Komparatif.ID, Khartoum— Pada awal tahun 2023, konflik yang menimbulkan kekerasan dan kekacauan antara Rapid Support Forces (RSF) dan Pemerintah Militer Sudan dipicu oleh ketegangan antara RSF dan Tentara Pembebasan Rakyat Sudan Utara (SPLM-N), kelompok pemberontak di wilayah Kordofan Selatan yang didukung oleh RSF. Konflik ini terus berkembang dan memanas sejak saat itu.
Konflik di Sudan terjadi karena ketegangan etnis, perselisihan agama, dan persaingan memperebutkan sumber daya, khususnya antara petani menetap dan penggembala nomaden dalam penggunaan tanah dan air.
Dua perang saudara antara pemerintah pusat dan wilayah selatan menewaskan 1,5 juta orang dan konflik di wilayah barat Darfur menewaskan lebih dari 200.000 orang dan membuat dua juta orang meninggalkan rumah mereka. Sudan telah mengalami lebih dari lima belas kudeta militer dan pernah secara singkat diperintah oleh pemerintahan parlementer sipil yang demokratis sejak kemerdekaannya pada tahun 1956.
Pada bulan Februari 2023, RSF mengepung posisi SPLM-N di Kordofan Selatan dan menyerang desa-desa yang diduga menjadi basis SPLM-N. Serangan-serangan ini dilaporkan sangat brutal dan merusak banyak fasilitas umum, sehingga memicu kekhawatiran akan terjadinya krisis kemanusiaan yang serius. Namun, RSF membantah tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka hanya melakukan tindakan untuk melindungi rakyat Sudan dari ancaman keamanan.
Organisasi paramiliter Rapid Support Forces (RSF) sendiri merupakan milisi Janjaweed dan didirikan pada tahun 2013 oleh Presiden Sudan Omar al-Bashir, dan dipimpin oleh Dagalo. RSF dan tentara Sudan menerima dukungan pelatihan dan persenjataan dari Rusia sebagai imbalan emas, dan RSF berkembang menjadi pasukan besar dengan ribuan truk bersenjata yang berpatroli di jalan-jalan Khartoum.
RSF terlibat dalam berbagai kegiatan termasuk merebut lokasi penambangan emas di Darfur, terlibat dalam konflik di Yaman, dan diduga terlibat dalam penyelundupan emas untuk mendanai perang Rusia di Ukraina melalui kolaborasi dengan Grup Wagner.
RSF juga terkenal karena menindak pengunjuk rasa pro-demokrasi selama pembantaian Khartoum pada Juni 2019. Meskipun Sudan membantah kehadiran Grup Wagner di wilayahnya, RSF terus konsolidasi kekuatannya dan mengakumulasi kekayaan yang cepat.
Tindakan RSF ini menuai kecaman dari sejumlah negara dan organisasi internasional karena dilaporkan melanggar hak asasi manusia dan menyebabkan ratusan warga sipil tewas.
Baca juga: Konflik Sudan Memburuk, 6.000 Pengungsi Terjebak dalam Krisis Kemanusiaan
Konflik Sudan Makin Memburuk
Pada bulan Maret 2023, Amnesty International melaporkan bahwa RSF melakukan serangan langsung terhadap warga sipil dan memperkosa beberapa perempuan dan anak-anak. Organisasi ini juga mengecam kekerasan terhadap jurnalis dan aktivis hak asasi manusia oleh RSF dan menyatakan bahwa pemerintah Sudan harus bertanggung jawab atas tindakan ini.
Sementara itu, pada bulan April 2023, Pemerintah Militer Sudan mengumumkan penarikan dukungan mereka terhadap RSF dan memerintahkan pasukan militer untuk menangkap Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, pemimpin RSF, atas dugaan pelanggaran hukum. Namun, RSF menolak perintah tersebut dan malah melakukan serangan balasan terhadap posisi militer, menyebabkan konflik semakin memburuk.
Pada 15 April 2023, Pasukan Pendukung Cepat (RSF) melakukan serangan mendadak ke beberapa pangkalan Angkatan Darat Sudan di seluruh negeri, termasuk di ibu kota Khartoum.
RSF mengklaim merebut Bandara Internasional Khartoum, Bandara Merowe, Bandara El Obeid dan pangkalan di Soba. Terjadi bentrokan antara RSF dan Angkatan Darat di istana kepresidenan dan kediaman jenderal al-Burhan. Tentara Sudan menutup semua bandara, dan Angkatan Udara Sudan melakukan serangan udara pada posisi RSF di Khartoum.
Terjadi bentrokan di markas besar penyiar negara Sudan TV yang kemudian direbut oleh pasukan RSF. Jembatan dan jalan di Khartoum ditutup, dan beberapa pesawat di Bandara Internasional Khartoum dilaporkan rusak. Saudia, EgyptAir, dan Qatar Airways menangguhkan semua penerbangan ke dan dari Sudan.
Akibat dari konflik ini, kondisi di Sudan menjadi sangat tidak stabil, dengan aksi kekerasan yang terus terjadi di sejumlah wilayah. Organisasi kemanusiaan dan PBB telah mengeluarkan peringatan tentang krisis kemanusiaan yang mungkin terjadi akibat konflik ini, termasuk kemungkinan terjadinya kelaparan dan pengungsi massal.
Negosiasi antara pihak RSF dan Pemerintah Militer Sudan masih berlangsung, namun belum ada tanda-tanda penyelesaian konflik dalam waktu dekat. Sementara itu, warga Sudan terus menderita akibat kekerasan dan ketidakpastian yang terus berlanjut.