
Komparatif.ID, Jakarta— Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat hingga akhir Juni 2025, realisasi investasi hulu migas mencapai angka US$ 7,19 miliar (Rp116,9 triliun) atau setara 43,6 persen dari target investasi 2025 yang ditetapkan APBN sebesar US$ 16,5 miliar.
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto, menyampaikan capaian investasi hulu migas mengalami peningkatan dari periode yang sama tahun sebelumnya. Ia optimis target tahunan bisa tercapai. Bahkan, jika tidak ada penundaan proyek, bukan tidak mungkin capaian akhir tahun akan melampaui target.
“Investasi kalau kita lihat Juni 2024 itu US$ 5,59 miliar, targetnya US$ 16,5 miliar di dalam APBN, realisasinya US$ 7,19 atau 43,6%,” terang Djoko Siswanto saat konferensi pers kinerja hulu migas semester I-2025 di Jakarta dikutip dikutip dari siaran langsung, Senin (21/7/2025).
Dari sisi penerimaan negara, Djoko menyebut sektor hulu migas tercatat menyumbang US$ 5,88 miliar hingga pertengahan tahun ini. Jumlah ini setara dengan 45,1 persen dari target tahunan sebesar US$ 13,03 miliar.
Baca juga: SKK Migas: Lifting Minyak Semester I 2025 Capai 95,5 Persen dari Target APBN
Namun, SKK Migas memperkirakan total penerimaan negara dari sektor ini hingga akhir tahun hanya akan mencapai US$ 10,83 miliar, atau sekitar 83,1 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN.
Menurut Djoko, perolehan penerimaan negara yang belum maksimal ini disebabkan oleh harga minyak dunia yang berada di bawah asumsi APBN, yakni sekitar US$ 82 per barel. Meskipun produksi telah mencapai target, rendahnya harga jual menyebabkan pendapatan ikut menurun.
Selain itu, biaya pengembalian operasi atau cost recovery hingga akhir Juni 2025 juga meningkat menjadi US$ 4,48 miliar. Angka ini naik dari US$ 3,33 miliar pada Juni tahun lalu, dan merupakan 52,7 persen dari target tahunan sebesar US$ 8,5 miliar.
Peningkatan cost recovery ini, menurut Djoko, disebabkan oleh sejumlah Wilayah Kerja (WK) yang bergeser dari skema kontrak gross split ke skema cost recovery. Meski demikian, hingga akhir tahun, total cost recovery diperkirakan tidak akan mencapai target penuh, dan akan berada pada kisaran US$ 8,2 miliar atau sekitar 96,5 persen dari target.