
Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman, tempat anak-anak belajar tanpa takut atap runtuh, tanpa harus antre panjang hanya untuk memakai toilet, tanpa harus berbagi meja dengan tiga temannya.
Namun, kenyataan di banyak daerah justru berbeda. Sekolah kerap menjadi cermin dari ketimpangan pembangunan: yang megah ada di kota, tetapi di pelosok banyak yang rapuh.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan metode belajar, melainkan juga soal ruang fisik yang layak, aman, dan membebaskan. Ruang belajar yang rusak adalah belenggu yang menghambat anak-anak meraih masa depan mereka. Anak-anak yang belajar di ruang kelas yang sempit, lembap, atau rusak tak hanya kehilangan kenyamanan—mereka kehilangan rasa aman, dan pada akhirnya kehilangan motivasi. Tentu, ini adalah bentuk ketidakadilan yang berlangsung setiap hari, diam-diam tetapi sistemik.
Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap ketimpangan semacam ini. Banyak daerah tertinggal yang sekolah-sekolahnya sudah rusak parah, tetapi luput dari perhatian. Sementara itu, sekolah di daerah perkotaan yang relatif lebih baik justru mendapatkan lebih banyak alokasi.
Jika pembangunan pendidikan tidak diiringi dengan semangat pemerataan, maka ia hanya akan memperdalam jurang antara yang sudah maju dan yang tertinggal.
Di sinilah urgensi revitalisasi pendidikan menjadi sangat relevan dan penting. Revitalisasi pendidikan adalah bentuk konkret dari keadilan sosial. Ia adalah cara untuk memastikan bahwa semua anak Indonesia, tanpa memandang tempat lahir atau status ekonomi, berhak atas ruang belajar yang aman dan bermartabat.
Kita sedang membangun masa depan—bukan dengan slogan, tetapi dengan bata, semen, dan kepedulian. Sebab setiap ruang kelas yang diperbaiki, setiap toilet sekolah yang dibangun, setiap jendela yang dibersihkan, adalah langkah nyata menuju bangsa yang lebih setara.
Revitalisasi Pendidikan
Revitalisasi satuan pendidikan ibarat memperbaiki sebuah rumah yang telah lama retak. Rumah yang dibiarkan rapuh akan mengancam keselamatan penghuninya. Begitu pula sekolah, jika dindingnya retak dan kursi mejanya patah, anak-anak tidak lagi merasa terlindungi. Mereka tidak belajar dengan penuh semangat, karena lingkungan yang seharusnya mendukung justru menciptakan rasa cemas.
Kita harus menyadari, bahwa pendidikan yang membebaskan tidak bisa tumbuh di ruang yang membelenggu. Dan ruang yang membelenggu itu tidak akan hilang jika kita terus membiarkannya.
Baca juga: Tes Kemampuan Akademik 2025: Jembatan Menuju Pendidikan yang Memerdekakan
Sudah waktunya untuk berhenti membiasakan diri dengan sekolah-sekolah yang rusak. Revitalisasi pendidikan harus menjadi gerakan bersama—agar setiap anak Indonesia benar-benar bisa belajar, tumbuh, dan bermimpi, dalam ruang yang aman dan manusiawi.
Melalui Program Revitalisasi Satuan Pendidikan 2025, pemerintah mencoba membongkar pola lama pembangunan yang serba birokratis. Dana tidak lagi berhenti di meja kontraktor besar, tetapi langsung ditransfer ke sekolah. Kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat diberi ruang untuk menjadi pelaku utama pembangunan.
Data dari Kemendikdasmen menegaskan skala program ini. Tahun 2025, sebanyak 10.440 sekolah ditargetkan menerima bantuan revitalisasi. Hingga pertengahan tahun, 9.595 sekolah sudah mendapat pencairan tahap pertama sebesar 70%. Dari total sasaran 13.834 sekolah, tercatat 11.179 sekolah telah menandatangani perjanjian kerja sama.
Anggaran yang disiapkan tidak tanggung-tanggung: Rp 17,1 triliun. Angka-angka ini menunjukkan bahwa revitalisasi bukan sekadar program rutin, tetapi langkah besar yang dilakukan pemerintah dalam membangun kembali pondasi pendidikan nasional.
Namun demikian, revitalisasi bukan hanya tentang ruang kelas baru atau toilet yang bersih. Lebih dari itu, program revitalisasi diharapkan dapat menghidupkan kembali napas gotong royong yang telah lama menjadi identitas bangsa.
Kita membayangkan, betapa indahnya di banyak daerah, orang tua siswa membawa kuas untuk mengecat dinding sekolah, pemuda desa mengangkat batu untuk membuat pagar, guru dan komite sekolah mengatur pembelian bahan dari toko material setempat. Tukang bangunan lokal, penyedia pasir, bahkan warung kecil di depan sekolah ikut memberikan peran dan kelak merasakan manfaatnya.
Gotong royong yang sederhana ini dipastikan dapat menciptakan multiplier effect: ekonomi lokal bergerak, rasa kebersamaan tumbuh, dan sekolah menjadi milik bersama. Orang tua merasa bangga ketika melihat anaknya belajar di kelas yang dicat dengan tangannya sendiri. Anak-anak belajar bahwa perubahan besar lahir dari kebersamaan, bukan dari satu tangan saja.
Tentu, gotong royong butuh landasan kuat: kejujuran. Karena itu, seperti dituliskan di laman Kemdikdasmen, pemerintah menetapkan prinsip yang jelas dalam program ini: efektif, efisien, akuntabel, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Sekolah penerima bantuan wajib membuat rencana kerja yang transparan, menyiapkan panitia pembangunan, dan melibatkan tenaga ahli. Laporan penggunaan dana harus disusun dengan rapi, lengkap dengan bukti, foto, hingga serah terima aset.
Bila terjadi penyimpangan, sanksinya tegas: mulai dari teguran tertulis, pengembalian dana, hingga pencabutan hak untuk menerima bantuan di tahun berikutnya.
Dengan adanya aturan ini diharapkan supaya semangat gotong royong tidak ternodai oleh praktik curang, agar uang negara benar-benar kembali pada tujuan awal: menciptakan ruang belajar yang layak untuk anak-anak.
Sekolah Sebagai Rumah Bersama
Revitalisasi sekolah pada akhirnya bukan hanya proyek fisik yang menambah ruang kelas atau memperbaiki atap yang bocor. Di balik dinding yang dicat ulang, di balik meja dan kursi yang diperbaiki, ada pesan mendalam, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya urusan pemerintah.
Sekolah yang kokoh tidak semata lahir dari anggaran triliunan rupiah. Dana hanyalah bahan bakar, tetapi mesin penggeraknya adalah tangan-tangan yang mau bergandengan. Guru yang rela meluangkan waktu mengawasi pembangunan, orang tua yang membantu mengecat dinding, pemuda desa yang ikut mengangkat batu, hingga anak-anak yang dengan penuh rasa ingin tahu melihat sekolahnya berubah hari demi hari—semua terjalin dalam satu rangkaian kebersamaan.
Ketika masyarakat ikut membangun, sekolah berubah dari sekadar fasilitas menjadi simbol kebersamaan. Ia menjadi rumah bersama: ruang yang bukan hanya dipakai untuk belajar, tetapi juga dipelihara dengan cinta, dirawat dengan rasa memiliki. Di ruang kelas yang dicat oleh tangan ayah mereka sendiri, anak-anak akan belajar lebih giat, bukan hanya karena fasilitasnya lebih baik, tetapi karena ada kisah kasih sayang yang melekat pada setiap sudutnya.
Inilah titik di mana gotong royong menemukan makna barunya. Selama ini, kita sering memandang gotong royong sebagai warisan masa lalu—ritual kerja bakti yang semakin jarang kita temui di tengah kehidupan modern. Namun melalui revitalisasi sekolah, gotong royong bangkit kembali, bukan sekadar sebagai nostalgia, melainkan energi nyata untuk membangun masa depan.
Membangun sekolah pada hakikatnya berarti membangun bangsa. Bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang bergantung penuh pada pemerintah, melainkan bangsa yang masyarakatnya percaya pada kekuatan kebersamaan. Karena pada akhirnya, setiap anak yang belajar di ruang kelas yang lebih layak adalah investasi bersama untuk Indonesia yang lebih beradab.
Sekolah sebagai rumah bersama adalah gambaran paling sederhana namun paling kuat tentang bagaimana kita ingin masa depan dibentuk: tidak oleh satu tangan, tetapi oleh tangan-tangan yang saling menggenggam.