasi Digital!” yang digelar di halaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Sabtu (8/6/2024).

Dalam acara tersebut, founder SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto menyampaikan keprihatinannya mengenai situasi kebebasan berekspresi di tanah air yang kian hari kian merosot.

Menurutnya, UU ini sering kali disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menyuarakan pendapat kritis terhadap pemerintah atau pihak-pihak tertentu.

“Pasal-pasal karet dalam UU ITE, seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, memberikan celah bagi kriminalisasi yang sewenang-wenang. Ini jelas mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi kita,” tegas Damar.

Damar juga mengkritisi langkah pemerintah yang berupaya meloloskan Rancangan Undang-Undang Penyiaran dan revisi Undang-Undang Kepolisian/Tentara Nasional Indonesia (UU Polri/TNI).

Ia menilai, meskipun tujuan dari revisi ini diklaim untuk memperkuat regulasi dan pengawasan, namun dalam praktiknya berpotensi memperketat kontrol negara terhadap media dan ekspresi masyarakat.

“RUU Penyiaran yang tengah dibahas, jika tidak diatur dengan cermat, bisa menjadi alat untuk mengontrol isi siaran yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan tertentu,” lanjutnya.

Damar juga mengajak semua pihak untuk lebih aktif dalam melakukan advokasi kebijakan. Ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk menekan pemerintah agar merevisi UU ITE dan memastikan RUU Penyiaran serta revisi UU Polri/TNI tidak menjadi alat pengekang kebebasan.

“Kita harus bersatu, mengawal proses ini dengan cermat. Jangan biarkan regulasi yang ada justru menjadi alat untuk menindas rakyat. Kita butuh regulasi yang melindungi, bukan yang mengekang,” ujarnya.

Baca juga: Wartawan Aceh Tolak Revisi UU Penyiaran

Damar menekankan pentingnya solidaritas antar berbagai kelompok masyarakat dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi termasuk dari komunitas marjinal. Jangan sampai ketika kebebasan terkekang masyarakat barulah sadar bahaya ketika kebebasan telah direnggut penguasa melalui instrumen negara.

Lebih lanjut, Damar menilai demokrasi di Indonesia masih sebatas demokrasi prosedural. Meskipun mekanisme pemilihan dan transfer kekuasaan sudah sesuai dengan prinsip demokrasi, namun pada kenyataannya yang bertarung hanyalah oligarki; kolaborasi antara penguasa dan pengusaha yang berupaya mempertahankan kekuasaan dan kepentingan kelompok mereka.

“Demokrasi kita masih sangat prosedural. Secara formal, pemilihan umum dilaksanakan, namun substansinya jauh dari kata ideal. Oligarki yang terdiri dari penguasa dan pengusaha terus mendominasi dan mengarahkan kebijakan negara sesuai dengan kepentingan mereka sendiri,” kritik Damar.

Karena itu, Damar juga mengingatkan pentingnya peran masyarakat sipil dalam melawan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Ia menekankan bahwa gerakan kelompok sipil tidak boleh hanya menjadi gelembung kecil yang elit, tetapi harus mampu berbaur dengan masyarakat luas dan menyadarkan mereka tentang bahaya yang mengancam kebebasan berekspresi.

Damar mencontohkan bagaimana di beberapa negara, kebebasan berekspresi menjadi benteng terakhir melawan otoritarianisme. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu padu mempertahankan kebebasan ini. “Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang harus kita jaga bersama,” ungkapnya.

Artikel SebelumnyaPerusahaan Ini Beri Bonus untuk Karyawan Turunkan Berat Badan
Artikel SelanjutnyaPolda Aceh Juara Debat Hukum Mahasiswa Antar Polda Zona Barat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here