Dalam literatur Aceh, ganja sering ditanam sebagai lakoe caplie. Layaknya suami—yang memberikan perlindungan, demikianlah tanaman ganja, menjauhkan tanaman cabai dari serangan hama.
Sebelum 2013, saya tidak pernah menapaki Pulo Aceh, sebuah gugusan pulau yang ada di Aceh Besar. Bila harus memenuhi syarat menyempurnakan ilmu hitam yaitu harus melintasi tujuh gunung, tujuh rimba, tujuh laut, dan tujuh pulau, maka Pulo Aceh merupakan syarat terakhir yang harus saya tapaki.
Eits! Jangan dimasukkan ke dalam hati.Ini hanya bercanda saja. Canda merupakan bagian integral dalam kebudayaan Aceh. Cagok, h’iem, merupakan komedi ala Aceh. Orang Aceh gemar melucu, mulai dari yang ringan, hingga yang membuat telinga pejabat tidak nyaman.
Tahun 2013 saya berkesempatan melangkah ke sana. Dengan semangat berlipat ganda, saya bergegas. Seorang teman yang memiliki usaha penyewaan sound system, mendapatkan orderan ke Pulo Aceh. Saya diajak ikut serta untuk peurame ngon.
Baca: Pantai Lambaro, Surga Penyu Belimbing di Pulo Aceh
Mendapatkan ajakan ke Pulo Aceh, tentu saja tidak saya tolak.Ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Saya pun mengepak barang.
Kami dijemput di “pelabuhan non formal” di samping jembatan Ule Lheu, Banda Aceh. Camat Pulo Aceh menjemput kami menggunakan boat bermesin “turbo”—mereka menyebutnya speed boat. Dengan penuh kehati-hatian sound system dinaikkan ke dalam boat. “Untuk kebutuhan pelantang suara pada dakwah Islamiyah,” sebut seorang anggota penjemput.
Seperti di tempat-tempat lain di Aceh, dakwah Islamiyah digelar pada malam hari, setelah pelaksanaan Maulid Nabi.
Proses loading barang ke dalam kapal harus dilakukan cepat-cepat, sebelum jisurot ie. pagi itu kami berlomba dengan waktu. Bila lambat, semua akan sia-sia.
Speed boat pun meluncur, membelah ombat selat tak bernama dan kemudian menerjang ombak Samudera Hindia. Kami meninggalkan daratan Aceh, melintasi Ujong Pancu, Aceh Besar, melintas pulau-pulau kecil, Pulau Batee, Pulau Nasi.
Ombak yang ditabrak oleh body haluan, pecah; terbang ke udara, kemudian menerpa tubuh kami. Saya yang sempat duduk di haluan, akhirnya harus pindah setelah baju saya basah kuyup. Ransel yang saya pasangi cover, selamat dari “siraman air” cipratan. Kamera DSLR yang saya gunakan memotret pemandangan sepanjang perjalanan, juga selamat karena dilindungi kondom.
Saya baru paham mengapa dua pria yang menjemput kami di pelabuhan, keduanya memakai helm. Bukan untuk menghindari tilang, tapi melindungi kepala dari terpaaan angin dan air laut.
Setiap berpapasan dengan boat lain, mereka saling menyapa. Bahkan ada yang bercanda, “Hana suwah sok helem. Hana jidrop le polisi (tidak perlu pakai helm, tidak akan ditangkap oleh polisi) celetuk seorang pria yang berada di boat lain.
Mereka tertawa, canda khas membunuh jenuh perjalanan yang bagi mereka tentu sudah membosankan.
Sepanjang perjalanan boat yang saya tumpangi melaju di dinding pulau-pulau. Ketika saya tanya mengapa mereka memilih melaju di pinggir? Alasannya soal safety, bila terjadi kerusakan boat. Mereka akan lebih mudah menggapai daratan. Apalagi bila mengingat arus lampuyang yang berada di tengah-tengah gugusan kepulauan tersebut, arusnya sangat deras. Jangkan boat kecil, KMP saja ngos-ngosan melintasinya.
Seorang awak boat bernama Amat, mengatakan dia pernah merantau ke Lhokseumawe, bekerja sebagai kernet truk. Ketika intensitas konflik bersenjata semakin meninggi, dia memilih kembali ke Pulo Aceh.
“Tak sanggup saya, Bang. Wie uneuen aparat [keamanan] ban mandum,”—dia tidak sanggup lagi menjadi kernet truk, karena di sepanjang jalan pos-pos aparat [TNI/Polri] berdiri. Mereka meminta upeti, bila tak diberi akan dibogem.
Saya menikmati cerita sembari tak henti-hentinya mengagumi keindahan gugusan Pulau Aceh. lautnya indah, pulau-pulaunya menyajikan kemolekan tiada tara.
Tiga jam sejak “menaikkan jangkar”, kami tiba di Pulo Breuh bagian utara. Kami disambut oleh warga dalam jumlah yang ramai.
Setelah speed boat bersandar, kami harus bersusah payah naik ke pelabuhan. Kami berpegangan pada tali yang dijulurkan ke perahu. Barang-barang diangkat ke darat oleh orang-orang itu.
Di dekat dermaga terdapat beberapa kios dan kedai kopi. serta terdapat juga balai nelayan yang terletak tidak jauh dari meunasah.
Saya menolak beristirahat di rumah keuchik dan meunasah. Saya memilih balai nelayan untuk menaruh barang dan merebahkan badan. Pulo Aceh aman. Tak ada maling. Demikian kata seorang anak kecil yang tidak mau menjauh dari saya. Dia datang, menyapa dan langsung akrab.
Saya paham, dia bukan anak yang sekadar iseng. Dia “bertugas” sebagai telik sandi. Mata dan telinga Pulo Aceh, mengawasi tamu dengan cara yang sangat tradisional; keramahtamahan anak-anak.

Siapa saja boleh keluar masuk Pulo Aceh. Bebas memotret, jalan-jalan, apalagi bernyanyi keras-keras di dalam hati. Selain konser sunyi di dalam dada, semuanya dalam pantauan “mata dan telinga” Pulo Aceh.
Bob Rezal dan Senandung di Tepi Laut
Saat mereka tahu saya berasal dari Lhokseumawe, mereka menjadi lebih akrab. Saat menyeruput kopi di warung, seoranag warga bercerita bahwa dulu si Bob pernah tinggal di Pulo Aceh. Dia berasal dari Aceh Utara.
Saya bertanya, Bob yang mana.
“Si Bob yang penyanyi itu lho,” terang seorang warga.
“Ooo Bob Rezal,” timpal saya.
Mereka kompak mengiyakan. “Dia pernah tinggal di sini. Sering bermain gitar di tepi laut,” terang seorang warga sembari menunjuk sebatang kelapa, yang diikatkan ayunan (hammock) khas tepi pantai.
“Dia sering mengajarkam kami memetik gitar,” terang seorang pria. Saya tersenyum.
Siapa yang tak kenal Bob Rezal. Dia penyanyi Aceh yang sempat menjadi super star di Malaysia, kemudian pulang kampung. Dia legenda.
Ganja Lakoe Caplie dan Bisnis Madat
Warga Pulo bercerita, sebelum 2013, banyak orang dari Matang (Peusangan), Geurugok,Krueng Mane,Krueng Geukuh, Lhoksukon, Pantonlabu, Alue Ie Puteh,datang ke Pulo Aceh.
Saya yang pura-pura tidak tahu, bertanya kepada Dun—warga lokal—yang paling banyak bercerita, apakah gerangan sehingga banyak warga Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara bertandang ke Kecamatan Pulo Aceh.
Dun berkisah bila kedatangan mereka ke tempat tersebut untuk berniaga lakoe caplie (ganja).Ada yang menetap setelah jatuh cinta kepada gadis tempatan, ada yang memang sekadar berbisnis.
Bagi yang memilih menikah dengan gadis lokal, mereka kemudian beralih menjadi petani. Tani apa? Jelaslah bercocok tanam lakoe caplie.

Pulo Aceh merupakan negeri yang subur. Menanam ganja di sini tidak membutuhkan pupuk. Asal mau tanam, pasti akan tumbuh. Ganja Pulo dikenal memiliki kualitas terbaik.
Meski tanahnya subur dan ganja tumbuh dengan baik, tapi belum ada petani ganja yang kaya. Sebagai produk pertanian, tataniaga ganja sangat semraut.
“Petani lakoe caplie tidak ada yang kaya, Bang,” kata Dun sembari menunjuk rumah-rumah petani ganja.
“Mengapa mereka tidak kaya?”
Dun menjelaskan harga ganja sangat fluktuatif. Bila sedang banjir ganja, harganya jatuh semurah-murahnya. Selain di Pulo, daerah lain yang memproduksi ganja yaitu Blang Keujren, Beutong, Lamteuba. Ada juga di Aceh Utara Bireuen.
Pembeliannya juga seringkali tidak cash. Agen dan toke ganja yang datang dari Matang Bireuen dan Aceh Utara, membawa barang ke luar Pulo, dengan sistem angkat barang, utangkan.
Mereka kembali lagi ke Pulo untuk membayar, bila barang-barang tersebut telah laku. Ada yang melakukan sistem barter. Toke dari Matang (Bireuen) dan Aceh Utara menukarkan ganja dengan Honda GL Pro.
Razia Aparat
Dulu, sebelum menjadi Kecamatan Pulo Aceh, wilayah tersebut berada di dalam wilayah Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Pusat kecamatan Peukan Bada berada di daratan Aceh. Dengan demikian, polisi tidak ada di Pulo Aceh.
Setiap kali ada aparat (polisi, tentara) yang datang ke Pulo Aceh, pasti sudah diketahui terlebih dahulu. Karena transportasi satu-satunya hanya mengggunakan boat atau kapal.
Operasi pemberantasan ganja tentu saja ada. Salah satu yang terbesar saat konflik bersenjata masih mendera Aceh.
Saat itu Pulo Aceh dikepung marinir. Banyak petani ganja ditangkap. Ganja-ganja dikumpulkan di dermaga. Jumlahnya sangat banyak. Menggunung. Gunungan ganja itu dibakar. Asap membumbung tinggi,aroma khasnya menyebar, memenuhi ruang udara.
Sebatang Lakoe Caplie Linting
Saya meninggalkan warkop sederhana itu menuju meunasah. Langit telah meulele Asa. Jelang Magrib. Orang Aceh menyebutnya sama leumo. Pada waktu demikian, para setan dan iblis sedang keluar dari sarangnya. Mereka menyebar ke antero kolong langit.
Setelah Salat Magrib, kami diundang makan malam di rumah Keuchik gampong setempat. Rumah tersebut tidak jauh dari meunasah. Ketika tiba, saya kaget, karena bertemu dengan Teungku Majid, guru ngaji dan penceramah di Lhokseumawe.
Setelah sama-sama terkejut, Teungku Majid bertanya, ada keperluan apa saya berada di Pulo Breuh?
“Jadi, droenuh yang ceuramah malam nyoe (Ustad yang ceramah malam ini)?” tanya saya setelah menjawab pertanyaannya. Dia mengangguk.
Selesai acara dakwah, saya diajak ke sebuah kedai kopi dekat dermaga. Saya salaman dengan orang-orang tua yang duduk di depan. Seorang pria memanggil saya mengajak ke belakang kedai.
Di belakang kedai sudah ramai anak muda berkumpul. Di atas sebuah meja, ditaruh koran yang di atas koran tersebut ditaruh setumpuk lakoe caplie siap konsumsi.
Salah seorang pemuda mempersilakan saya menyicipinya. “Ka, Bang,” katanya mempersilakan.
Saya tersenyum kecut.Terakhir kali saya mengisap lakoe caplie pada tahun 2001. Saya agak takut. Tidak ada keberanian menyentuhnya.
Seorang pemuda meyakinkan bahwa mengisap ganja di Pulo, aman. Yang penting jangan terlalu mencolok. Hargai orang tua, dan aparat keamanan.
Hhhmmm, dulu, sebelum ganja dilarang, tanaman tersebut merupakan lakoe caplie. Tumbuhan yang melindungi cabai dari serangan hama. Dalam khazanah pertanian Aceh tempo dulu, ganja dijadikan tumbuhan anti hama. Dalam tiap kebun cabai, tentu ditanami batang-batang ganja, penarik hama alamiah.
Pulo Aceh merupakan salah satu tempat di Aceh yang tanahnya subur, lautnya indah, hasil lautnya sangat menarik. Berada di Teluk Benggala, tidak begitu jauh dari India.
Meski memiliki potensi besar, tapi pemerintah lupa-lupa ingat terhadap Pulo Aceh.












