2008, adalah tahun pertama kali tulisan saya –sebuah opini– dipublikasikan oleh salah satu media. Tahun itu juga merupakan pertama kali mendapatkan kritik pedas dari penulis senior.
Sedikit ‘down‘, dan bawa perasaan. Cukup wajar, mengingat usia saya masih remaja, belum mampu mengelola emosi dengan bijaksana ketika mendapat kritikan terhadap tulisan-tulisan saya.
Kala itu wadah menulis saya di Kaskus, cuma gara-gara mendapat kritikan pedas, saya jadi trauma untuk menulis lagi. Akhirnya lama saya tidak publish tulisan baru, termasuk di platform online tersebut.
Semakin dewasanya saya, jadi semakin sadar, kalau menulis untuk dinilai oleh orang lain, maka ekspektasinya bisa jadi sesuai harapan (mendapat pujian) dan bisa jadi tidak (kritikan).
Kalau selalu ingin tulisan kita merasa sempurna, maka selamanya tidak akan pernah menyelesaikan satu tulisan pun.
Jadi saya lupakan semua teori atau standar baku tentang writing. Mencoba jujur pada diri sendiri, menulis seperti apa yang saya pikirkan, seperti saya berbicara, dan “mengukir” apa pun yang saya sukai. Selama itu tidak bertentangan dengan hukum.
Saya mulai berpikir menulis untuk diri sendiri, mendokumentasikan perjalanan hidup dalam bentuk tulisan, menuangkan pendapat pribadi, dan bagian dari hiburan di waktu senggang.
Ketika menulis untuk diri sendiri, saya tidak akan terbebani apakah orang lain suka dengan tulisan saya atau tidak.
Pada akhirnya saya terbiasa bersikap netral atas pendapat orang lain, mencoba tidak tinggi hati ketika dipuji dan bila dikritik tidak akan masuk ke hati.
Publish tulisan artinya siap untuk dikritik?
Benar, itu konsekuensinya. Namun kita juga punya hak memilih bagaimana bersikap atas kritik. Saya lebih memilih berdamai dengan kritik, hanya demi menjaga kewarasan dan rasionalitas.
Kritik atau memberikan pendapat adalah bagian dari diskusi. Tulisan itu adalah pandangan dari si penulis.
Pandangan tersebut bisa saja sama dengan pembaca, dan bisa saja berbeda. Bila berbeda, akan muncul diskusi yang pada ujungnya memiliki pemahaman yang sama.
Bila diskusi tidak menemukan pemahaman yang sama, maka akhir dari diskusi adalah perdebatan.
Bila sudah sampai dalam tahap perdebatan, artinya kedua pendapat itu tidak perlu dilebur, karena sampai kapanpun tidak menemukan titik temu.
Nah, hal yang saya lakukan hanya meminta maaf karena tidak sependapat atau mengatakan bahwa pendapatnya benar meski tidak sepaham.
Kenapa banyak orang tidak mampu menulis?
Menurut saya, itu karena niat awalnya selalu menulis untuk orang lain, tidak jujur pada diri sendiri, terbebani dengan teori-teori menulis, takut dikritik dan selalu ingin tampak sempurna.
Padahal, menulis adalah bagian dari kita untuk menuangkan perasaan, menumpahkan isi kepala yang kepenuhan, atau menyampaikan suara yang sulit diucapkan.
Maka dari itu, setiap orang yang tahu A-B-C, harusnya mereka juga bisa mengeluarkan sebuah tulisan.
Sampai sekarang, saya tidak peduli tulisan saya enak dibaca atau tidak. Selama isi pesannya tersampaikan, saya menganggap tulisan saya sudah sampai pada tujuannya.
Ketika menulis itu menjadi bagian dari hiburan sebelum tidur, maka seharusnya kegiatan menulis menjadi hal yang menyenangkan, bukan sebuah beban.