Komparatif.ID, Banda Aceh— Ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada kucuran dana Pusat. Tidak hanya itu, kontribusi ekonomi Aceh di Pulau Sumatra hanya 5 persen, menempatkan provinsi paling ujung barat Indonesia ini berada di peringkat kedelapan, di bawah Sumatra Utara hingga Riau.
Hal tersebut disampaikan pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK), Rustam Effendi, S.E., M.Econ, dalam diskusi publik PR Gubernur Terpilih yang digelar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Wilayah (MW) Aceh di Gedung Wakaf MW KAHMI Aceh, Sabtu (2/11/2024)
“Aceh punya kekuatan besar di sektor kuliner dan budaya, tetapi kita lemah pada fondasi ekonomi. Investasi swasta minim, sementara Pendapatan Asli Aceh (PAA) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita sangat kecil, membuat Aceh sangat bergantung pada dana pusat,” paparnya.
Rustam juga menyoroti rendahnya pengalokasian anggaran untuk sektor produktif, yang lebih banyak dihabiskan untuk pengadaan barang dan jasa daripada investasi jangka panjang.
“Sektor koperasi kita mendapat alokasi besar, tetapi dampaknya tak signifikan dalam memperkuat ekonomi daerah,” ujarnya.
Rustam menegaskan, Gubernur Aceh mendatang harus berani membangun fondasi ekonomi Aceh yang kuat, mandiri, dan tidak sekadar mengikuti pola yang sudah ada.
Ia menyarankan agar gubernur terpilih menandatangani pakta integritas di hadapan ulama Aceh untuk menegaskan komitmennya.
Baca juga: Prof. Syamsul Rijal Usul Ubah Kurikulum Filsafat Islam di PTKIN
Sementara itu, akademisi hukum UIN Ar-Raniry, Chairul Fahmi, menyebut penerapan syariat Islam di Aceh yang ia nilai lebih mengutamakan formalitas daripada substansi.
“Syariat di Aceh saat ini lebih banyak dilihat dari sisi penampilan dan sanksi formal, bukan pada substansi nilai Islam itu sendiri. Kita masih berada dalam periode Mekkah, belum pada tahap Madinah,” ujarnya.
Fahmi menyayangkan penegakan syariat Islam di Aceh kerap kali menjadi sekadar formalitas, seperti razia celana pendek, yang menurutnya tidak mencerminkan kedalaman penerapan ajaran Islam.
“Para pemimpin harus berfokus pada pengembangan konsep yang strategis dan terukur, yang bisa diimplementasikan dan berdampak nyata di lapangan,” tambahnya.
Menurut Fahmi, pemimpin yang mampu mengintegrasikan nilai syariat dengan sistem pemerintahan yang lebih profesional sangat dibutuhkan Aceh saat ini.
Senada dengan Fahmi, sosiolog kawakan Otto Syamsudin Ishak,menekankan pentingnya peran pemimpin Aceh dalam memahami struktur sosial dan keberagaman budaya di Aceh. Ia menyampaikan kekhawatirannya akan kesenjangan sosial di Aceh yang cenderung makin tajam. Otto menyebut bila kesenjangan ini terus berlanjut ditakutkan akan menjadi sumber masalah baru.
“Kondisi sosial Aceh ini ibarat kopi tubruk—jika panas, posisinya di atas; jika dingin, di bawah. Ada kondisi-kondisi sosial yang kita abaikan, yang kemudian menjadi sumber masalah,” kata mantan Komisioner Komnas HAM itu.
Otto menilai bahwa selama ini, pemerintah Aceh belum mampu memanfaatkan potensi besar masyarakat Aceh yang memiliki karakteristik beragam di setiap daerah. Ia mencontohkan Aceh Besar yang dikenal dengan sifat masyarakatnya yang loyal.
“Pemimpin Aceh harus memahami dan menghargai keunikan budaya di tiap daerah, bukan hanya melihatnya secara seragam,” tegasnya.
Otto juga mengatakan, pemimpin yang memiliki visi jelas, integritas, dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakatnya sangat penting untuk Aceh di masa depan.
Ahli-ahli di aceh, sama kya umumnya orang-orang di aceh kebanyakan raya-haba. harus begini-harus begitu. harus pahami ini-harus pahami itu. bukan malah bertindak yang penting. sama kya alm. cawagub dari nomor 1 pernah bilang, syariat itu baru jalan klo daerah udah makmur. makanya bagi orang-orang yang kebanyakan bilang aceh harus merdeka itu, termasuk orang yang banyak termakan bacaan hoax, seolah-olah aceh langsung makmur, yang ada malah makin hancur.
salah satu anggota tni/kepolisian pernah ngomong kek gini, kenapa banyak investor aceh, malah investasi di luar aceh? ya karena ekonomi aceh busuk dan orang-orangnya pun banyak yang nggak beres. mantan jurnalis juga pernah nulis, klo orang cina di aceh juga mengakui, klo ekonomi aceh itu udah stagnan, nggak berkembang dan nggak ada harapan.