Gara-gara Stres, Gadis Ini Alami Hiperventilasi

Gara-gara Stres, Gadis Ini Alami Hiperventilasi
Ilustrasi. Foto: Komparatif.ID.

Komparatif.ID—dr. Gia Pratama Putra berbagi kisah tentang seorang gadis yang mengalami hiperventilasi gara-gara stress. Kisah itu disitat Komparatif.ID pada Rabu (29/10/2025).

Dr. Gia Pratama Putra berkisah, pada suatu pagi seorang perempuan muda tiba di IGD rumah sakit tempat sang dokter bekerja. Gadis itu dipapah oleh dua temannya.

Keluhan yang disampaikan temannya, bahwa gadis tersebut mengalami sesak nafas, dan tangannya kaku.

Dr. Gia menatap pasien tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut si gadis berantakan, nafasnya cepat, dada naik turun. Otot di ujung kedua tangannya tampak kaku. Jari-jarinya menekuk membentuk seperti paruh kecil; moncong bebek.

Melihat tanda-tanda fisik, dr. Gia sudah curiga bila si gadis menderita hiperventilasi. Dari gejala yang terlihat, si gadis sepertinya mengalami penurunan tekanan CO2 dalam darah.

Akan tetapi dia tetap harus menyingkirkan diagnosis lain. Mungkin di gadis menderita asma atau gangguan metabolik.

Ketika ia menempelkan stetoskop di dada si gadis, dr. Gia menemukan bila bunyi nafas vesikuler bersih, tidak ada wheezing, nadi cepat, tapi ritme teratur. Dia berkesimpulan ini bukan asma. Paru-paru si gadis normal.

Dr. Gia memerintahkan dua stafnya melakukan tugas masing-masing. Satu orang diperintahkan mengambil darah untuk cek elektrolit dan gula darah. Satu lagi diperintahkan cek EKG.

Baca juga: 7 Penyebab Ibu Rumah Tangga Stres

Dr. Gia Pratama Putra menatap layar monitor. Nafas si gadis 36 kali per menit. Normalnya hanya belasan kali saja. Saturasi oksigen 99 persen. Ironisnya tubuh si gadis merasa kekurangan udara. Padahal tubuhnya kebanjiran oksigen.

“Kasih sungkup NRM, low flow saja,” perintah dr. Gia. Sementara itu dalam waktu bersamaan staf datang membawa hasil pemeriksaan EKG. Hasilnya bagus. Jantung si gadis aman.

Dr. Gia yakin bila si gadis mengalami hiperventilasi, kondisi saat seseorang bernafas terlalu cepat, CO2 di dalam darah menurun drastic. Akibatnya pH darah naik, menjadi lebih basa. Kondisi ini disebut alkalosis respiratorik.

Dalam kondisi ini ion kalsium bebas ikut turun. Otot kehilangan kestabilan, dan mulai berkontraksi sendiri, yang menyebabkan jari-jari tangan dan kadang wajah- menjadi kaku.
Pasien akan mengalami sesak, pusing, dan makin panik, dengan demikian nafasnya makin cepat. Akibatnya semakin banyak CO2 yang terbuang. Ini sebuah lingkaran setan.

Dr. Gia kemudian memandu secara perlahan. Si gadis diminta menarik nafas secara perlahan lewat hidung, kemudian mengeluarkan lewat bibir yang dirapatkan; seperti bersiul pelan..
Awalnya si gadis tersengal, tapi pelan-pelan mulai bisa mengikuti. Kantong NRM yang terpasang, membantu menahan CO2.

Secara perlahan di layar monitor, nafasnya mulai turun hingga ke 30. Tubuhnya mengikuti ritme yang lebih wajar.

Dr. Gia membaca hasil laboratorium. Pasien tersebut masih sangat muda. Tidak ada penyakit paru atau metabolic lain. Semuanya mengarah ke hiperventilasi murni akibat stress.

Pasien tidak mengalami asma, gangguan jantung, bukan diabetes. Ia mengalami panik menumpuk yang menyebabkan badai paru.

Melihat hasil diagnosa, dr. Gia bertanya, apa yang dialami oleh si gadis. Perempuan muda itu menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia kemudian curhat, dia merasa orang-orang di sekitarnya hidup bahagia. Sedangkan dirinya capek, gelisah, sedih, dan lain-lain.

Dr. Gia menatap monitor. Detak semakin pelan. Dokter tersebut dengan nada semakin lembut terus berdialog ringan dengan si pasien.

“Dan ilusi dunia itu justru yang membuat banyak orang sedih, cemas, dan kehilangan arah. Karena, percayalah, hidup nyata itu bukan euforia tanpa henti. Saya di IGD jadi saksi. Hidup itu penuh musim. Ada hari yang indah, ada hari yang sangat kejam. Ada hari yang hanya… berganti begitu saja,” kata dr. Gia Pratama.

Gadis itu mendengarkan dengan jiwa yang tenang. Dr. Gia menatap layar monitor di belakang si pasien. Nafasnya makin stabil, dada yang tadi berayun cepat, sekarang turun lembut, hamper tidak terlihat. Normal seperti kedua temannya.

“Jadi kalau kamu sedang merasa rendah diri, itu bukan kegagalan. Itu tanda kamu manusia asli. Kedamaian akan tumbuh dari kemampuan menerima titik rendahmu tanpa rasa kalah,” kata dokter memberikan dukungan.

Si gadis tersenyum. Tangan yang tadi kaku, kini menggenggam ujung selimutnya sendiri.

“Jadi aku gak rusak ya, Dok?” ia bertanya.

“Tidak. Kamu Cuma resmi menjadi manusia normal,” jawab dr. Gia sembari tersenyum.

Gadis itu tertawa kecil; samar, seperti orang yang baru sadar dirinya bisa bernafas normal.

Suara tawanya membuat dua staf dan dua temannya ikut tertawa. Nafas si gadis kini benar-benar tenang. Dia telah sembuh.

Artikel SebelumnyaRatusan Anak Indonesia di Malaysia Meriahkan Jambore 2025 di Sabah
Artikel SelanjutnyaProdi Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry Latih 83 Pengelola Perpus Sekolah di Bireuen

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here