
Tanggal 22 Oktober selalu menjadi hari yang istimewa bagi umat Islam di Indonesia, khususnya bagi para santri. Hari Santri bukan sekadar perayaan simbolik, melainkan momen untuk mengenang kembali semangat perjuangan para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa, menjaga nilai-nilai keislaman, dan menegakkan ajaran yang rahmatan lil ‘alamin.
Momen ini juga sebagai refleksi, apresiasi, dan penguatan kembali peran santri dalam kehidupan bangsa — sebagai penjaga agama, sebagai penyejuk umat, dan sebagai bagian integral dari peradaban Islam di tanah air.
Di tengah perayaan dan semarak, terkadang ujian datang tak terduga: seperti runtuhnya musala Al Khoziny, sebuah simbol sakral yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangan ruhiyah, kecintaan terhadap ilmu, dan kebersamaan santri.
Hari Santri tahun ini terasa berbeda. Kesedihan menyelimuti banyak hati, terutama keluarga besar Pondok Pesantren Al Khoziny, setelah musala yang menjadi tempat ibadah, belajar, dan menimba keberkahan itu runtuh.
Peristiwa ini tidak hanya mengguncang fisik bangunan, tapi juga menggugah hati kita semua untuk merenung: apakah kita telah cukup menjaga amanah keilmuan dan spiritual yang diwariskan para ulama?
Musala, meski sederhana dalam struktur fisik, sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam dalam kehidupan pesantren. Di balik tembok kayu atau batu, di atas sajadah tipis atau karpet sederhana, santri berkumpul untuk salat berjamaah, membaca Al‑Qur’an, berdzikir, melakukan kajian ilmu, dan bahkan menangis lirih saat doa-doa hajat di malam-malam sunyi.
Musala adalah ruang suci kecil yang menjadi pintu antara dunia fana dan dimensi spiritual tempat musyawarah hati, tempat mengadu kepada Sang Pencipta, tempat membangun ukhuwah di antara para pelajar agama.
Musala Al Khoziny bukan sekadar bangunan. Ia adalah saksi bisu dari lantunan doa santri, dzikir malam yang menggetarkan langit, dan semangat menuntut ilmu yang tak pernah padam. Ada banyak harapan, doa, kenangan, dan dinamika spiritual yang seakan ikut roboh bersama atapnya.
Dinding yang dulu menjadi sandaran ketika lelah membaca, kolom kayu yang menjadi penopang waktu berdiri, hingga langit-langit yang menjadi langit doa-doa, semuanya kini berubah menjadi puing.
Tragedi ini jangan kita pandang sebagai akhir, melainkan sebagai panggilan — panggilan untuk bersikap, merespon, dan membangun kembali bukan hanya bangunan, tetapi semangat. Runtuhnya musala itu bukan akhir dari segalanya, tapi justru panggilan untuk membangun kembali bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam semangat dan keikhlasan.
Robohnya musala adalah ujian iman. Sebagaimana ujian lain yang pernah menimpa para ulama dan santri di masa lampau dari pelarangan mengaji, penindasan fisik, hingga tantangan ideologis peristiwa ini menguji apakah keyakinan kita terhadap hakikat ibadah tetap berdiri, meski tempat ibadah kita pun terguncang.
Apakah kita akan lari dari tanggung jawab, atau justru semakin teguh melangkah? Apakah kita akan menyerah pada rasa takut dan putus asa, atau bangkit dengan ikhlas membangun kembali? Inilah momen untuk meneguhkan bahwa kekuatan santri sejati bukan pada bangunan megah, melainkan pada fondasi iman dan niat yang kokoh.
Baca juga: Menenun Harapan Lewat 7 Capaian Pendidikan Kemendikdasmen
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa kontribusi setiap orang sangat penting. Tidak cukup hanya menunggu pihak “berwenang” membangun ulang; para santri, alumni, keluarga pondok, masyarakat setempat — semua memiliki peran. Ada yang bisa membantu secara materi, ada yang bisa menyumbangkan tenaga, bahan bangunan, doa, maupun ide kreatif dalam rekonstruksi.
Semangat gotong royong yang sejak dulu menjadi jiwa pesantren harus menyatu kembali seperti aliran darah: bergerak pelan namun pasti, dari akar ke pucuk. Hari Santri sebaiknya dijadikan momentum untuk menggerakkan solidaritas: menyingsingkan lengan, membuka dompet, menyalurkan niat baik, dan bersama-sama membangun kembali tempat suci yang telah ambruk.
Kita diajak untuk memaknai ulang apa arti “bangunan” dalam kehidupan santri. Jika dulu kita mungkin terlalu fokus kepada gedung megah, fasilitas mentereng, atau kenyamanan fisik semata, maka robohnya musala memberi sinyal agar kita kembali pada esensi: bahwa yang paling penting adalah keberlanjutan ruh, kesungguhan niat, kemurnian ibadah, dan kualitas ukhuwah.
Apakah santri tetap menjaga shalat, tetap menjalin silaturahim, tetap rendah hati dalam menuntut ilmu, meskipun tempatnya sederhana atau bahkan seadanya? Apakah kemaslahatan jiwa lebih kita utamakan daripada kemegahan arsitektur?
Tragedi musala ini bisa menjadi titik kebangkitan kreatifitas santri dalam mendesain ulang bagaimana ruang ibadah dan pengajian ideal di masa kini. Dalam membangun ulang, kita tidak harus kembali menciptakan bentuk lama yang rapuh.
Kita bisa merancang bangunan yang lebih tahan gempa atau bencana alam, memanfaatkan material ramah lingkungan, mengoptimalkan ventilasi untuk kenyamanan dan kesehatan, dan menciptakan keindahan arsitektural yang sederhana namun bermakna. Bahkan santri yang punya keterampilan arsitektur, teknik sipil, desain interior, bisa dilibatkan dalam tim perancangan. Dengan demikian, robohnya musala bukan hanya trauma, tapi tombak inovasi untuk masa depan.
Hari Santri seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian terhadap sarana ibadah di pesantren-pesantren lainnya yang rentan. Musala Al Khoziny bukan satu-satunya yang mengalami kerentanan fisik; banyak pesantren di pelosok memiliki ruang ibadah yang sangat sederhana, bahkan miris: bocor ketika hujan, atap bergoyang diterpa angin, tembok retak, lantai tak merata, dan aliran listrik seadanya.
Apa daya jika bencana datang? Maka, di momen Hari Santri ini, ajak semua pihak — pemerintah, dermawan, alumni, lembaga zakat, dan masyarakat umum — untuk memprioritaskan pembangunan dan perbaikan musala pesantren, agar ruang-ruang suci kaum muda pengemban dakwah tidak lagi tinggal rapuh.
Kita perlu menanamkan nilai tahan banting dalam diri santri: bahwa kehilangan sementara fasilitas bukan berarti kehilangan semangat. Dalam sejarah pesantren Islam, banyak kisah bagaimana santri tetap mengaji di alam terbuka, di bawah pohon, di gubuk sederhana, ketika masjid mereka rusak oleh alam atau musuh.
Santri terdahulu tidak pernah meratap panjang menunggu fasilitas ideal untuk beribadah — mereka bangkit dengan apapun yang ada. Semangat itu harus diwariskan kembali: bahwa ibadah dan pendidikan agama bukan tersandera oleh gedung, tapi dikuatkan oleh niat, disiplin, dan rasa cinta kepada Allah dan umat.
Pentingnya dokumentasi dan mitigasi bencana. Krisis seperti robohnya musala mengingatkan kita bahwa perlu ada catatan, survei kondisi bangunan secara berkala, peta risiko gempa, angin, banjir, dan sistem perawatan berkala. Pondok Al Khoziny harus melakukan kajian teknis ulang agar pembangunan kembali lebih aman dan berkelanjutan.
Seluruh pesantren seharusnya memasukkan aspek kebencanaan dalam perencanaan bangunan dan pelatihan adaptasi kepada santri agar ketika bencana datang mereka bisa bergerak cepat, menyelamatkan diri, dan mempertahankan barang-barang berharga (Al-Qur’an, lembaran kitab, alat ibadah, dan sebagainya).
Dari puing-puing musala yang roboh kita harus menumbuhkan sikap syukur sekaligus introspeksi. Syukur karena musibah bukan membawa korban jiwa, atau lebih parah dari itu — dan introspeksi karena mungkin ada kelalaian kita dalam menjaga, merawat, memeriksa bangunan, atau kurang alert terhadap tanda-tanda keretakan. Apakah ada retak yang dibiarkan? Apakah dana perawatan kecil diabaikan? Apakah kita terlalu sibuk dengan agenda lain hingga melupakan tempat suci di tengah kita? Semua ini harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang.
Penguatan solidaritas generasi santri. Alumni yang telah berada di luar pesantren, tokoh masyarakat, siapapun yang pernah terbentuk dari pesantren itu punya tanggung jawab moral terhadap lembaga yang memberi makan spiritual mereka. Hari Santri bisa menjadi momen pengaktifan lembaga wakaf santri, dana abadi pesantren, atau posko amanah santri untuk memperbaiki fasilitas ibadah pesantren-pesantren yang terdampak kerusakan.
Jangan biarkan pesantren berdiri sendiri; jaringan ukhuwah santri hadir untuk menopang. Do’a menjadi kekuatan yang tak tergantikan. Ketika bangunan roboh, ketika doa-doa tersebar di udara, maka santri tetap memanjatkan: “Allahumma ij’al musallana hadha musallah(s) yang tenang dan penuh berkah.”
Doa santri adalah kekuatan lembut yang menyentuh langit. Di Hari Santri ini, gema doa tidak boleh lelah. Tiap santri harus menghidupkan dzikir, majelis taklim, qiyamullail, dan ukhuwah agar ruh pesantren tetap tumbuh meski bangunannya sempat roboh.
Hari Santri tahun ini, bagi kita yang mengikuti kabar robohnya musala Al Khoziny, tidak boleh sekadar berduka. Peristiwa itu harus menjadi momentum kebangkitan kebangkitan iman, solidaritas, tanggung jawab, dan kreativitas.
Musala itu mungkin pernah runtuh, namun semangat santri tidak akan pernah roboh. Akan tetapi mengingatkan kita bahwa kekuatan santri bukan terletak pada megahnya fasilitas, tapi pada kokohnya iman dan semangat jihad intelektual. Seperti para pendahulu yang berjuang dengan segala keterbatasan, para santri hari ini pun dituntut untuk tetap teguh, bahkan saat tempat berpijak mereka runtuh.
Kita teguhkan bahwa santri bukan pelemah ketika diuji, melainkan penguat ketika krisis datang. Kita komit untuk membangun kembali: bukan demi kemegahan, melainkan demi keberkahan dan keteguhan generasi penerus.
Semoga puing-puing yang kini ada menjadi pondasi baru bagi musala yang lebih baik, lebih aman, lebih inspiratif dan menjadi saksi bisu betapa santri tetap hidup, berjuang, dan memberi manfaat bagi umat dan bangsanya.
Rasa duka tidak boleh menghapus semangat. Justru dari puing-puing musala yang roboh, kita diajak untuk menata ulang niat, memperkuat tekad, dan meneguhkan langkah. Sebab santri sejati bukan hanya kuat saat dipuji, tapi juga tangguh saat diuji.
Semoga Hari Santri ini menjadi momentum kebangkitan, dan robohnya musala Al Khoziny menjadi pemantik bagi kita semua untuk lebih peduli, lebih bersatu, dan lebih ikhlas dalam berjuang di jalan Allah.