Gempabumi, Nek Umi, & Tsunami

Gempabumi, Nek Umi, & Tsunami
Kendaraan Landing Craft Air Cushion (LCAC), yang ditugaskan ke USS Bonhomme Richard (LHD 6) dan Expeditionary Strike Group Five (ESG-5), saat mengirimkan material dan perbekalan yang dibutuhkan kepada warga di Meulaboh empat hari usai dilanda tsunami. Foto: Koleksi US Navy.

Gempabumi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 sangat dahsyat. Itu pengalaman gempabumi paling parah yang saya alami. Pohon randu tinggi besar di kebun depan rumah meliuk-liuk mengerikan. Demikian juga pepohonan. Tinggi lainnya. 

Saat gempabumi terjadi, saya dan warga lainnya di Lorong Jalan Tuha, Teupin Mane, Juli, Bireuen, sedang menjemur pinang belah. 

Kala gempa terjadi, semua orang mencari perlindungan. Tapi seorang anak tak berani lagi melangkah. Ia histeris di tengah jalan. Saya berlari, menggendong sang anak kemudian membawanya ke orangtuanya yang sedang tiarap sembari mengucapkan zikir. 

Usai menjadi “super hero” saya kembali berlari ke rumah. Tapi kira-kira 200 meter kemudian, goncangan gempabumi kiam kuat terdengar dentuman berkali-kali. 

Saya tidak kuasa lagi berlari. Seorang perempuan tua yang kami sapa Nek Umi tiarap di tepi jalan. Ia memberi aba-aba supaya saya mendekat. Sembari merangkak saya mendekat. Beliau segera memeluk saya. 

Meu-ucak, Neuk,” katanya beberapa kali.

“Ini kiamat, Nek?”

“Bukan, ini gempa,” jawabnya. 

Beberapa waktu kemudian, gempabumi reda. Kami bangkit dari tempat tiarap. Mulai bertanya-tanya apa yang sedang berlaku? Apalagi terdengar suara dentuman keras. Kami mengira itu suara kontak senjata antara aparat keamanan dan GAM. Warga mengutuk suara dentuman.

Baca juga: Merawat Memori Tsunami untuk Edukasi Global

“Sedang gempa, mereka tak juga berhenti berperang,” gumam warga. Tapi informasi dari tentara yang berposko di Meunasah Teupin Mane, tak ada kontak senjata pagi itu. Seluruh pos yang dihubungi, mengaku tak ada kontak senjata. 

Seorang tokoh yang tergopoh-gopoh merepet sepanjang jalan. Dia mengatakan gempa barusan sebagai teguran atas kemaksiatan yang terjadi merajalela di atas muka bumi. 

Dia juga mengutuk tentara dan GAM yang masih saja berperang padahal gempabumi sedang mengayun Aceh dengan sangat kuat. Ia menafsir suara dentuman keras berkali-kali berasal dari ledakan bom yang dilempar oleh tentara ataupun gerilyawan GAM. 

Setengah jam setelah itu, kami beranjak ke tepian jalan besar lintas Bireuen-Takengon. Dulunya dikenal dengan nama Jalan Gayo. Beberapa ibu-ibu tertawa saat mendengar kabar dari sopir truk bahwa air laut naik ke darat. Di Samalanga, dan beberapa tempat di tepi laut di Bireuen, air laut terhempas ke daratan.

“Mana mungkin air laut naik ke darat. Ada-ada saja,” celetuk mereka. 

Sopir yang bercerita hanya nyengir. Mereka seperti enggan melanjutkan percakapan. Mungkin sopir berkesimpulan sia-sia saja memberitahu orang yang tidak tahu tapi sok tahu. 

Suasana menjadi heboh setelah beberapa jam kemudian Metro TV memberitakan bahwa gempabumi telah memicu gelombang tinggi di Banda Aceh. Gelombang tinggi tersebut menyapu daratan. Banda Aceh dilaporkan disapu hingga tinggal puing. Gelombang raksasa itu disebut tsunami. 

Korbannya mencapai ratusan orang. Kami yang menonton kaget. Tapi belum begitu syok. Tapi beberapa waktu kemudian, lutut terasa tak kuat berdiri. Korban gempabumi dan tsunami telah mencapai ribuan. Terus puluhan ribu. Selanjutnya, wartawan Metro TV memberitahu Lhokseumawe dihantam gelombang raksasa, Meulaboh, Aceh Barat juga luluh lantak. Kemudian Calang juga hancur berkeping. Banda Aceh sudah tak bersisa. Di mana-mana mayat terhampar, berserakan di mana saja. 

Dari Lhokseumawe, video berita paling menyayat yaitu kala seorang ibu meratap sembari memeluk jasad anaknya. Sang ibu menyeru, “Aneuk lôn!” Ia menangis histeris. 

Suara dentuman keras yang terdengar pagi itu, ternyata berasal dari patahan lempeng tektonik di bawah Samudra Hindia. Allahuakbar!

Satu persatu kabar datang ke Teupin Mane. Ada warga yang kehilangan keluarga di Meulaboh, Calang, Banda Aceh, di Lhokseumawe, dan lain-lain. 

Teupin Mane memang tidak apa-apa. Hanya satu dua gubuk terjungkal karena kaki-kakinya patah dihempas goyangan gempa. Satu dua rumah mengalami disfungsi rangka karena lepas dari pakuan. 

Tapi banyak warga Teupin Mane yang merantau ke Banda Aceh, yang tidak pulang lagi ke tempat mereka dilahirkan. Mereka hilang dalam gelombang mahadahsyat itu, dan sampai sekarang tak ditemukan. 

Setiap Magrib, warga mulai memanjatkan doa tolak bala di meunasah. Dengan penuh keikhlasan berdoa supaya konflik bersenjata segera berakhir. Apalagi yang hendak diperjuangkan? Semuanya telah hancur. Gempa berkekuatan 9,3 magnitudo itu telah menghilangkan 5 persen penduduk Aceh. Total yang meninggal dunia mencapai 170 ribu orang. 

Alhamdulillah, pada 15 Agustus 2005, delegasi GAM dan RI bersepakat berdamai di Helsinki. Konflik yang nyaris tak menemukan jalan keluar, akhirnya dipaksa Tuhan untuk berhenti melalui gempabumi dan gelombang tsunami setinggi 23 meter.
Artikel SebelumnyaMaSA Bakal Gelar Perayaan Internasional Keumalahayati ke-2 Besok
Artikel SelanjutnyaSingkil, Tsunami, dan 2 Gempa Mahadahsyat
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here