Ijonisasi Pertanian Aceh dan Rencana Baru Pemerintah 

Pemred Komparatif.id Muhajir Juli mengulik soal tataniaga pertanian Aceh yang menurutnya masih memiliki banyak masalah serius. Foto: Koleksi pribadi.
Pemred Komparatif.id Muhajir Juli mengulik soal tataniaga pertanian Aceh yang menurutnya masih memiliki banyak masalah serius. Foto: Koleksi pribadi.

“Tataniaga pertanian Aceh mengalami sengkarut serius. Praktek ijon merajalela. Petani rugi dan semakin tak mandiri.”

Dapur kita merupakan tempat meracik makanan untuk keluarga. Keberadaan dapur sangat vital; menjadi salah satu penentu terbentuknya peradaban. Hanya saja, di antara semua bahan mentah yang dibawa ke dapur, berapa persen komponen lokal?

Baca juga: Pasar Padi Aceh Dikuasai Ijon

Tahun lalu saya ke Pulo Aceh, singgah di sebuah jambo kupi di tepi pantai. lokasinya sangat udik sekaligus sangat alami. Di sana saya mengudap pisang goreng yang masih panas, serta secangkir kopi tubruk pabrikan dari seberang laut.

Pisang yang digoreng setelah dibaluri tepung beras, sama dengan pisang yang pernah digoreng oleh ibu ketika saya masih kecil. Bedanya, dulu kami mempunyai kebun yang ada pisang di dalamnya. Sedangkan di warung tersebut, bahan baku pisang goreng “diimpor” dari Pulau Nias.

Baca juga:Kanwil Bea Cukai: Investor Masih Ragu Masuk ke Aceh

“Kami tidak punya kebun pisang. Pisang-pisang di sini tak tumbuh dengan baik,” sebut perempuan berusia kira-kira hampir 40 tahun tersebut.

Bertahun-tahun sebelum ke Pulo Aceh, saya pernah berkeliling pasar di Matangglumpangdua, Bireuen, Aceh. Dari bincang-bincang dengan pedagang di tepi jalan, komoditas yang mereka jual serata berasal dari Sumatera Utara. Komposisinya mencapai 70%.

Baru-baru ini, Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh Safuadi, menyebutkan jumlah konsumsi bawang di Serambi Mekkah sangat tinggi. Setiap tahun Aceh kekurangan bawang merah 16 ribu ton. Karena merupakan komoditas yang wajib ada, maka setiap tahun pula harus diimpor dari luar. Bila dikalikan Rp20.000 per kilogram, maka untuk bawang merah, setiap tahun sekitar Rp500 miliar harus “terbang” ke luar Aceh.

Demikian juga cabe merah kering (campli kleng), yang wajib ada dalam kuliner Aceh, ternyata diimpor dari India. Campli kleng dengan ukuran buah panjang dan besar, tak ditanam di Aceh.

Bagaimana dengan bawang putih? Kita memakluminya. Karena di Indonesia, bawang putih tak bisa tumbuh dengan baik. Mau tak mau harus impor dari Cina. Tumbuhan tersebut hanya tumbuh dengan bagus di negara subtropic.

Demikian juga dengan minyak goreng. Kita sepenuhnya sudah sangat bergantung pada minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh korporasi besar. kemasyuran minyak kelapa sudah lama menjadi sekadar romantisme.

Sayur-mayur, dari buncis hingga seledri, juga dipasok dari luar daerah. Ketika banjir besar melanda Aceh beberapa waktu lalu, pasar-pasar di Aceh kekurangan stok sayuran. Pedagang di Banda Aceh hanya menjual kangkong dan bayam. Daun bawang, wortel, buncis, dan lainnya tidak tersedia.

“Barang tidak dikirim dari Medan.” Demikian celetuk para pedagang.

Rantai Pasok Pertanian Aceh Bermasalah

Suatu ketika, pada sebuah pertemuan informal dengan pengusaha multimoda dan logistic supply Ismail Rasyid, yang merupakan CEO PT Trans Continent (Royal Group), ia menyebutkan banyak persoalan bila bicara ekonomi Aceh. Tataniaganya amburadul.

“Aceh tidak kekurangan produk pertanian. Tapi yang terjadi di tempat kita rantai pasoknya yang tidak terbangun dengan baik. Sehingga komoditas pertanian besar dikuasai rentenir.”

Aceh membutuhkan penampung besar, yang memiliki fasilitas penyimpan yang sangat besar. Pengusaha-pengusaha di Sumut memilikinya. Di Aceh belum ada. Salah satu alasan Ismail Rasyid membangun Pusat Logistik Berikat di Meurandeh, Krueng Raya, Aceh Besar, yaitu ingin menyediakan fasilitas tersebut. Tekad Ismail Rasyid patut diberikan apresiasi, meski masih harus menunggu waktu.

Ismail bicara dalam pertanian besar. Bicara komoditas potensial ekspor. Kami tak membahas sayur mayur dan bumbu dapur. Tapi setidaknya, ketika ia menyinggung rantai pasok, punya benang merah dengan dunia pertanian Aceh yang dikerjakan oleh petani-petani kecil.

Lihatlah, dalam setahun petani Aceh menanam padi tiga kali. Beberapa tahun ke belakang, panen padi di Aceh setiap tahun mencapai 1,7 juta ton. Dari total produksi, hanya 600 ribu ton sekian yang terserap untuk konsumsi lokal. Selebihnya dijual keluar dalam bentuk gabah. Sayangnya, meskipun surplus secara produksi, tapi petani tidak mendapatkan peningkatan nilai produksi.

Banyak petani mengeluh. Saat ini menanam padi hanya sekadar agar dapat memiliki beras. Bila berharap untung, tentu sesuatu yang utopis. Pupuk subsidi langka, saprodi mahal, harga gabah tak pernah memberi untung lebih.

Tataniaga pertanian padi Aceh telah lama terjebak ijonisasi. Petani tak kuasa mempertahankan harga, karena semuanya ditentukan oleh tengkulak besar di Medan (Sumut) melalui agen-agen mereka yang beroperasi hingga ke dusun-dusun.

Demikian juga petani tomat, cabai, bawang, hingga sayur-mayur. Seringkali mereka mengalami kerugian saat puncak panen. Harga sangat fluktuaktif, dan mereka tak berdaya. Sementara itu, pemerintah daerah sepertinya tidak tersambung dengan penyangga tatanan ekonomi Indonesia (petani). Farmers dibiarkan bertarung sendiri dengan pebisnis besar, yang kapan saja bisa melakukan apa pun demi menyelamatkan bisnisnya. Maka tak heran, bila masa puncak panen, tomat, cabai, sayur-mayur, dibuang oleh petani ke tong sampah, atau ke tempat pembuangan sampah.

Profesor Dr. Ahmad Humam Hamid dalam sebuah artikelnya di Komparatif.id, pernah menyinggung secara serius tentang “kedaulatan” pangan, yang dalam bahasa saya kedaulatan dapur. Dalam artikel berjudul: Kue Terigu, Aceh, Ukraina, dan Ancaman Pangan, sang Guru Besar menulis bahwa salah satu yang mengancam Aceh karena perubahan pola konsumsi. Bila dulu kue-kue yang dijual di warung kopi berbahan baku lokal, kini nyaris seluruhnya berbahan terigu yang tidak dibudidayakan di Indonesia. Kita saat ini sangat tergantung pada gandum. Untuk itu, Profesor Humam menyarankan kita sudah waktunya kembali ke pangan berbahan baku lokal.

Tapi di situlah letak dilematisnya. Seperti uraian saya di atas, siapa yang akan memulainya dengan kondisi tataniaga pertanian kita yang begitu buruk, di tengah keseriusan setengah-setengah pemerintah memberdayakan petani.

Seberkas Cahaya Harapan

Dalam pertemuan dengan wartawan di Restoran Pendopo, Sabtu (10/12/2022) Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki sempat menyinggung soal masih buruknya kondisi perekonomian Aceh. Dia menyampaikan masih banyak investor yang enggan masuk.

Beberapa waktu lalu Aceh berada pada peringkat tiga tertinggi inflasi di Indonesia. Achmad Marzuki beserta jajaran bekerja keras melakukan berbagai terobosan. Akhirnya, beberapa hari lalu, posisi Aceh sudah berada di peringkat 27 nasional. Sudah sangat bagus, meskipun tidak perlu dirayakan. Karena mengelola inflasi merupakan pekerjaan setiap hari; terus-menerus.

Ada angin segar yang berembus. Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh Safuadi menjelaskan, Pemerintah Aceh akan melakukan beberapa hal untuk memulihkan perekonomian Aceh. pemerintah Aceh akan menempuh cara konglomerasi dalam membangun tataniaga pertanian Aceh. Melibatkan pengusaha lokal, akademisi, dan pelaku usaha luar, berbagi peran dan kemudian membetulkan sistem niaga dari hulu ke hilir.

Walau demikian, Safuadi memberikan catatan; bahwa untuk melakukan itu butuh waktu setidaknya dua tahun. Tidak bisa sim salabim avra cadavra!

Wacana konglomerasi ekonomi di sektor pertanian dan lainnya, perlu dijelaskan ke publik melalui bahasa lebih sederhana. Kemudian diikuti dengan contoh nyata yang bisa diraba oleh rakyat kecil, bukan sekadar laporan angka statistik, seperti yang sudah-sudah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here