Bukan rakyat Aceh yang berisik, tapi Dewi Perssik. Demi cari muka kepada Presiden Prabowo, dia memilih menjual “kehormatan”.
Dia memilih menghina orang Aceh yang menuntut tanggung jawab negara atas bencana alam yang memuncak pada Rabu, 26 November 2025.
Dalam sebuah live-nya, Dewi Perssik menyebut bila orang Aceh berisik, karena memprotes cara negara menangani bencana alam di Aceh-Sumatra. Dia membandingkan bencana banjir Aceh dengan Lumajang, Jember.
Dewi Perssik menyebutkan bila Presiden Prabowo sudah tiga kali ke Aceh [selama bencana]. Berbeda jauh dengan bencana Lumajang, yang belum sekalipun dikunjungi Presiden.
Dewi Perssik meminta masyarakat tidak berkomentar buruk kepada Presiden.
Andaikan tanpa kata berisik, mungkin orang Aceh dan orang-orang yang memiliki empati, tidak akan mengecam sang penghibur yang sering salah lirik dalam menyanyi. Hanya karena berisik itulah, dia dikecam.
Sebagai orang Aceh, saya melihat Dewi Perssik lah yang berisik. Dia mengomentari sesuatu tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Riset? Ah, mana mungkin perempuan seperti dia tahu betapa pentingnya riset sebelum berbicara. Bukankah kualitas dirinya sudah sejak lama publik tahu?
Depe terlalu berisik. Mengecam orang Aceh tanpa data. Harusnya dia buka-buka data yang ditayangkan di situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Data tersebut dapat diakses secara free. Tidak harus berlangganan. Di sana tersaji angka kehancuran.
Perihal dia mengagumi Prabowo dan menyarankan menjadi Presiden seumur hidup, itu hak dia. Meski pendapatnya lagi-lagi tanpa dasar ilmu pengetahuan. Setelah reformasi, mana boleh seseorang menjadi presiden melebihi dua periode.
Meski ada yang mencobanya, dengan cara memainkan gendang politik. Tapi usaha itu gagal. Seperti bunga yang layu sebelum berkembang.
Dewi tentu saja tidak tahu, bahwa orang-orang yang selama ini berisik, merupakan manusia-manusia yang pertama terjun ke lapangan.
Mereka yang mengkritik cara pemerintah menanggulangi bencana, merupakan orang-orang yang pertama kali mengumpulkan donasi. Merekalah yang pertama kali memberitahu dunia betapa parah bencana alam banjir bandang dan tanah longsor Aceh-Sumatra.
Saya menduga, dia juga tidak tahu bahwa yang dikritik merupakan kinerja seorang presiden. Bukan personal Prabowo. Yang dikritik cara negara menanggulangi pascabencana, bukan cara personal pemilik Hambalang.
Baca: Dewi Perssik Sebut Korban Banjir Aceh Berisik
Prabowo merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Dia memiliki tanggung jawab membela seluruh rakyatnya. Dia berkewajiban melindungi secepat mungkin rakyatnya yang menderita.
Tapi yang terjadi, negara lamban. Hingga hari keempat, negara masih “malas-malasan” bergerak. Rakyat terisolasi di wilayah bencana. Listrik padam di seluruh Aceh. Jaringan internet padam di seluruh Aceh.

Mereka yang selamat dari bencana, tidak terisolasi di lokasi bencana, juga teraniaya lahir batin. Harga-harga melambung tinggi, cabai mencapai Rp300 ribu per kilogram. Gas LPG menghilang di pasaran. Listrik padam, air bersih tak mengalir, jaringan internet hilang.
Lalu di mana negara? Hanya di dalam lembar KTP? Mengapa fasilitas negara tidak digerakkan? Di mana helicopter yang biasanya bisa terbang ke sana kemari?
Saat bencana di mana helicopter yang katanya 50 unit terbang selama 24 jam di langit Aceh. Di mana alat-alat canggih milik negara? Mengapa tidak dimobilisasi untuk menolong rakyat Aceh?
Dewi Perssik Seorang Buzzer
Dewi Perssik, sama seperti buzzer lainnya, yang hanya memiliki lubang mulut, tapi tak memiliki mata dan telinga tersumbat. Mereka menolak kebenaran. Mereka menutup diri dari fakta. Mereka menolak semua informasi, kecuali yan diperintahkan.
Siapa Dewi Perssik? Mengapa dia tiba-tiba menyerang orang Aceh? Ya karena dia seorang buzzer. Dia pendengung yang dibayar untuk membangun narasi negatif untuk orang Aceh. Mungkin dia tak dibayar menggunakan uang, tapi dengan fasilitas lainnya.
Kalau tidak mendapatkan sesuatu, kalau dia bukan buzzer, mengapa dia tiba-tiba menghina orang Aceh? Mengapa dia tiba-tiba menyerang korban banjir di Aceh? Mengapa dia tiba-tiba menyerang upaya orang Aceh menuntut pemerintah bekerja serius melindungi warga negara?
Mengapa tiba-tiba dia berisik? Tanpa ada yang wawancara, dia live sendiri, dan memilih mencari gara-gara dengan korban bencana banjir di Aceh? Ini bukan sebuah kebetulan. Tapi kesengajaan.
Perempuan yang satu ini sering membuat kontroversi, dan sejauh itu orang Aceh tidak peduli. Bagaimana dia hidup, orang Aceh tak ambil pusing. Bahkan media-media di Aceh sangat jarang mewartakan dia dan kehidupannya.
Tapi mengapa dia tiba-tiba menyerang korban banjir di Aceh dan Sumatra? Ini bukan suatu kebetulan. Dia sengaja dan terencana. Dia adalah BUZZER. Dia bekerja untuk itu.
Ditulis oleh Andrian Saputra. Orang Aceh yang ada di lokasi bencana.












