Derita Janda India; Tak Pantas Hidup & Diusir dari Keluarga

Dinasti Islam Menyelamatkan Janda di India

Janda di India dilarang menikah lagi. Dikucilkan oleh keluarga, dan terpaksa melarikan diri. Pada komunitas konservatif, janda masih harus ikut mati bersama suami. Foto dikutip dari BadlegaIndia.net.
Janda di India dilarang menikah lagi. Dikucilkan oleh keluarga, dan terpaksa melarikan diri. Pada komunitas konservatif, janda masih harus ikut mati bersama suami. Foto dikutip dari BadlegaIndia.net.

Tak boleh ada janda dalam keluarga India Hindu. Bila seorang suami mati, maka istri harus mati dengan cara sati—ikut masuk ke dalam kobaran api yang membakar jasad suami. Ketika India dikuasai oleh Dinasti Mughal—kesultanan Islam—tradisi tersebut dilarang. Pun demikian, hingga sekarang tak ada ruang untuk janda di dalam keluarga Hindu di Hindustan.

Kamla Foundation mencatat saat ini terdapat 40 juta janda di India. Bila dipersentasekan, perempuan yang tidak lagi memiliki suami di Bharat mencapai 10 persen dari jumlah perempuan di negara mayoritas Hindu tersebut.

Dalam catatan yang ditulis oleh Kamla Foundation dan disitat oleh Komparatif.ID, Rabu (19/10/2022), ketika suami meninggal dunia, maka istri yang ditinggalkan akan segera mematahkan gelang-gelang pemberian suami; menghapus bedak di wajah mereka.

Bukan hanya itu, pada Sebagian negara bagian di India, janda akan mengenakan pakaian putih sejak kematian suami hingga selamanya. Sebagai bentuk berkabung tanpa jeda waktu. Mereka dilarang menikah lagi, meskipun ada yang mencintainya. Menikahi janda menurut kepercayaan Hindu di India, sama seperti memindahkan nasib buruk ke orang yang menikahi.

BBC.COM, melansir bahwa setelah kematian suaminya, seorang perempuan Hindu di India akan kehilangan segalanya. Harta tak dipunyai, diusir oleh keluarga dan anak-anak mereka. Bahkan sejatinya pada golongan konservatif, masih percaya bahwa seorang janda sejatinya tidak pantas hidup lagi. Karena gagal mempertahankan kehidupan jiwa (suami).

Janda-janda yang terbuang itu akhirnya berziarah ke Kota Vrindavan, tempat Dewa Kresna dilahirkan. Di sana mereka bersembahyang, memuja, sembari meniti hidup diasrama, menanti kematian yang telah dijanjikan Tuhan.

Baca juga: Sebelum Sarapan; Lelaki Sialan dan Cinta yang Gila

Menurut catatan Pascal Mannaerts BBC.COM, 14 September 2016, jumlah janda di Kota Vrindavan 20.000. Di sanalah mereka mencari perlindungan dari penyingkiran religi dan sosial.

Para wanita ini tidak punya pilihan selain tinggal di ashram vidhwa (asrama untuk janda) yang dikelola oleh pemerintah, perusahaan swasta dan LSM. Di asrama mereka berpakaian putih, serta tahu bahwa tidak akan pernah kembali ke rumah.

Banyak janda diusir atau melarikan diri dari mertua mereka – dengan siapa mereka biasanya tinggal – dan pergi ke kota-kota besar, di mana mereka sering menghilang. Beberapa pergi ke kota suci Hindu Varanasi, sementara yang lain pergi ke Vrindavan, di mana Dewa Krishna, dewa Hindu yang disembah oleh banyak janda, seharusnya menghabiskan masa kecilnya.

Janda Tak Pantas Hidup

Sati atau suttee, merupakan praktek dalam ajaran Hindu di India, yang menganggap seorang perempuan yang suaminya mati, maka ia harus ikut serta. Dalam The Representation of Sati: Four Eighteenth Century Etchings by Baltazard Solvyns yang ditulis Robert L. Hardgrave, Jr, perempuan yang suaminya mati, harus duduk di atas tumpukan kayu pemakanan sang suami.

Demikian juga yang ditulis oleh Weinberger-Thomas, Catherine dalam buku Ashes of immortality: widow-burning in India.

Seorang janda tua sedang duduk di bawah sebatang pohon kayu di Kota Vrindavan. Meski masih ditolah oleh komunitas sosial, tapi di Vrindavan ada yang menampung mereka. Foto dikutip dari situs BadlegaIndia.net.
Seorang janda tua sedang duduk di bawah sebatang pohon kayu di Kota Vrindavan. Meski masih ditolah oleh komunitas sosial, tapi di Vrindavan ada yang menampung mereka. Foto dikutip dari situs BadlegaIndia.net.

Dalam catatan sumber-sumber Yunani dari sekitar 300 SM, pengusiran terhadap janda sudah dilakukan dalam tradisi Hindu kuno. Namun pada pada abad pertengahan, pengusiran terhadap janda berubah menjadi ikut mati bersama suami (sati). Praktek ini dimulai ketika klan Rajput berkuasa.

Dilansir britannica.com/topic/suttee, ketika Dinasti Mughal berkuasa, praktek sati dilarang. Awalnya tidak dilarang 100 persen. Kebijakan tersebut ditempuh untuk menghormati bangsawan Hindu yang masih sangat ingin melaksanakan ritual tersebut. Tapi Kaisar Mughal Akbar memberikan syarat, sati hanya boleh dilakukan terhadap perempuan yang bersedia.

Dalam prakteknya kerelaan itu tidak pernah lahir. Para perempuan dipaksa untuk melakukan sati. Bahkan ada yang didorong paksa ke dalam kobaran api ketika sedang menatap tumpukan kayu berapi yang sedang membakar jasad suaminya. Siapa yang memaksa sati? Keluarga si wanita atau keluarga suaminya, bahkan anak-anak mereka sendiri.

Tapi sebuah peristiwa memaksa Sultan Akbar bertindak lebih tegas. Perubahan sikapnya bermula dari kejadian dengan sepupu istrinya Rani Damayenti. Dia dipaksa untuk melakukan sati oleh putra-putranya atas kematian suaminya.

Akbar mendapat berita ini dari haremnya dan pergi jauh-jauh dari Agra ke Ranathambore untuk menyelamatkan Rani Damayenti. Rani Damayenti sudah dibius dan diseret ke tempat pemakaman oleh kerabatnya ketika Akbar tiba tepat pada waktunya untuk menghentikan sati dan menyelamatkan hidupnya.

Akbar ingin mengeksekusi orang-orang yang memaksa wanita itu ke tumpukan kayu pemakaman, tetapi kemudian memberi mereka penangguhan hukuman dan hanya memenjarakan mereka untuk sementara waktu.

Lebih lanjut peraturan semakin ditegakkan, siapapun yang berani –termasuk memaksa–melakukan sati, akan mendapatkan hukuman mati.

Pada awal abad ke-19, British East India Company, dalam proses memperluas kekuasaannya ke sebagian besar India, pada awalnya menoleransi praktik tersebut; William Carey, seorang penginjil Kristen Inggris, mencatat 438 insiden dalam radius 30 mil (48-km) dari ibukota, Calcutta, pada tahun 1803, meskipun dilarang di Calcutta.

Antara tahun 1815 dan 1818 jumlah insiden sati di Bengal berlipat ganda dari 378 menjadi 839. Penentangan terhadap praktek sati oleh penginjil seperti Carey, dan oleh reformis Hindu seperti Ram Mohan Roy, akhirnya membuat Gubernur Jenderal Inggris di India Lord William Bentinck untuk memberlakukan Peraturan Bengal Sati, 1829, yang menyatakan praktik membakar atau mengubur hidup-hidup janda-janda Hindu dapat dihukum oleh pengadilan pidana.

Tapi praktek sati tidak benar-benar punah di India. Seorang janda pada tahun 2020 terpaksa meloncat ke dalam kobaran api, setelah mendengar hinaan dari ayahnya sendiri. Penistaan terhadap harga dirinya membuat sang wanita nekat terjun ke dalam api yang menggelora.

Ketika sang perempuan menempuh sati, maka bergembiralah para pelayat yang menganggap sang istri taat kepada perintah agama.

Artikel SebelumnyaBali Digerus Banjir Bandang
Artikel SelanjutnyaGunakan Orang Lokal, Israel Culik Warga Palestina di Malaysia
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here