Komparatif.ID, Banda Aceh—Puisi Duka Desember membelah langit di atas Taman Budaya Banda Aceh, Sabtu (28/10/2023). Di hadapan ratusan penikmat seni pertunjukan, Zulfikar Kirbi menghentak malam, diiringi musik SyuKlana.
Duka air kepada tanah daratan
Di negeri yang sedang bertikai
Diguncang gempa berskala tinggi
Senyap seketika luluh lantak
Dipeluk gelombang
Dengan balutan busana serba hitam Zulfikar Kirbi melantunkan Duka Desember. Asap putih mengepul, diselingi lampu aneka warna yang dipancarkan dari lighting nan memesona. Pria itu lantang membaca bait demi bait puisi yang ia karang di Medan, Sumatra Utara, pada 26 Desember 2016.
Baca: Pemberian yang Tak terbalas; Tari Atas Luka Bangsa
Kemarin
Seperti terlupa pada isyarat
Seakan-akan tak memberi tanda
Diam-diam datang menyapa
Singgah di daratan porak-poranda.
Penonton diam. Lezat menikmati hidangan lema-lema yang disusun dengan perasaan yang entah bagaimana. Penonton masyuk menghidu aroma bait demi bait persembahan Zulfikar di atas panggung Trangi 9 Kuah Beulangong Art.
Negeri berduka
Belasungkawa bukan saja penghapus lara
Jadi pelajaran di segala musibah
Agar tak semakin dalam luka
Dan nestapa
Komponis Aceh Moritza Taher, budayawan Thayeb Loh Angen, duduk menatap panggung yang sedang bergelut dengan musik dan irama puisi. Ampon Yan mondar-mandir di ruang-ruang sempit kursi memanjang membentuk suasana amfiteater Yunani di masa lalu.
Baca: Sebelum Sarapan; Lelaki Sialan dan Cinta yang Gila
Di depan, di samping meja bulat, sejumlah pejabat duduk khidmat. Ada Razuardi Ibrahim di sana. Ia terlihat asyik masyuk menikmati sajian kata Duka Desember yang didengungkan dari mulut sang penyair. Demikian juga Ketua Trangi 9 Maida Atmaja. Perempuan itu sangat menikmati kata demi kata yang disusun sejawatnya.
Panjangkan saja istighfar
Jangan jenuh doa dikirimkan
Berserah kepada Yang Kuasa
Jalan kerelaan
Selain kemurkaan
Selebihnya cinta
Tepuk tangan bergemuruh, kala Zulfikar Kirbi menuntaskan Duka Desember. Pemetik gitar SyuKlana,Syarifah namanya, seorang perempuan muda dan energik, kembali memetik senar gitar. Ia dan rekan-rekannya memulai musik diorama, mengiringi puisi lainnya yang dibaca sang penyair; Mano Pucok.