GeRak Desak Pemerintah Aceh Tindak Lanjuti Laporan Pansus Tambang DPRA

GeRak Desak Pemerintah Aceh Tindak Izin Usaha Tambang Mangkrak
Kepala Divisi Kebijakan Publik dan Anggaran GeRak Aceh, Fernan. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Gerakan Anti Korupsi (GeRak) Aceh bersama sejumlah akademisi mendesak DPRA dan Pemerintah Aceh segera menindaklanjuti temuan Panitia Khusus (Pansus) Tambang terkait carut marut tata kelola pertambangan di Aceh.

Desakan ini GeRAK usai audiensi dengan DPR Aceh disampaikan dalam audiensi di kantor DPRA, Banda Aceh, Rabu (29/10/2025).

Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRak Aceh, Fernan, menyampaikan pihaknya mengapresiasi kerja Pansus Tambang yang berhasil membuka persoalan di sektor pertambangan Aceh.

Namun, ia menegaskan hasil kerja tersebut tidak boleh berhenti pada laporan semata, melainkan harus segera diikuti dengan langkah konkret dari pemerintah daerah.

Fernan menyebut banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh yang berstatus aktif, namun tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Dari total 64 izin yang terdata, 28 di antaranya berstatus Operasi Produksi, tetapi hanya sebagian kecil yang benar-benar melakukan kegiatan produksi dan menyumbang penerimaan dari royalti.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sejumlah izin tersebut hanya aktif secara administratif, tanpa kegiatan operasional yang nyata. “Kami mendesak Pemerintah Aceh mengambil langkah tegas terhadap izin-izin yang mangkrak, baik yang berstatus eksplorasi maupun operasi produksi,” terang Fernan.

Selain itu, GeRAK Aceh menyebut pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba oleh pemerintah pusat berdampak besar terhadap kemampuan fiskal Aceh.

Menurutnya, pemotongan DBH menjadi pukulan berat bagi daerah penghasil sumber daya alam. “Di sektor Minerba saja, penerimaan Pemerintah Aceh yang sebelumnya mencapai sekitar 60 miliar, kini turun drastis di tahun 2025 menjadi hanya sekitar 25 miliar,” lanjutnya.

Baca juga: DJP Aceh: Dari 700 Perusahaan Tambang di Aceh, Hanya 45 yang Bayar Pajak

Penurunan serupa juga dirasakan oleh kabupaten penghasil tambang seperti Aceh Barat. Fernan menyebut, penerimaan dari DBH di daerah tersebut yang sempat mencapai hampir 100 miliar pada 2024, kini turun tajam akibat kebijakan nasional yang memangkas penyaluran DBH hingga 50 persen.

Ia menilai kebijakan itu bertentangan dengan semangat otonomi dan desentralisasi fiskal. “Sumber daya Aceh diambil dari tanah Aceh, tapi ketika hasilnya dibagi, pusat justru memotongnya. Kami meminta DPRA mendorong Pemerintah Aceh melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat,” katanya.

Selain soal pendapatan, GeRak Aceh juga mengingatkan biaya pemulihan lingkungan akibat aktivitas tambang jauh lebih besar dibandingkan penerimaan daerah. Menurut Fernan, berbagai dampak lingkungan seperti pencemaran air dan kerusakan lahan muncul tidak hanya dari tambang ilegal, tetapi juga dari tambang legal yang tidak taat aturan.

Ia mencontohkan kasus di Aceh Barat dan Nagan Raya yang terdampak pencemaran akibat kegiatan pertambangan batu bara dan aktivitas di sekitar PLTU.

GeRak Aceh juga menilai pengelolaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari perusahaan tambang di Aceh masih belum optimal. Fernan menyebut potensi CSR bisa mencapai 50 hingga 70 miliar per tahun, namun belum dikelola dengan sistematis karena tidak ada peta jalan yang jelas.

Ia menambahkan, hingga kini Pemerintah Aceh belum memiliki Peraturan Gubernur tentang Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM), padahal hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Minerba dan Keputusan Menteri ESDM sejak 2018.

Menanggapi hal itu, pimpinan DPRA yang hadir dalam audiensi mengatakan sepakat penurunan pendapatan daerah menjadi perhatian utama dan perlu dibahas lebih lanjut.

Artikel SebelumnyaSMSI Bahas Batas Kebebasan Media Baru di Era Digital
Artikel SelanjutnyaEks Anggota DPRA Tezar Azwar Meninggal Dunia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here