Komparatif.ID, Banda Aceh— Kapolda Aceh Irjen Pol. Marzuki Ali Basyah mengingatkan kemungkinan munculnya potensi konflik sosial akibat meningkatnya gelombang antipati masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya.
Hal itu ia sampaikan saat diskusi “Workshop Seri III: Kebijakan, Respon, dan Pembelajaran pada Kondisi Kedaruratan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia” yang diselenggarakan secara virtual pada Selasa (16/9/2025) oleh Pusat Riset Politik BRIN bersama UNHCR, IOM, dan JRS.
Marzuki menilai falsafah peumulia jamee atau memuliakan tamu, yang selama ini menjadi ciri khas budaya masyarakat Aceh, mulai terkikis akibat serangkaian insiden memprihatinkan seperti demo mahasiswa yang menolak pengungsi Rohingya yang ditempat di basement gedung Balee Meuseuraya Aceh .
Menurutnya, perubahan sikap ini bukan dilandasi penolakan terhadap nilai kemanusiaan, melainkan muncul dari ketidakharmonisan dalam interaksi sosial. Salah satu insiden yang menjadi titik balik terjadi pada 2024, ketika bantuan makanan dari warga dilaporkan dibuang oleh sebagian pengungsi.
Peristiwa itu, kata Marzuki, melukai perasaan kolektif masyarakat Aceh dan menumbuhkan sikap antipati yang kian meluas.
“Secara sosiologis, respon masyarakat yang dulunya baik, sekarang sudah mulai menolak. Mengapa? Karena ketidakharmonisan. Dulu masyarakat Aceh memegang teguh istilah peumulia jamee, artinya setiap tamu harus dimuliakan. Namun, sejak ada insiden itu, masyarakat menjadi antipati. Ini yang sangat berbahaya karena suatu saat bisa memicu konflik fisik,” ujar Marzuki.
Dalam paparannya, Marzuki juga menekankan data statistik yang memperlihatkan dinamika kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh sejak 2009. Polda Aceh mencatat sedikitnya 41 kali pendaratan pengungsi dengan total 5.719 orang yang pernah terdata.
Baca juga: Elemen Sipil Kecam Penelantaran 93 Pengungsi Rohingya di Langsa
Namun, berdasarkan data per September 2025, hanya 423 orang yang masih berada di empat lokasi penampungan resmi di Pidie, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Ribuan sisanya tidak lagi terlacak keberadaannya.
“Bayangkan saja, sudah sekitar 5.719 orang yang bisa kita katakan tidak berada di Aceh lagi. Mungkin ada yang meninggal, kabur, berpindah ke tempat lain, berbaur dengan masyarakat, atau bahkan berkeluarga. Fenomena ini menjadi ancaman tersendiri karena keberadaan mereka tanpa identitas yang jelas menimbulkan risiko terhadap keamanan dan stabilitas sosial,” tegasnya.
Jenderal bintang dua asal Tangse itu menilai kondisi ini sebagai tantangan besar yang harus dihadapi secara hati-hati. Menurutnya, aparat kepolisian berada dalam posisi dilematis karena di satu sisi terikat oleh Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 yang menekankan pendekatan kemanusiaan dalam penanganan pengungsi, sementara di sisi lain ada kewajiban berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang mewajibkan penegakan hukum dan menjaga stabilitas dalam negeri.
“Di sinilah kadang-kadang batin kita menolak, tapi harus kita laksanakan,” ujarnya, menggambarkan tarik menarik antara tuntutan kemanusiaan dan kewajiban hukum yang harus dijalankan.
Untuk menyikapi persoalan ini, Marzuki menyebut Polda Aceh menjalankan strategi ganda. Di satu sisi, tetap melaksanakan operasi pencarian dan penyelamatan di laut untuk mengevakuasi pengungsi yang terdampar, kemudian menyerahkan mereka kepada Rumah Detensi Imigrasi untuk proses lebih lanjut.
Di sisi lain, kepolisian juga memperkuat kerja sama dengan Imigrasi dan lembaga internasional dalam kerangka kolaborasi pentahelix, termasuk bersama UNHCR, guna memastikan aspek kemanusiaan tetap terjaga.
Selain itu, Marzuki menegaskan Polri tetap menjalankan peran penting dalam penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang sering menjadikan pengungsi Rohingya sebagai korban. Dengan kombinasi pendekatan kemanusiaan dan penegakan hukum, ia berharap potensi konflik dapat diminimalisasi dan stabilitas sosial di Aceh tetap terjaga.