Komparatif.ID, Banda Aceh— Akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Dr. Jummaidi Saputra, menyebut gebrakan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang terjun langsung dalam razia di hotel dan tempat hiburan merupakan aksi nyata menghidupkan kembali marwah penegakan syariat Islam di Banda Aceh.
Menurutnya penindakan terhadap pelaku pelanggaran seperti mesum, khalwat, khamar, prostitusi hingga narkoba merupakan bentuk nyata keberanian pemimpin menjalankan amanat hukum.
“Tindakan ini memberikan dampak besar bagi penegakan syariat Islam di Aceh, menghidupkan kembali marwah syariat, dan meningkatkan kepercayaan diri para aparat penegak hukum, khususnya di bidang syariat Islam,” ujarnya di Banda Aceh, Sabtu (19/4/2025).
Jummaidi menyebut langkah tersebut sudah lama dinanti sejak Illiza dilantik sebagai wali kota. Ia mengatakan tindakan ini bukan saja penting secara simbolik, tetapi juga memperkuat kepercayaan diri para aparat penegak hukum, terutama yang bertugas dalam pelaksanaan syariat Islam.
Ia menjelaskan secara yuridis, landasan penerapan syariat Islam di Aceh sangat kuat. Jummaidi merujuk pada Pasal 3 ayat (2) UU No. 44 Tahun 1999 yang mengakui keistimewaan Aceh dalam bidang kehidupan beragama, serta Pasal 125 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjelaskan ruang lingkup pelaksanaan syariat Islam di provinsi ini.
Baca juga: Keberanian Illiza Cerminan Pemimpin Ideal Aceh
Qanun-qanun yang ditetapkan di Aceh, seperti Qanun Jinayat, menjadi payung hukum yang sah untuk pelaksanaan hukum berbasis syariat. Karena itu, tindakan Illiza bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan implementasi dari amanat konstitusional yang dimiliki Aceh sebagai daerah bersyariat.
Namun, Jummaidi mengingatkan penegakan syariat tidak bisa berhenti pada penangkapan saja. Ia menyoroti pentingnya pemberian sanksi yang tegas, termasuk kepada badan usaha yang menyediakan fasilitas bagi pelanggaran syariat.
Ia mencontohkan Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang memberikan sanksi berat kepada individu maupun badan usaha yang memfasilitasi jarimah zina, seperti cambuk hingga 100 kali, denda sampai 1.000 gram emas, atau penjara 100 bulan.
Sayangnya, menurutnya, sanksi semacam ini masih jarang dijatuhkan kepada pelaku dari kalangan pengusaha atau pemilik tempat usaha, padahal mereka juga memiliki peran dalam rantai pelanggaran yang terjadi.
“Namun, saat ini kita jarang melihat sanksi itu diterapkan kepada badan usaha. Maka perlu keterlibatan semua pihak, bukan hanya Wali Kota,” tegasnya.
Jummaidi menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada pendekatan represif, melainkan juga preventif. Edukasi moral di sekolah, program pembinaan akhlak, serta pembentukan pusat pembinaan moral bagi pelanggar syariat perlu menjadi bagian integral dari kebijakan pemerintah.
Ia menilai pelanggaran sering terjadi bukan hanya karena niat buruk, tapi juga karena ketidaktahuan dan tekanan ekonomi yang mendorong seseorang terjerumus pada pelanggaran.
Kondisi Banda Aceh saat ini, menurut Jummaidi, sudah berada pada tahap darurat pelanggaran syariat. Ia menyebut praktik open BO dan penyimpangan seksual sebagai masalah serius, yang turut menjadi penyumbang utama kasus HIV/AIDS.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Banda Aceh, tercatat sudah ada 530 kasus HIV/AIDS, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh perilaku menyimpang. Fakta ini menunjukkan bahwa penegakan syariat Islam harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, tidak hanya dalam bentuk penindakan tapi juga melalui perubahan pola pikir dan pembinaan masyarakat.
Keberanian Illiza dalam mengambil langkah ini, kata Jummaidi, seharusnya tidak dibiarkan berjalan sendiri. Ia menekankan perlunya dukungan dari seluruh unsur pemerintahan dan masyarakat agar cita-cita menegakkan syariat Islam tidak berhenti sebagai retorika semata.
Apalagi, sebagai ibu kota provinsi, Banda Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi panutan dalam pelaksanaan syariat Islam. Jika Banda Aceh saja longgar dalam menegakkan hukum syariat, maka akan sulit mengharapkan daerah lain di Aceh untuk melaksanakannya dengan konsisten.
“Pemerintah juga perlu membentuk tempat pembinaan moral bagi pelanggar syariat agar tidak mengulangi kesalahan mereka. Banyak yang kembali melanggar karena ketidaktahuan atau faktor ekonomi,” pungkasnya.