Etnis Rohingya Sering ke Aceh, Pemerintah Perlu Tempuh Langkah Pasti

Dr. Andika Jaya Putra, M. A, meminta Pemerintah Aceh melakukan sejumlah langkah dalam penanganan pengungsi etnis Rohingya di Aceh. Foto: Dok. Pribadi.
Dr. Andika Jaya Putra, M. A, meminta Pemerintah Aceh melakukan sejumlah langkah dalam penanganan pengungsi Rohingya di Aceh. Foto: Dok. Pribadi.

Komparatif.ID, Banda Aceh– Pengungsi etnis Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, semakin sering “didamparkan” ke Aceh. Oleh karena itu Pemerintah Aceh perlu melakukan sejumlah langkah antisipasi demi tetap berjalannya layanan kemanusiaan.

Demikian disampaikan oleh Ketua  Konsorsium LSM Aceh Peduli Rohingya Dr. Andika Jaya Putra, M. A, yang juga Direktur Community Rehabilitation and Research Centre (CRRC), Selasa (27/12/2022).

Andika menyebutkan, sejak beberapa waktu lalu pengungsi luar negeri etnis Rohingya sudah berkali-kali “terdampar” di Aceh. Selama ini bantuan tetap diberikan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah dan lembaga internasional. Akan tetapi karena Aceh bukan tempat penampungan pengungsi luar negeri, tentu pemerintah daerah mengalami sejumlah masalah. 

Baca juga: Imigran Rohingya Kembali Terdampar, Polda Aceh Lakukan Pendataan

“Alhamdulillah, baik aparat penegak hukum, masyarakat, CSO, hingga pemerintah bersedia membantu dengan sangat baik. Pengungsi-pengungsi tersebut diberikan makanan, pakaian, obat-obatan, jaminan keamanan, hingga perelokasian ke tempat lain,” sebut Andika.

Hanya saja, dengan status Aceh bukan daerah Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN), tentu layanan kemanusiaan yang diberikan tidak maksimal. Sebatas melakukan tugas kemanusiaan yang tidak bisa dihindari. Kondisi ini tentu saja akan menguras sumber daya yang tidak pernah disiapkan. 

Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu segera membentuk Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri, demi maujudnya koordinasi terukur mengingat kehadiran etnis Rohingya di Aceh tersebar di beberapa titik seperti di Aceh Besar, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur. Satgas yang dimaksud oleh Dr. Andika berada di bawah otoritas Pemerintah Aceh. 

imigran
Imigran Rohingya kembali terdampar di pesisir pantai Aceh, Senin (26/12/2022). Foto: Ist.

Kemudian, sejumlah lembaga nasional dan internasional yang bergerak pada penanganan pengungsi, juga harus berada di bawah koordinasi Pemerintah Aceh. 

Atas nama sejumlah Civil Society Organisation (CSO) terdiri dari CRRC, Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM), Yayasan Geutanyoe, Yayasan Anak Merdeka, dan  Lembaga Pengkajian, Pemberdayaan, dan Konsultasi, Andika mengusulkan kepada Pemerintah Aceh supaya melobi Pemerintah Pusat agar Aceh ditetapkan sebagai  penampungan sementara. “Penetapan satu tempat penampungan sementara akan mempermudah penanganan pengungsi secara kolaboratif,” sebutnya.

APH Harus Usut Dugaan TPPO Pengungsi Etnis Rohingya

Pada kesempatan yang sama Dr. Andika Jaya Putra juga mendorong aparat penegak hukum supaya melakukan pengusutan terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan menjerat para pelaku dengan hukuman maksimal.

Dugaan Andika bukan tidak beralasan. Dalam banyak pengalaman, termasuk dalam konteks etnis Rohingya yang mengungsi ke luar negeri, terindikasi telah terjadinya tindak pidana perdagangan manusia. 

“Banyak pengalaman demikian. Ada praktek perdagangan manusia di dalamnya. Ini harus diusut oleh penegak hukum. Jangan sampai kebaikan hati pemerintah dan masyarakat, dimanfaatkan oleh jaringan trans nasional yang bertujuan meraup untung dengan memanfaatkan konflik bersenjata di wilayah-wilayah perang,” sebutnya.

Kepada organisasi internasional yang mengelola pengungsi, Andika meminta supaya menjunjung tinggi adat-istiadat Aceh, Termasuk pelaksanaan syariat Islam. 

Juga perlu melibatkan tenaga kerja lokal dalam kerja-kerja kemanusiaan di Aceh. Jangan sampai berulang pengalaman yang sibuk urus pengungsi relawan lokal, yang mendapatkan manfaat ekonomi justru pekerja luar yang datang ke Aceh. 

“Menjaga keseimbangan sosial juga sangat perlu. Harus ada keseriusan memberdayakan tenaga kemanusian berbasis lokal. Supaya dalam penanganan pengungsi luar negeri lebih maksimal.”

Tentang Etnis Rohingya

Dikutip dari Wikipedia.com, Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet).

Menurut penuturan warga Rohingya dan beberapa tokoh agama, mereka berasal dari negara bagian Rakhine.

Sedangkan sejarawan lain mengklaim bahwa mereka bermigrasi ke Myanmar dari Bengal terutama ketika masa perpindahan yang berlangsung selama masa pemerintahan Inggris di Burma dan pada batas tertentu perpindahan itu terjadi setelah kemerdekaan Burma pada tahun 1948 dan selama periode Perang Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971. 

Muslim dilaporkan telah menetap di negara bagian Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan) sejak abad ke-16, meskipun jumlah pemukim Muslim sebelum pemerintahan Inggris tidak tidak diketahui dengan pasti.

Setelah Perang Anglo-Burma Pertama tahun 1826, Inggris menganeksasi Arakan dan pemerintah pendudukan mendorong terjadinya migrasi pekerja dari Bengal datang ke sana untuk bekerja sebagai buruh tani. Diperkirakan terdapat 5% populasi Muslim yang mendiami Arakan pada tahun 1869, meskipun perkiraan untuk tahun sebelumnya memberikan angka yang lebih tinggi.

Inggris melakukan beberapa kali sensus penduduk antara tahun 1872 dan 1911 yang hasilnya mencatat peningkatan jumlah populasi Muslim dari 58.255 ke 178.647 di Distrik Akyab.

Selama Perang Dunia II, pada tahun 1942 terjadi peristiwa pembantaian Arakan, dalam peristiwa ini pecah kekerasan komunal antara rekrutan milisi bersenjata Inggris dari Angkatan Ke-V Rohingya yang berseteru dengan orang-orang Buddha Rakhine. Peristiwa berdarah ini menjadikan etnis-etnis yang mendiami daerah menjadi semakin terpolarisasi oleh konflik dan perbedaan keyakinan.

Pada tahun 1982, pemerintah Jenderal Ne Win memberlakukan hukum kewarganegaraan di Burma. Undang-undang tersebut menolak status kewarganegaraan etnis Rohingya. Sejak tahun 1990-an, penggunaan istilah “Orang-orang Rohingya” telah meningkat dalam penggunaan di kalangan masyarakat untuk merujuk penyebutan etnis Rohingya.

Artikel SebelumnyaMuzakir Manaf Dilantik Sebagai Waliyul ‘Ahdi Wali Nanggroe
Artikel Selanjutnya8 Prodi FKIP USK Raih Akreditasi Unggul
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here