Nasir tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan dikerjain oleh geunteut, makhluk halus yang bertubuh tinggi, berwarna hitam, yang selalu menenteng periuk nasi di tangannya.
Nasir, seorang penggiat lingkungan hidup di Aceh, merupakan sosok serba bisa. Dia mampu mengoperasikan komputer dengan baik, dan memanfaatkan berbagai fitur di dalamnya. Ia mampu bertukang—meubel dan membangun rumah—mampu menulis dengan baik, mampu menguasai pengetahuan lingkungan hidup, dan lain-lain.
Baca: Pemimpin dan Para Geunteut di Lingkar Kuasa
Nasir juga mampu meyakinkan Ratna—pacarnya kala kuliah—bahwa dirinya merupakan pria yang baik. Ratna pun percaya. Mereka menikah dan kini telah dikarunia tiga anak. Kepercayaan Ratna tidak disia-siakan oleh pria penggemar cerita hantu tersebut. Alumnus Universitas Almuslim Peusangan tersebut benar-benar mampu menjadi suami yang baik, dan ayah yang asyik.
Suatu ketika pada tahun 2022. Nasir dan rombongan penggiat lingkungan hidup sedang melakukan pemetaan kawasan hutan di rimba hutan hujan tropis di kawasan Gunong Geureudong yang masuk kawasan Kabupaten Bener Meriah.
Jelang Maghrib mereka beranjak pulang. Jumlah timnya tujuh orang. Nasir berjalan di urutan keenam, menyusuri rimba bermodalkan kompas.
Sinar matahari sore tak mampu menembus lebatnya kanopi hutan. Mereka berjalan pelan. Jaraknya antara satu orang dengan yang lain kira-kira lima meter. Demikianlah mereka mengatur formasi. Mereka berjalan dalam diam. Tidak ada yang bicara.
Pada sebuah perlintasan, Nasir melihat orang yang berjalan di depan belok kiri. Di tengah reuneum –ketika cahaya matahari sudah bercampur dengan kegelapan sehingga wujud benda mulai samar–, Nasir juga mengikuti orang di depan. Dia terus berjalan menyusuri rimba. Sekitar 30 menit kemudian dia tersadar. Kesadaran tersebut bermula ketika dia harus menanjak.
“Tadi waktu berangkat, tidak ada turunan. Mengapa sekarang harus menanjak?” kata Nasir pada dirinya sendiri.
Dan, orang yang tadi berjalan di depan, tiba-tiba menghilang.
Pria yang dikenal ramah tersebut kaget. Nasi telah menjadi bubur. Signal hape tak ada. Gelap telah seluruhnya berkuasa. Suara jengkerik hutan, suara cacing tanah, dan suara desau angin menerpa dedaunan, menghadirkan suasana mistis.
Nasir menghela nafas. Dia berhenti sejenak. Menarik nafas dalam-dalam, supaya oksigen ke otak kembali penuh.
“Droekuh kajiba le geunteut,” katanya dalam hati.
Bukan Teungku Buloh namanya –demikian namanya di Facebook—bila tak banyak akal. Jiwa survivalnya segera bangkit. Dia menyapu pandangan ke segala arah. Nun di sana, dia melihat cahaya lampu listrik. Kira-kira berjarak sekitar tujuh kilometer. Demikian dia menebak. Dia pun memilih mengikuti arah lampu listrik tersebut.
***
Enam orang yang tadinya bersama Nasir telah mencapai perkampungan. Mereka melaporkan kepada warga bila salah satu teman mereka hilang dalam perjalanan. Teman yang berjalan paling belakang mengaku melihat Nasir belok kiri.
Dia mengira sang aktivis hendak Salat Magrib. Maklum, di tempat aktivis WALHI Aceh itu mengambil jalan berbeda, terdapat satu pondok kecil, yang disampingnya ada alur yang mengalirkan air cukup jernih.
Warga yang berkumpul semakin banyak. Mereka sudah sepakat membentuk tim. Mau tak mau harus ada tim yang menyusuri jejak teman mereka yang kesasar di tengah rimba.
Kira-kira satu jam kemudian, Nasir muncul di tengah kerumunan. Dengan wajah lelah dia mengatakan dirinya tersesat. Saat dia hendak bercerita kepada tetua desa, kepala desa mengatakan, “Tak perlu diceritakan. Saya sudah tahu. Kamu orang ketujuh yang jiba le geunteut di rimba itu,” sebut sang keuchik.
***
Kisah lainnya, seorang anak muda penggiat lingkungan hidup berjenis kelamin laki-laki (awalnya tertulis perempuan), bertugas melakukan pemetaan ke kawasan Gunong Geureudong. Dia ditemani oleh lima pawang senior dari warga tempatan di Bener Meriah.
Mereka masuk ke tengah hutan yang lebat. Ketika sore tiba, sudah waktunya pulang. Tapi timbul perdebatan. Sang peneliti memberikan petunjuk arah berdasarkan peta digital yang ada pada dirinya. tapi peta digital itu dianggap tidak tepat oleh para pawang.
Para pawang itu lebih memilih pengalaman dan insting mereka. Mereka berdebat. Tapi karena seorang diri di tengah pawang senior, serta malas berdebat lebih lanjut, sang peneliti mengalah. Dia ikut saja seperti dikatakan para pawang.
Dengan eumbong-nya, pawang-pawang itu menyusuri hutan yang mulai gelap. Mereka percaya insting berburu rusa—mengikuti jalur perburuan rusa—merupakan pengalaman termewah yang dapat diandalkan. Hasilnya, mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan. Mereka tersesat.
Untungnya di wilayah tersebut dapat dijangkau signal telepon. Sang peneliti meminta bantuan kepada teman-teman kantornya di Banda Aceh. Suasana pun tegang. Seorang peneliti muda bersama sejumlah pria tua tersesat di tengah hutan hujan tropis di Gunong Geureudong.
Rombongan dari Banda Aceh bergegas menuju Bener Meriah. Mereka tiba di sana pada pagi hari. Setelah dilakukan pencarian selama dua hari, peneliti dan para pawang itu ditemukan di tengah rimba dengan kondisi lemah.












