Komparatif.ID, Meulaboh—Dr. Muhajir Al Fairusy mengajak kaum muda Aceh untuk memperkuat semangat moderat di dalam jiwanya. Karena itu syarat titik bangkit peradaban Islam di Serambi Mekkah
Hal tersebut disampaikan Doktor Antropologi tersebut dalam orasi ilmiah, Senin (31/7/2023) di hadapan unsur sivitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Meulaboh, serta mahasiswa dan para sarjana yang mengikuti yudisium.
Dr. Muhajir Al Fairusy yang merupakan lulusan pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Departemen Antrologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga pensyarah di STAIN Meulaboh, dalam orasi ilmiahnya menyampaikan moderasi beragama merupakan bagian dari bangkitnya peradaban Islam di Aceh pada masa lampau.
Baca: Bandar Susoh Penghasil Lada dan Sutera
Ketika Aceh mencapai kegemilangan pada Abad ke-17 Masehi, Kerajaan Aceh Darussalam, merupakan satu-satunya wilayah kedaulatan yang terbuka dengan dunia luar di semenanjung Tanah Melayu. Pergaulan pembesar Aceh dengan bangsa luar dapat dibuktikan dengan penguasaan bahasa asing.
Dr. Muhajir Al Fairusy menerangkan, sultan-sultan Aceh di masa lampau fasih berbahasa Prancis. Data-data tentang itu dapat ditemukan di dalam berbagai dokumen lama, salah satunya yang dicatat oleh Muhammad Said dalam buku legendaris Aceh Sepanjang Abad.
Aceh kala itu, tambah Dr. Muhajir Al Fairusy, merupakan kawasan dan kedaulatan yang warganya open minded. Aceh ketika itu menjadi salah satu metropolitan yang berdagang dengan bangsa-banga Eropa seperti Inggris, Portugis, Amerika Serikat, dan Belanda.
Di era kejayaannya, Aceh banyak melahirkan intelektual berkaliber dunia Melayu dan Asia Tenggara. Seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf As-Singkily, dan lain-lain. Mereka merupakan cendekia dari pantai barat Aceh.
“Keduanya merupakan cendekiawan dari pantai barat Aceh tempat STAIN Meulaboh hari ini menapak perkembangannya sebagai satu satunya PTKIN di barsela,” sebut Dr. Muhajir Al Fairusy, seorang intelektual hitam manis dan menyukai kopi robusta Ule Kareng.
Dengan peradabannya yang sangat besar, Aceh kala itu merupakan negara Islam yang telah memberikan ruang emansipasi sangat besar kepada kaum hawa. Beberapa sultanah di Aceh merupakan bukti bahwa wacana tentang kepemimpinan perempuan telah tuntas dibahas.
Mengapa semua itu bisa dicapai oleh Aceh? Dr.Muhajir Al Fairusy menerangkan bahwa kala itu agama telah mencapai tahap inklusif, tidak eklusif. Agama dikaji dengan sangat mendalam, sehingga dapat melahirkan peraturan yang bermutu, pemahaman yang jitu, dan pergerakan politik yang meuceuhu.
“Dalam soal moderasi beragama, jauh sebelum Kementerian Agama mengumandangkannya, Aceh telah lebih dulu melakukannya dengan sangat baik,” kata intelektual yang gemar menulis jurnal dan buku.
Oleh karena itu, untuk mencapai kembali peradaban gemilang, kaum muda Aceh, khususnya yang telah mencapai gelar sarjana, supaya terus mengembangkan jiwa moderat dalam setiap aspek.
Membentuk kembali kaum intelektual yang memiliki semangat tinggi dalam mengaktualisasikan moderasi, merupakan ikhtiar membawa kembali nilai-nilai keacehan ke tempatnya yang semula.
“Dengan semangat dan jiwa moderat, kita akan dapat membawa pulang kembali nilai keacehan dan keislaman ke Serambi Mekkah. Kita adalah porosnya,” seru cendekiawan low profile tersebut.
Dalam yudisium tersebut Ketua STAIN Meulaboh Dr. Syamsuar menyebutkan sampai saat ini pihaknya terus berjuang peralihan dari STAIN menjadi IAIN. Selanjutkan akan dibuka kelas pascasarjana , sebagai upaya memperkuat STAIN Meulaboh sebagai poros dinamika pengetahuan dan nilai moderasi di level pendidikan tinggi Islam di Aceh.
Yusidium tersebut diikuti oleh lulusan Fakultas Syariah dan Hukum, Tarbiyah dan Keguruan, serta Dakwah dan Komunikasi.