Demi Majukan Aceh, Iskandar Muda Lakukan Revolusi Politik dan Ekonomi

Iskandar Muda
Mirza Ardi. Foto: Dok. ICAIOS.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Iskandar Muda merupakan Sultan pertama di Aceh yang melakukan sentralisasi kekuasaan. Ia mencopot para ulee balang lama, dan menggantikan dengan orang-orang yang loyal kepadanya. Ulee balang yang melawan, diperangi oleh Sultan Iskandar Muda.

Demikian disampaikan Muhammad Mirza Ardi, Mahasiswa PhD Kajian Asia Tenggara, National University of Singapura, Sabtu, 28 Desember 2024, pada Pidato Kebudayaan yang digelar International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) di Darussalam, Banda Aceh.

Mirza Ardi yang merupakan salah satu intelektual muda Aceh yang menggeluti kajian sosial budaya dan politik, dalam pidatonya mengatakan, keadaan politik dan ekonomi Aceh sangat tidak stabil sebelum Iskandar Muda didaulat menjadi Sultan Aceh.

Baca: Iskandar Jalil  Legenda Sepakbola dari Tanah Rencong

Dalam acara yang bertujuan melakukan refleksi 20 tahun musibah gempabumi dan tsunami, Mirza Ardi mengangkat tema pidato budaya dengan tajuk Jatuh Bangun Bangsa Teuleubeh: Struktur, Agensi, dan Momentum  yang Terlepas

“Penting kiranya di momen ini kita melakukan sedikit refleksi sejarah ekonomi politik Aceh untuk mengambil pelajaran, dengan tujuan kita terhindar dari bencana kemanusiaan berupa kemiskinan dan kemunduran,” kata Mirza Ardi.

Ia pun mengulas tentang sepak terjang Iskandar Muda yang mewarisi Aceh dalam kondisi tidak menentu.

Mirza Ardi mengatakan, menurut catatan Denys Lombard,yang menjadi supervisornya sejarawan Aceh Isa Sulaiman—yang syahid dalam musibah gempabumi dan tsunami—Iskandar Muda dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah krisis perpolitikan dan ekonomi di Kesultanan Aceh.

Situasi politik tidak stabil, semua orang saling sikat menyikat, dan rakyat menghadapi bencana kekurangan pangan yang sangat parah.

Dalam satu tahun pada 1579, terjadi tiga kali pergantian sultan. Pada tahun itu dua sultan dibunuh. Para elit saling bertikai demi merebut kekuasaan.

Para ulee balang banyak yang tidak setia. Mereka hanya memikirkan kekuasaan semata. Sebagai putera mahkota, Iskandar Muda melihat semuanya tanpa dapat melakukan apa pun. Posisinya sangat lemah. Banyak ulee balang yang tidak mau tunduk, dan banyak pula elit yang mengincar posisinya.

Di luar Istana Daruddunya, kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak rakyat yang mati kelaparan. Rakyat krisis pangan. Sultan terpaksa melakukan impor berasa dari India.

Kelaparan tersebut terjadi karena lahan pertanian dan perkebunan dikuasai oleh parte orang kaya dan ulee balang. Mereka lebih fokus menanam lada sebagai komoditas ekspor ketimbang menanam padi. Sedangkan padi yang ditanam hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Sultan dan keluarga, orang kaya, ulee balang, dan sebagian masyarakat. Untuk rakyat yang hidup di kota, makanan pokok tersebut tidak tersedia.

Mirza mengatakan, tidak mudah memproduksi beras saat itu. Menghasilkan beras butuh tenaga kerja berupa petani. Mayoritas petani di masa kesultanan adalah para budak yang didapatkan dari mengalahkan kerajaan kecil lain. Sehingga, untuk menghasilkan beras, sultan juga harus mendapatkan budak-budak baru dengan cara ekspansi kekuasaan. Masalahnya, walaupun sudah mendapatkan budak baru, banyak yang tewas karena kelaparan, bahkan sebelum bekerja karena tidak ada makanan.

“Inilah dua situasi yang dihadapi Iskandar Muda sebelum ia berkuasa. Ia sadar betul bahwa walau ia berkuasa, hidupnya tidak baik-baik saja. Ia bisa saja dibunuh, dan ia akan memimpin sebuah wilayah yang penduduknya melarat kelaparan,” sebutnya.

Kelaparan terjadi saat itu bukan karena kondisi alam yang tidak subur, bukan juga karena iklim panceklik, tapi karena keputusan politik para elit ulee balang dan orang kaya.

Kelaparan di Aceh adalah buatan manusia, bukan takdir dari langit. Solusinya: perlu ada agensi yang mengubah struktur ini. Setiap perubahan, pasti ada perlawanan dari individu-individu yang menikmati struktur yang lama, yakni kelompok orang kaya dan ulee balang. Oleh karena itu, untuk mengubah struktur, daya dorong agensi harus lebih kuat daripada daya tolak struktur.  Dengan kata lain, dibutuhkan pemimpin yang kuat atau strong leader untuk mengubah struktur. Iskandar  Muda harus lebih kuat daripada oposisinya.

Nah, Iskandar Muda, sadar akan hal itu. Ia sudah menyiapkan dirinya sebagai  agensi dengan cara mengumpulkan orang-orang yang loyal padanya.  Ia pun sudah ada rencana atau visi misi mau dijadikan Aceh seperti apa jika ia berkuasa. Ketika ia diangkat sebagai sultan, di situlah momentum perubahan terbuka.

Hal yang dilakukan oleh Iskandar Muda adalah menggantikan ulee balang lama dengan orang- orang yang loyal padanya sebagai ulee balang yang baru. Ulee balang yang melawan akan diberi hukuman,  bahkan diperangi. Situasi ini membuat untuk pertama kalinya Aceh mengalami sentralisasi kekuasan.

Di masa dia lah ulee balang betul-betul tunduk di bawah sultan.  Di sinilah Aceh sebenarnya menjadi negara secara modern dalam pemaknaan Max Weber, yakni “monopoli kekerasan”.

Sultan Iskandar Muda melakukan revolusi. Ia menghajar habis-habisan orang kaya dan ulee balang yang sebelumnya bertindak zalim. Ia melemahkan kekuatan para bandit-bandit itu dengan cara mewajibkan  mereka melapor ke istana tiga kali sehari, dan ikut mengawal sultan satu hari satu malam tanpa sejata.

“Di sini kita lihat, yang diserang oleh Iskandar Muda adalah psikologi orang kaya, yakni mentalitas dan harga diri mereka. Bahkan, mereka dipaksa tidur dalam gubuk-gubuk kecil yang didirikan khusus dalam salah satu pelataran istana.”

Jika ada yang membangkang, akan kena denda dengan jumlah yang sangat besar, bahkan bisa kena hukuman mati. Misalnya pernah, ada tiga orang kaya tidak menyerahkan hasil rampasan perang kepada kerajaan.  Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan, yang kemudian dilakukan Iskandar Muda adalah menghukum mati mereka.

Setelah struktur politik dibuat lebih stabil dengan sentralisasi kekuasaan, fokus Iskandar Muda kemudian mengubah struktur ekonomi yang berpusat pada lada. Hilangnya kekuasaan ulee Balang dan orang kaya lama, berarti juga hilang kepemilikan tanah mereka. Tanah mereka menjadi milik negara. Kebijakan yang dilakukan Iskandar Muda adalah melakukan reformasi agraria dengan cara menyewakan tanah petani dengan syarat mereka menghasilkan padi dengan kuota yang telah ditetapkan sultan.

Karena itu, petani tidak bisa berleha-leha dalam menggarap sawah karena mereka harus menghasilkan jumlah beras sesuai kesepakatan. Saat musim panen tiba, Iskandar Muda langsung  turun ke lapangan  dan mengawasi pengumpulan beras dengan ketat. Jika ada penimbun pangan atau petani yang membangkang, langsung dihukum dengan keras. Dengan kebijakan ini, Aceh tidak hanya mampu swasembada beras, bahkan ia bisa mengekspor beras ke luar Aceh.

Setelah struktur ekonomi dan politik dalam negeri telah diubah, Iskandar Muda melakukan ekspansi teritorial untuk memonopoli perdagang lada. Semua daerah penghasil lada dikuasai dengan ekspansi militer. Sehingga Aceh tidak hanya swasembada pangan, tetapi juga mengekspor lada ke luar negeri. Aceh bahkan menjadi pusat perdagangan lada karena Iskandar Muda berhasil memonopoli pasar lada di Asia Tenggara.

Stabilitas politik, tersedianya cukup makanan, dan rasa aman membuat pedagang dan pelancong dari luar negeri dengan tenang datang ke Aceh. Sehingga ada pertukaran budaya dan informasi.  Aceh menjadi negara maritim yang kosmopolitan.

“Jika kita membaca catatan dari pedagang dan pelancong asing yang menulis  tentang Aceh di masa itu, kita melihat adanya rasa kagum di tulisan-tulisan mereka. Berbeda jauh ketika Aceh ditulis di masa kolonial sampai masa sekarang, misalnya sekarang Aceh ditulis sebagai  provinsi termiskin di Sumatera.

Dari refleksi masa Iskandar  Muda, bisa kita simpulkan yang menyebabkan Aceh menjadi bangsa teulebeh ada tiga, yakni: politik yang stabil, ekonomi yang kuat, dan budaya kosmopolitan yang terbuka. Bukan yang lain. Sedihnya, ketiga hal ini hilang di kita. Untuk menjaga tiga hal ini, dibutuhkan pemimpin yang kuat, inilah yang hilang setelah Iskandar Muda.”

Artikel SebelumnyaHari Toilet Sedunia: Warga Banda Aceh Diingatkan Rutin Sedot Septic Tank
Artikel Selanjutnya2024 Tahun yang Buruk, Horor di 2025?
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

1 COMMENT

  1. Seperti yang sudah banyak katakan, orang aceh asyik liat-liat ke belakang, mengagung-agungkan tentang iskandar muda, jadi nggak maju-maju. yang diomongin itu-itu lagi, itu-itu lagi. jadi nggak ada solusi.

    satu hal yang perlu diinggat bahwa, aceh itu bukan lagi kerajaan, bukan lagi “negara” atau entitas yang berdiri sendiri. dan itu harus bisa diterima, ikhlas dan move on.
    pemimpin-pemimpin dulu punya pemahaman, kedewasaan, kebijaksanaan kenapa mereka bersedia bergabung ke indonesia.

    dulu waktu “strong leader” soeharto, aceh malah bergejolak. di tekan habis-habisan, termasuk jaman megawati juga, biar politik stabil.

    selama aceh masih punya mental “negara”, susah untuk dimajukan.

    klo masyarakat aceh, bisa shalat minta hujan pas musim kemarau, kenapa masyarakat nggak berdoa biar dikasih “pemimpin” yang bisa majukan aceh? kan terdengar ironi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here