KBP Muhammad Insja, Putra Peusangan Pendiri Sekolah Polisi di Aceh

Muhammad Insja kapolda aceh
Komisari Besar Polisi (KBP) Muhammad Insja, kepala Polisi Karasidenan Aceh yang merintis lahirnya Sekola Polisi di Aceh, yang menjadi SP pertama di Sumatera. Foto: Repro/Muhajir Juli.

Lahir di Peusangan pada tahun 1909, Muhammad Insja merupakan seorang perwira polisi yang sangat disegani di masanya. Kiprahnya sebagai seorang bhayangkara telah meninggalkan banyak jejak sejarah. Salah satunya Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah. Cikal bakalnya merupakan mahakarya Komisaris Besar Polisi (KBP) Muhammad Insja. SPN Seulawah berada di bawah tanggung jawab Polda Aceh.

Muhammad merupakan putra seorang qadhi di Peusangan yang bernama Insja. Orang-orang sering menyebut nama ayahnya dengan panggilan Teungku Qadhi H. Mainsja. Sang qadhi tokoh yang tidak menyukai Belanda.

Baca juga: Susu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh

Oleh karena itu dia segera menolak ketika Teuku Chiek Peusangan Muhammad Djohan Alamsjah memberikan beasiswa kepada putera-puteri Nanggroe Peusangan melanjutkan menimba ilmu di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Tidak mudah membujuk rakyat Peusangan supaya menyekolahkan anak-anaknya. Teuku Chiek Peusangan yang lahir pada25 Juni 1890, meski dicintai oleh rakyatnya, tetapi tidak begitu saja didengar perihal mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah umum.

“Jangan kirim anak-anak kita ke sekolah umum. Nanti setelah besar akan jadi kafir.” demikian seruan paling umum kala itu, baik melalui mimbar-mimbar maulid, mimbar Jumat, maupun dalam pertemuan-pertemuan informal; termasuk diskusi di jambo jaga.

Dalam minda orang-orang Peusangan waktu itu—seturut dengan pikiran umum orang Aceh—pendidikan yang benar yaitu yang diselenggarakan oleh dayah-dayah. Di Peusangan sendiri cukup mudah menemukan zawiyah-zawiyah kecil kala itu.

Namun Teuku Chiek Peusangan tidak berhenti begitu saja. Ia terus berupaya supaya anak-anak Peusangan bersedia menempuh pendidikan umum, supaya terbebas dari buta huruf Latin. Menurut Ampon Chiek, tidak mungkin lagi rakyatnya dipisahkan dengan bahasa yang ditulis dalam huruf Latin. Dunia telah berubah, dan rakyatnya harus menyesuaikan diri.

Demi mempercepat tercapainya tujuan, Teuku Chiek Peusangan bekerja sama dengan para ulama modernis kala itu mendirikan Jamiatul Almuslim yang kini dikenal dengan Yayasan Almuslim Peusangan. Bukan saja memberikan dukungan finansial dan aset, Teuku Chiek ikut meyakinkan Pemerintah Hindia Belanda bahwa Almuslim murni sebagai lembaga pendidikan, bukan organisasi politik.Maka pada 21 Jumadil Akhir 1348 Hijriah, atau bertepatan dengan 24 November 1929 Masehi, berdirilah Jamiatul Almuslim di ibukota Nanggroe Peusangan, Matangglumpangdua.

Di luar Almuslim, Teuku Chiek mengirim utusan ke kampung-kampung membujuk wali murid supaya menyerahkan putera-putera mereka supaya dikirimkan ke sekolah-sekolah yang sudah dibentuk oleh pemerintah kala itu. Salah satu yang terpilih yaitu Muhammad, bocah berkulit legam yang gemar berkelahi.

Perangai Muhammad Insja sangatlah rebel. Jiwanya bergelora, bila ditantang bergelut di luasnya sawah, dia berpantang menolak.

Tidak mudah bagi utusan Ampon Chiek membujuk Teungku H. Mainsya. Pria itu sangat sulit ditundukkan. Setelah berkali-kali dibujuk barulah ia luluh dan mempersilakan puteranya disekolahkan.

Ibarat lolos dari mulut harimau jatuh pula ke mulut buaya. Berhasil menundukkan ayah, harus pula berjuang menundukkan anaknya. Muhammad sangat Bengal. Dia kerap lari dari sekolahnya. Kemudian bergabung dengan teman-temannya di sawah, berkelahi dan bergembira di sana. Seorang mantan bawahannya pernah menulis bahwa sang perwira di masa kecilnya sangat “liar”perangainya. Seumpama sapi hutan yang sulit ditundukkan.

Melihat potensi besar di dalam jiwanya yang penuh gairah, pemerintah menetapkan seorang opas yang khusus menjaga Muhammad. Setiap pagi si opas akan datang ke rumah Teungku H. Mainsja, menjemput Muhammad dan diantar ke sekolah. Tangan kiri Muhammad diborgol supaya tidak lari. Di dalam kelas, opas harus menemaninya hingga selesai pelajaran.

Muhammad Insja Menjadi Polisi

Semakin hari bertambah terlihat bakat alamiah di dalam jiwa Muhammad. Dia memiliki skill kepemimpinan, jiwanya selalu bergelora, dan sangat menguasai pelajaran yang diebrikan oleh guru-gurunya. Gurunya yang bernama Sutan Mangkudun menyarankan kepada Teuku Chiek supaya melanjutkan pelajaran Muhammad ke sekolah berbahasa Belanda. Saran itu diterima. Usai menamatkan pelajarannya di sana, ia didaftarkan ke Akademi Kepolisian Kerajaan Belanda di Sukabumi (Politie School)—tempat tersebut sekarang Setukpa Lemdiklat Polri–, yang di masa itu tempat menggembleng Siswa Agen Polisi, Siswa Komandan Polisi, Siswa Inspektur Polisi dan Siswa Mantri Polisi.

Setelah lulus di Politie School Sukabumi, Muhammad Insja diangkat menjadi polisi. Pada masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia, Muhammad Insja ditempatkan sebagai Panglima Barisan Keamanan Rakyat (BKR) di Jambi. Tahun 1946 dia pulang ke Aceh menjadi Kepala Kantor Kepolisian Daerah Aceh Kelas I berkedudukan di Kutaraja. Pangkatnya kala itu Komisaris Besar Polisi.

Saat itu dia memerintahkan Abdullah Husein memeriksa semua tahanan politik akibat revolusi sosial berawal dari Perang Cumbok yang ditahan di Pidie dan Aceh Tengah.

Dalam buku Profesionalism Courage Dignity yang diterbitkan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, 2009, disebutkan bila KBP Muhammad Insja ditunjuk sebagai Kepala Polisi Karasidenan Aceh pada 1946 sampai 1959. Ia menggantikan Kom Pol Kelas I Muhammad Hasyim yang memimpin sejak 1945-1946.

Membentuk Sekolah Polisi

Tidak lama setelah ditunjuk sebagai Kepala Kepolisian Karasidenan Aceh, KBP Muhammad Insja membentuk Sekolah Kepolisian yang secara resmi dibuka pada 1 November 1947. Sekolah Polisi itu pertama kali berkantor di kawasan Peuniti tepatnya di Detasemen Polisi Militer Kodam Iskandar Muda sekarang. Jumlah tenaga pengajar saat itu 12 orang yang berasal dari internal maupun eksternal.

Sekolah Polisi di lingkungan Kepolisian Aceh merupakan sekolah polisi pertama di Sumatera. Diresmikan oleh Residen Aceh Teuku Chiek Muhammad Daudsyah. Tujuan utama pendirian sekolah itu demi mengisi kebutuhan kader kepolisian, sekaligus dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan.

Jumlah siswa pertama sekolah tersebut berjumlah 60 orang, dengan lama belajar enam bulan. Materi pendidikannya seputar ketertiban dalam masyarakat. Sekolah tersebut merupakan satu-satunya lembaga pendidikan elit di masa itu, di mana siswanya setelah lulus langsung siap pakai  dalam mengamankan kota dan lingkungan.Kepala Sekolah saat itu AKBP Abdoellah Paloeh.

Mimpi Besar Muhammad Insja

Mendirikan Sekolah Kepolisian di Aceh tidak bermakna KBP Muhammad Isnja berpikir sempit. Ia memimpikan kepolisian yang ia pimpin membentuk kepolisian Indonesia yang setaraf kepolisian internasional.

Dia kemudian membentuk wadah komunikasi antarsesama polisi yang mencakup Aceh dan Langkat. Pada saat itu Persatuan Pegawai Polisi (P3) Aceh dan Langkat menerbitkan majalah bulanan yang diberi nama Suara Polisi. Majalah tersebut memuat tulisan mengenai kepolisian, ketentaraan, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan olahraga.

Majalah Suara Polisi juga memuat artikel yang ditulis oleh petinggi dan tokoh masyarakat. Majalah ini terbit untuk pertama kali pada 28 November 1949.

Dalam konferensi P3 pada 9 Desember 1949 yang dihadiri oleh Wakil Perdana Menteri Amir Syarifuddin Prawiranegara, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Teungku Muhammad Daoed Bereueh, Komandan Divisi X Komandemen Sumatera Letkol Husin Yusuf, pejabat sipil dan militer, KBP Muhammad Insja dalam pidatonya mengajak sejak dini polisi berorientasi menjadi professional serta memperoleh kehormatan di mata rakyat.

Muhammad Insja
Dari kiri ke kanan: Perdana Menteri Ir. H. Juanda, Kepala Kepolisian Aceh dan Sumatera Utara KBP Muhammad Insja, Gubernur Aceh Ali Hasjmy, Menteri Sosial Mulyadi, Panglima Kodam I/Iskandar Muda Kolonel Syamaun gaharu, Ketua DPRD Aceh Abduhsyam. Foto: Repro.

“Kita bukan polisi fasis, bukan polisi kolonial,tetapi polisi Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Polisi harus menjadi pelindung rakyat, tempat meminta tolong,” ujar KBP Muhammad Insja.

Konferensi yang berakhir pada 13 Desember 1949 menghasilkan beberapa kesimpulan.

  1. Reorganisasi Persatuan Pegawai Polisi Daerah Aceh dan Langkat.
  2. Meminta kepada Pemerintah Agar Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi inti Kepolisian Republik Indonesia Serikat (saat itu pembentukan RIS sedang diwacanakan).
  3. Meminta kepada pemerintah agar kepolisian memiliki kementerian tersendiri dan menolak berada di bawah kementerian lain.
  4. Memberi akses yang luas bagi pegawai polisi dalam Kepolisian Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan guna mencapai mutu kepolisian yang ditetapkan, serta;
  5. Mengadakan perpustakaan.

Dalam beberapa tahun kemudian, KBP Muhammad Insja ditunjuk sebagai Kepala Polisi Aceh dan Sumatera Utara dan berkantor di Kota Medan. Ketika Daoed Bereueh mengangkat senjata melawan Republik, Muhammad Insja ikut turun tangan membujuk sang ulama PUSA supaya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Salah satu karya monumentalnya bersama teman-temannya yang lain yaitu Ikrar Lamteh.

Artikel SebelumnyaMila Craft, Sentra Kerajinan Bordir Aceh Utara yang Mendunia
Artikel SelanjutnyaAspirasi Tak Dihargai, Pengurus DPC PDIP Aceh Timur Mundur Massal
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here