Komparatif.ID, Banda Aceh—Seni kaligrafi Arab [Islam] pernah mencapai level tertinggi di pantai Utara Sumatra (Pasai), bahkan berhasil mengambil posisi di titik sentral kebudayaannya sepanjang abad ke-15 dan 16.
Demikian disampaikan oleh Abu Taqiyuddin Muhammad, Epigraf Aceh lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, pada seminar pada acara Festival Ornamen Aceh (FOA) 2023) yang digelar oleh Laboratorium Seni Aceh Rakitan, yang bekerja sama dengan lintas komunitas budaya, dan didanai oleh DanaIndonesiana Kemendikbud, Sabtu (10/6/2023) di hall Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh.
Warisan seni kaligrafi Arab yang dipahat di nisan-nisan tinggalan masa lalu, menurut Abu Taqiyuddin merupakan sebuah keajaiban. Sebab habitat seni kaligrafi Arab adalah bahasa Arab. Apakah Aceh yang kini gagap berbahasa Arab bisa mencapai level sangat tinggi dalam seni kaligrafi, andaikan di masa itu di pusat-pusat peradabannya para intelektualnya tidak menguasai bahasa Arab?
Baca: Moleknya Wajah Aceh Dalam Ornamen Masa Lampau
Abu Taqiyuddin menyimpulkan bahwa keajaiban di bawah khatulistiwa tersebut masih membutuhkan penyelidikan yang lebih luas. Karena [seharusnya] untuk mencapai level tertinggi, baru masuk akal bila tanah Aceh bersambung dengan jazirah Arab semisal Damaskus, Baghdad, Mesir, Andalusia, dan lain-lain.
Namun yang uniknya lagi, pada kenyataannya kesenian semisal itu malah tidak pernah dijumpai di pusat-pusat kebudayaan Islam lain di dunia. Ini merupakan keajaiban di bawah khatulistiwa.
“Pada era abad ke-15 dan 16, kesenian kaligrafi yang berkembang di Aceh tidak lagi menunjukkan masa kanak-kanak yang lebih banyak meniru. Tapi justru sudah mencapai masa kedewasaan dan kematangan. Itu dapat dilihat dari berbagai penciptaan dan inovasi dipertunjukkan.
Mencapai level tertinggi harus melalui proses berat dan panjang. Titik awal persentuhan [Aceh] dan Islam mesti ditarik lebih jauh ke ratusan tahun sebelumnya,” sebut Abu Taqiyuddin Muhammad.
Watak Kesenian Aceh dan Kaligrafi Arab
Di pantai utara Aceh, tepatnya di Wilayah Pasai, 600 tahun dari sekarang, watak keseniannya telah dimanifestasikan oleh produk seni rupa dalam wujud batu-batu nisan kubur.
Batu-batu nisan berukir itu merupakan hasil pekerjaan seniman Muslim yang memiliki penghayatan mendalam [mewataki] karya seni ciptaannya. Karya-karya tersebut mencerminkan para penciptanya mestilah budayawan sekaligus intelektual Muslim. Kedalaman pengetahuan keislaman yang menjadikan mereka melahirkan karya seni kaligrafi tingkat tinggi.
“Watak kesenian yang tampil pada batu-batu nisan memperkuat keyakinan saya bahwa dapat menjadi tolok ukur bagi watak ragam kesenian yang pernah hidup dan berkembang di masa lampau di Aceh,” sebut Abu Taqiyuddin.