
Komparatif.ID, Banda Aceh— Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, mengungkapkan alasan tidak ada bioskop di Banda Aceh bukan semata karena penolakan kelompok ulama, tapi juga pengelola bioskop yang beroperasi secara komersial tidak bisa menentukan secara selektif film mana yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Hal itu disampaikan Illiza saat membuka perhelatan Aceh Film Festival (AFF) 2025 di Theater Library Perpustakaan Wilayah Aceh, Banda Aceh, Selasa malam (2/9/2025).
“Sebetulnya bukan ulama tidak setuju. Masalahnya adalah konten. Ketika bioskop itu dihadirkan secara profit-oriented, katakanlah seperti Cinema 21, film itu tidak bisa kita pilih-pilih. Nah, ini yang menjadi masalah,” ujarnya
Illiza menambahkan, meskipun berbagai solusi teknis seperti pemisahan penonton laki-laki dan perempuan, pemasangan CCTV, hingga pengaturan penerangan sudah pernah dibahas dan disepakati, substansi masalah tetap terletak pada materi film yang berpotensi menyalahi norma syariat.
Baca juga: Fadli Zon Sebut Bioskop Harus Kembali Hadir di Aceh
“Katakanlah misalnya pemisahan (penonton) sudah sepakat. Katakanlah misalnya ada CCTV juga sepakat. Katakanlah ada sedikit penerangan juga oke. Tapi masalahnya tadi: kontennya,” lanjutnya.
Dua hal tersebut menurut Illiza jadi alasan tidak ada bioskop di Banda Aceh. Ia mengatakan ulama enggan memberikan rekomendasi karena khawatir harus menanggung dosa jika film, iklan, atau promosi yang ditayangkan menyalahi aturan agama.
Padahal, menurutnya, film justru bisa menjadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Ia mencontohkan, ketika menjabat Wali Kota periode sebelumnya, Banda Aceh pernah memanfaatkan film religi seperti Surga Menanti dan 5 Penjuru Masjid untuk membangun citra positif kota dan mengedukasi masyarakat.
“Artinya, tidak ada yang salah dengan film. Lewat film, kita bisa belajar, menyampaikan pesan moral, dan merawat budaya. Bahkan bisa jadi sarana diplomasi budaya antara Aceh dan dunia,” lanjutnya.
Illiza juga mendorong agar solusi alternatif terus digali, termasuk ide menghadirkan bioskop mini yang difasilitasi pemerintah daerah. Dengan cara itu, film-film lokal dapat memperoleh ruang pemutaran yang layak tanpa harus mengorbankan kekhususan syariat Islam yang dijunjung tinggi di Aceh.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi jalan tengah agar industri kreatif tetap tumbuh seiring dengan nilai-nilai yang dijaga.