DPRA Perkuat Perlindungan Awak Kapal Migran

DPRA Perkuat Perlindungan Awak Kapal Migran Rapat Koordinasi terkait Permasalahan Indikasi Korban Tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) di ruang rapat serbaguna DPRA, Banda Aceh, Jumat (23/8/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.
Rapat Koordinasi terkait Permasalahan Indikasi Korban Tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) di ruang rapat serbaguna DPRA, Banda Aceh, Jumat (23/8/2024). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Rapat koordinasi yang berlangsung di Ruang Rapat Serbaguna DPRA menghasilkan sejumlah langkah strategis untuk menangani tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Pertemuan yang digelar Komisi I DPRA pada Jumat (23/8/2024) turut dihadiri Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Aceh, serta lembaga-lembaga hak asasi manusia dan penegak hukum.

Sekretaris Komisi I DPRA Yahdi Hasan menuturkan fokus utama dari rapat tersebut untuk memperkuat perlindungan bagi awak kapal perikanan migran yang sering menjadi korban eksploitasi.

Hadirnya empat korban TPPO dalam rapat ini memberikan gambaran nyata mengenai kejamnya praktik perdagangan manusia di lapangan. Zulfahmi, salah satu korban, berbagi kisah tragisnya.

Zulfahmi yang awalnya dijanjikan pekerjaan dengan gaji sebesar 400 USD oleh perekrut, malah menghadapi kenyataan pahit setelah tiba di Jakarta. Tidak hanya harus menanggung biaya perjalanan sendiri, ia juga dipaksa menandatangani kontrak dengan gaji 300 USD, lebih rendah daripada yang dijanjikan.

Ketika dia dan rekan-rekannya menolak menandatangani kontrak tersebut, mereka diancam harus membayar ganti rugi sebesar 27 juta rupiah ke pihak PT terkait, memaksa mereka akhirnya menyerah dan menandatangani kontrak yang tidak adil itu.

Baca jugaDPRA Minta Jokowi Revisi Perpres Penanganan Pengungsi Luar Negeri

Namun kisah tragis Zulfahmi tidak berakhir di sana. Usai diberangkatkan ke Peru, ia dan teman-temannya harus menjalani perjalanan laut selama 44 hari menuju kapal induk.

Selama enam bulan pertama, mereka bekerja sesuai kontrak, yakni delapan jam per hari. Namun, ketidakadilan terus berlanjut saat pembayaran gaji yang dijanjikan tak pernah sampai ke tangan keluarga mereka di Aceh.

Kondisi semakin memburuk ketika mereka dipindahkan dari satu kapal ke kapal lain, di mana mereka dipaksa bekerja hingga 20 jam per hari dengan istirahat hanya empat jam.

Rapat koordinasi yang digelar Komisi I DPRA tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting untuk memperbaiki situasi ini. Langkah pertama yang disepakati adalah memperbaiki tata kelola perlindungan dan penempatan awak kapal perikanan migran, dengan fokus khusus pada proses perekrutan yang melibatkan institusi pendidikan.

Selain itu, untuk memastikan hak keluarga korban dalam proses penyelesaian perkara, akan dibangun sistem pelayanan pengaduan terpadu di tingkat provinsi, yang diharapkan dapat memberikan akses keadilan yang lebih baik bagi para korban.

Dalam rapat ini, semua pihak sepakat untuk mendukung penuh aparat penegak hukum dan pemerintah dalam memutus mata rantai perdagangan orang di Aceh. Dukungan juga akan diberikan dalam bentuk pendampingan korban untuk memastikan mereka mendapatkan hak atas pemulihan.

Rapat koordinasi Komisi I DPRA itu juga mendukung agenda ratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan, yang akan memperkuat perlindungan pekerja di sektor perikanan.

Mekanisme pengawasan terhadap penyelenggara penempatan awak kapal perikanan migran juga akan diperkuat guna mencegah pelanggaran hak-hak pekerja. Sebagai bentuk komitmen jangka panjang, forum bersama akan dibentuk untuk terus mengupayakan perbaikan perlindungan terhadap pekerja migran di Aceh.

Artikel SebelumnyaPolres Pidie Bekuk 2 Pengedar Sabu Seberat 6 Kg
Artikel SelanjutnyaAzwardi Pimpin Rehearsal Penyambutan Kontingen PON XXI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here