Komparatif.ID, Banda Aceh— Rencana pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang dikabarkan akan dilaksanakan di Jakarta bersama dengan daerah lain pada Maret 2025 menuai keberatan tegas dari berbagai pihak.
Langkah tersebut dianggap tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf c.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Pemerhati UUPA Aliyul Himam menegaskan pentingnya pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dilakukan di Aceh sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurutnya, pelantikan ini bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga simbol pengakuan terhadap kekhususan Aceh yang telah dijamin dalam UUPA. Ia mengatakan pemerintah pusat harus menghormati kekhususan ini, sebagai bagian dari kesepakatan damai yang telah dicapai dengan perjuangan panjang.
Baca juga: Pelantikan Gubernur dan Bupati Diundur Hingga Maret 2025
Menurutnya, tradisi pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di hadapan masyarakat Aceh dalam rapat paripurna DPRA memiliki nilai historis dan kultural yang mendalam.
Berbeda dengan daerah lain yang pelantikannya digelar di Istana Negara, Aceh memiliki kekhususan tersendiri. Dalam tradisi ini, pelantikan disaksikan langsung oleh masyarakat Aceh.
Aliyul Himam menekankan langkah ini adalah bentuk penghormatan terhadap marwah Aceh yang tidak dapat disamakan dengan daerah lain.
Pelantikan kali ini juga memiliki makna historis yang kuat, mengingat gubernur dan wakil gubernur terpilih adalah mantan Panglima Perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal ini menjadi pengingat bagi masyarakat Aceh akan perjalanan panjang yang telah mereka lalui untuk mendapatkan pengakuan atas kekhususan wilayah ini.
“Pelantikan ini mengingatkan kita pada perjuangan rakyat Aceh, termasuk para aktivis mahasiswa dan para tokoh GAM yang telah berkorban demi mendapatkan hak-hak Aceh,” kata Aliyul Himam, Jumat (3/1/2024).
Ia juga menambahkan jika pelantikan dilaksanakan di Jakarta, langkah tersebut dapat dianggap sebagai upaya awal untuk mengikis kekhususan Aceh. Tidak ada alasan mendesak untuk memindahkan pelantikan dari Aceh, karena pelaksanaan di tanah rencong ini bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap perjuangan rakyat Aceh dan aturan hukum yang berlaku.
Aliyul Himam menegaskan pelantikan di Aceh adalah wujud penghormatan terhadap sejarah dan nilai-nilai perjuangan rakyat Aceh, sekaligus bukti bahwa marwah kekhususan Aceh tetap dijaga.
Sementara itu, pelantikan gubernur dan bupati terpilih hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang sebelumnya dijadwalkan pada Februari 2025 kini resmi ditunda hingga Maret.
Semula, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2024, pelantikan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota dijadwalkan pada awal Februari 2025 secara serentak.
Penundaan pelantikan ini nantinya akan diatur secara resmi melalui penerbitan Peraturan Presiden baru. Namun, hingga saat ini, tanggal pasti untuk pelantikan pada bulan Maret 2025 belum diumumkan.