
Evendi berlari ke meunasah Kapa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.20 Wib. Dia segera membuat pengumuman, memberitahu warganya bahwa banjir menerjang desa tersebut.
Rabu, 26 November 2025, tengah malam, air Sungai Peusangan dalam jumlah yang sangat besar mulai memasuki Gampong Kapa, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Aceh. Air berwana cokelat pekat itu datang dalam jumlah yang sangat banyak.
Keuchik Kapa, Evendi,S.Pd, M.Pd, malam itu tidak tidur. Sejak Selasa, 25 November, pukul 23.00 Wib, dia memantau debit air Krueng Peusangan di Bendungan Karet. Semakin larut, debit air bertambah banyak.
Ketika air mulai membanjiri tepian sungai, Evendi segera berlari menuju Meunasah Gampong Kapa. Menghidupkan microphone dan membuat pengumuman.
“Banjir! Banjir! Seluruh warga segera selamatkan diri. Bangun! Bangun!” teriaknya. Suara Evendi memecah malam yang basah. Hujan deras masih turun. Air hujan ditelan banjir yang semakin menggila.
Seorang warga yang sedang mencoba tidur, terganggu dengan suara keras dari meunasah. Sembari bangkit dari tempat tidur, dia mengoceh kesal.
“Malam-malam bikin pengumuman. Kenapa tidak besok pagi saja?” sungutnya kesal. Dia berjalan menuju ruang tamu.Pengumuman itu tak jelas ia dengar. Dia bermaksud mendengar sekali lagi.
Ketika dia membuka pintu depan, air langsung menerjang masuk. Tangannya tergores kayu, dan dia terjatuh ke lantai. Tubuh pria itu basah.

Setelah membuat pengumuman, Evendi segera berlari pulang ke rumah. Tapi dia tidak bisa lagi berlari. Air sudah sepinggang orang dewasa. Sembari mengumandangkan keesaan Ilahi, Evendi bersusah payah mengarungi lautan banjir. Akhirnya dia mencapai rumah.
Alumnus Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Almuslim tersebut, segera mengevakuasi keluarga ke meunasah.
Tiba di meunasah, banyak warga yang telah berkumpul. Meunasah merupakan satu-satunya tempat yang agak tinggi di desa tersebut.
Pagi tiba. Matahari yang terbit, tidak begitu mampu menerangi bumi. Sinarnya tertutup mendung.
Debit air Krueng Peusangan semakin meninggi. Di hulu, sungai itu mengamuk dengan amarah sangat dahsyat. Sejumlah desa di sepanjang aliran sungai tersebut diterjang. Rumah-rumah penduduk ditelan seperti kerupuk yang terjatuh ke dalam kuah mie sop.
Sejumlah tanggul jebol. Di Pante Lhong, di Krueng Panjoe, semuanya telah jebol. Kapa terkurung di tengah. Desa yang bersisian langsung dengan Krueng Peusangan tersebut langsung terisolasi.
Anak-anak diungsikan ke atap meunasah. Yang dewasa bertahan di bawah. Mencari tempat aman masing-masing sesuai kemampuan.
Kapa Hancur, Gelondongan Kayu Menumpuk
Kamis, 18 Desember 2025, Komparatif.ID berkunjung ke desa itu. Jalan utama telah dibersihkan dari lumpur. Truk tangka milik Palang Merah Indonesia (PMI) Bireuen keluar dari sebuah lorong, melintasi jembatan kecil dan meninggalkan desa.
Mobil tangka tersebut baru saja mengantarkan air bersih untuk pengungsi di Kapa.
Tumpukan besar kayu berserakan di tepi sungai. Air sungai telah surut. Warga masih mengungsi. Petugas lapangan PLN sedang bekerja membetulkan jaringan listrik.
Baca: Jembatan Bailey Awe Geutah Berlaku Sistem Buka-Tutup
Beberapa warga terlihat membersihkan sedimen lumpur di dalam rumah. Wajah mereka terlihat sangat lelah. Di halaman dan kebun-kebun, lumpur bercampur pasir dalam jumlah yang sangat banyak masih belum tersentuh.

18 unit rumah diterjang banjir dan ditelan sungai. 30 unit rumah rusak parah. Selebihnya rusak ringan. Satu warga bernama M. Nasir (50) dinyatakan hilang. Warga Dusun Grep tersebut pada malam kejadian menolak mengevakuasi diri.
Ketika air sudah semakin meninggi, Nasir baru minta tolong. Ada warga yang mencoba menolong. Tapi yang bersangkutan tersangkut pagar kawat berduri. Nasir yang terus berteriak minta tolong, kemudian hilang di dalam aliran banjir bandang itu.
Ketika Komparatif.ID bertemu dengan Evendi, pria itu terlihat lebih tua lima tahun dari usianya. Kulitnya yang dulu kuning langsat, kini terlihat legam. Pria yang dulu terlihat selalu rapi, kini berpenampilan awut-awutan. Di lengan sebelah kiri terpasang jarum infus.
“Sudah beberapa hari kesehatanku drop,” katanya sembari mencoba tersenyum.
Komparatif.ID dan Evendi bertemu di sebuah warung kopi. Di sana dia sedang mengecas hape karena di Kapa listrik belum menyala.
Satu warganya, perempuan lansia, meninggal dunia karena tidak bisa berak berhari-hari, disebabkan tidak tersedianya kakus di lokasi pengungsian.
“Hari ini aku sudah memulai penggalian kakus umum darurat,” katanya. Dia tidak ingin kematian warganya berulang hanya gara-gara fasilitas pengungsian yang tidak lengkap.
Jumlah pengungsi di kamp Gampong Kapa 407 jiwa. Dengan jumlah KK 127.
“Desa Kapa hancur. Banjir telah merenggut semuanya dari kami. Lahan pertanian, rumah, fasilitas publik, semuanya telah hancur. Sedimen dari material banjir menggunung di dalam rumah. Kalau di luar rumah jangan tanya lagi,” kata Evendi.
Sejak Kamis, dapur umum di pengungsian mulai dijalankan secara gotong royong. Warga dibuatkan piket memasak.Sebelumnya dia mengupah orang untuk memasak.
“Ada yang bandel, tapi aku ancam. Kalau tak mau membantu, aku juga tidak akan membantu dia lagi,” kata Evendi yang dikenal dengan panggilan Pak Pen. Mantan aktivis mahasiswa tersebut merupakan dosen di Universitas Almuslim.
Evendi menghela nafas. Semuanya telah hancur. Peradaban berpuluh tahun, sirna seketika, tatkala air Krueng Peusangan menghantam permukiman.
Jelang kumandang Salat Asar dia pamit. Dia harus kembali ke Gampong Kapa, mengerjakan beberapa tugas darurat kemanusiaan.











