Kasus DBD—Demam Berdarah Dengue—meningkat setiap tahun di Banda Aceh, terutama ketika musim hujan tiba. Ratusan orang terjangkit DBD.
Banda Aceh dikenal sebagai kota religius. Suasana kotanya aman, nyaman, dan tertib. Kota ini merupakan wajah pertama Aceh ketika dilihat oleh orang luar. Segenap atraksi budaya tersaji melalui event kebudayaan, maupun melalui perilaku sehari-hari warga.
Tapi ternyata, di balik semua itu, nyamuk aedes aegypti juga ikut membersamai Banda Aceh yang terus bergerak maju. Nyamuk-nyamuk tersebut “membangun peradaban “ pada genangan air bersih. Mereka terus berkembang biak dan menyebarkan virus dengue.
Mengapa kita semua harus memberikan perhatian dan kepedulian terhadap isu nyamuk penyebar virus dengue tersebut? DBD bukan demam biasa.DBD menyebabkan pendarahan dalam, merusak organ, dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Hal yang lebih mengerikan, seseorang akan sangat lambat mengetahui dirinya terjangkit dengue. Karena gejalanya sangat “menipu perhatian”
Biasanya demam tinggi, yang sering dikira masuk angin. Padahal trombosit drop drastis. Banyak yang baru tahu telah terjangkit DBD, justru sudah sangat terlambat.
Baca: 7 Penyebab Lonjakan HIV di Banda Aceh yang Jarang Diketahui
Sebagai sebuah virus yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti, ia sangat kejam. Bukan hanya keluarga yang terjangkit yang kalang kabut. Tapi juga pekerja di fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. bila musim hujan tiba, seringkali daya tampung rumah sakit tidak mampu melayani pasien DBD.
Bayangkan bila yang terjena DBD merupakan tulang punggung keluarga. Bebannya menjadi dua kali lebih berat. Mulai dari beban kesehatan, finansial, dan sosial. Sebagai warga Kota Banda Aceh, kita semua harus ikut peduli terhadap isu ini.
Demam Berdarah Bukan Sekadar Demam Biasa
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Tidak seperti nyamuk biasa yang aktif malam hari, nyamuk ini malah beraksi pas pagi dan sore hari — waktu kita lagi sibuk-sibuknya. Virus dengue ini berbahaya karena bisa membuat kekacauan dalam tubuh. Trombosit turun, pembuluh darah bocor, dan kalau tidak ditangani, bisa berujung pada kematian.
Dalam modus operandinya, nyamuk tersebut menggigit orang yang telah sakit. virus tersebut berkembang biak di dalam tubuh nyamuk. Setiap kali nyamuk tersebut menggigit orang lain, virus dengue ikut masuk.
Semakin banyak genangan air bersih, semakin besar populasi nyamuk tersebut tumbuh. Dengan demikian semakin banyak pula korban yang akan berjatuhan. Semakin besar populasi, semakin luas sebaran virus, dan semakin sulit dihadapi.
Sebagai penyebar virus, nyamuk tersebut tidak peduli siapa korbannya. Ia akan menggigit anak-anak, orang tua, guru, dosen, tentara, polisi, gubernur, bupati, kepada dinas, dan siapa saja.
Cara Perkembangbiakan
Berikut masa perkembangbiakan virus tersebut:
- Fase demam (Febrile Phase): Demam tinggi (39–41°C), pegal, nyeri sendi, sakit kepala parah, dan ruam merah kecil. Banyak yang ngira ini cuma masuk angin.
- Fase kritis (Critical Phase): Justru saat demam turun, fase ini paling bahaya. Trombosit drop drastis, muncul pendarahan kecil kayak mimisan dan gusi berdarah. Kalau parah, bisa bikin organ kekurangan cairan dan berujung syok.
- Fase pemulihan (Recovery Phase): Kalau berhasil lewat fase kritis, trombosit naik lagi. Badan mulai pulih, tapi tetap butuh waktu buat benar-benar sembuh total.
Statistik DBD di Banda Aceh
Kalau Anda pikir DBD cuma penyakit musiman yang tidak terlalu bahaya, coba lihat data dari Banda Aceh. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus DBD di sini tidak main-main jumlahnya. Tiap kali musim hujan datang, rumah sakit penuh, dan berita soal kematian akibat DBD makin sering kita dengar.
Menurut Dinas Kesehatan Banda Aceh, jumlah kasus DBD dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Pada 2019, tercatat 250 kasus dengan 5 kematian. Angka ini terus naik pada 2020 dengan 330 kasus dan 8 kematian.
Kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada 2021 dengan 420 kasus dan 12 kematian, lalu melonjak lagi pada 2022 menjadi 537 kasus dengan 15 kematian. Puncaknya, pada 2023 jumlah kasus mencapai lebih dari 600 dengan 18 kematian. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; di balik setiap angka ada nyawa yang dipertaruhkan. Kenaikan kasus yang terus berulang setiap tahunnya menunjukkan bahwa masalah ini belum benar-benar bisa dikendalikan dengan baik.
Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, kasus DBD di Banda Aceh relatif tinggi. Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Indonesia (2023), Banda Aceh mencatat lebih dari 600 kasus pada 2023, lebih tinggi daripada Medan yang melaporkan 480 kasus, Yogyakarta dengan 350 kasus, dan Padang dengan 410 kasus.
Melihat populasi Banda Aceh jauh lebih kecil dibandingkan kota-kota tersebut, menunjukkan bahwa ada faktor lokal yang membuat virus dengue lebih mudah menyebar di Banda Aceh. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh, salah satu faktornya adalah curah hujan yang tinggi dan pola hidup masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung pencegahan penyakit ini.
Lonjakan kasus DBD di Banda Aceh paling sering terjadi pada musim hujan, biasanya antara Oktober hingga Februari. Periode ini dikenal sebagai waktu paling rawan karena banyaknya genangan air yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk aedes aegypti.
Dampak lonjakan kasus DBD di Banda Aceh tidak hanya dirasakan oleh para pasien dan keluarganya, tetapi juga membebani fasilitas kesehatan dan ekonomi daerah. Rumah sakit besar seperti RSUD Zainoel Abidin sering penuh sesak saat musim hujan. Menurut laporan dari RSUD Zainoel Abidin (2023), tingkat hunian ruang rawat inap mencapai 90% selama puncak musim DBD. Banyak pasien yang harus menunggu di ruang gawat darurat karena kekurangan tempat tidur.
Tenaga medis juga kewalahan karena pasien DBD membutuhkan pemantauan ketat selama 24 jam, terutama saat trombosit mulai menurun dan risiko syok meningkat. Kelelahan tenaga medis menjadi salah satu tantangan utama dalam menangani lonjakan kasus ini.
Dari segi ekonomi, DBD menjadi beban yang berat bagi banyak keluarga di Banda Aceh. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Banda Aceh, biaya perawatan untuk pasien DBD bisa mencapai Rp5–10 juta, tergantung pada tingkat keparahan dan lamanya perawatan.
Bagi keluarga dengan penghasilan rendah, angka ini sangat membebani. Selain itu, produktivitas kerja menurun karena banyak anggota keluarga yang harus bolos kerja untuk menjaga pasien di rumah sakit.
Dinas Ketenagakerjaan Aceh melaporkan bahwa banyak pekerja yang mengambil cuti darurat saat anggota keluarganya dirawat karena DBD, yang pada akhirnya berdampak pada pendapatan harian mereka.
Tak hanya itu, lonjakan kasus ini juga membebani anggaran daerah. Menurut Badan Keuangan Daerah (BKD) Banda Aceh, pada 2023 pemerintah mengalokasikan dana tambahan sebesar Rp1,2 miliar untuk fogging, kampanye kesehatan, dan penanganan darurat. Ini adalah pengeluaran yang signifikan yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain jika kasus DBD bisa dikendalikan lebih baik.
Gerakan Pencegahan
- Menguras dan Menutup Tempat Penampungan Air
Nyamuk aedes aegypti berkembang biak di tempat-tempat yang memiliki air bersih yang menggenang. Oleh karena itu, langkah utama dalam pencegahan DBD adalah dengan melakukan 3 M, yaitu:
- Menguras bak mandi, drum, atau tempat penyimpanan air lainnya minimal seminggu sekali untuk mencegah jentik nyamuk berkembang.
- Menutup rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapat bertelur di dalamnya.
- Mendaur ulang barang-barang bekas seperti kaleng, botol, dan ban bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air hujan.
- Menanam Tanaman Pengusir Nyamuk
Beberapa tanaman memiliki sifat alami sebagai pengusir nyamuk. Menanam tanaman ini di sekitar rumah dapat membantu mengurangi populasi nyamuk. Beberapa tanaman yang efektif yaitu lavender, serai wangi, rosemary, dan zodia.
- Menggunakan Kelambu dan Lotion Anti Nyamuk
Untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk, terutama saat tidur, masyarakat dapat menggunakan kelambu di tempat tidur, terutama bagi bayi dan anak-anak yang lebih rentan terhadap gigitan nyamuk, serta mengoleskan lotion anti nyamuk yang mengandung DEET, picaridin, atau minyak lemon eucalyptus sebagai perlindungan tambahan.
- Melakukan Fogging Secara Berkala
Fogging atau pengasapan merupakan metode yang dilakukan untuk membunuh nyamuk dewasa. Meskipun bukan solusi jangka panjang, fogging dapat membantu mengendalikan lonjakan populasi nyamuk saat terjadi peningkatan kasus DBD. Pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama dalam melakukan fogging di daerah yang terdapat kasus DBD, menggunakan insektisida yang aman dan efektif, serta mengedukasi masyarakat bahwa fogging harus diimbangi dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) agar tidak hanya membunuh nyamuk dewasa, tetapi juga mencegah perkembangbiakan jentik nyamuk.
- Meningkatkan Edukasi dan Kesadaran Masyarakat
Masyarakat perlu lebih sadar akan bahaya DBD dan cara pencegahannya. Edukasi bisa dilakukan lewat sosialisasi di sekolah, tempat ibadah, maupun media sosial agar informasi lebih mudah diterima. Selain itu, keterlibatan tokoh masyarakat dan kader kesehatan sangat penting dalam memberikan penyuluhan langsung kepada warga
- Mendukung Program Vaksinasi DBD
Vaksin DBD sudah tersedia dan bisa menjad solusi jangka panjang. Pemerintah perlu memastikan akses vaksin yang mudah dan terjangkau bagi masyarakat, terutama di daerah rawan. Selain itu, edukasi mengenai efektivitas dan keamanan vaksin perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak ragu untuk menggunakannya.
Tantangan dalam Penanganan Kasus DBD di Banda Aceh
Salah satu masalah terbesar adalah kurangnya tenaga medis dan fasilitas kesehatan. Tiap kali kasus DBD melonjak, rumah sakit dan puskesmas langsung kewalahan. Tempat tidur penuh, tenaga medis kekurangan orang, dan stok obat sering kali tidak cukup. Akibatnya, pasien nggak bisa ditangani secepat yang seharusnya.
Kesadaran masyarakat juga masih kurang. Banyak orang belum paham kalau lingkungan yang kotor bisa jadi tempat berkembang biaknya nyamuk. Belum lagi, banyak yang tidak tahu gejala awal DBD dan baru ke dokter setelah kondisinya parah. Ini yang bikin angka kasus terus naik setiap tahunnya.
Perubahan iklim juga bikin masalah ini makin rumit. Musim hujan panjang dan suhu yang makin panas bikin nyamuk berkembang lebih cepat. Genangan air makin banyak, dan penyebaran DBD jadi makin sulit dikendalikan.
Selain itu, anggaran buat pencegahan DBD masih kurang. Program seperti fogging dan penyuluhan masyarakat butuh biaya besar, tapi kalau dananya nggak cukup, program ini jadi tidak bisa jalan maksimal. Akibatnya, nyamuk tetap berkembang biak, dan kasus DBD tak kunjung turun.
Masalah lainnya ada di distribusi vaksin dan obat. Stok vaksin yang terbatas plus edukasi yang masih minim bikin masyarakat ragu buat divaksin. Ditambah lagi, harganya yang cukup mahal membuat tidak semua orang bisa menjangkaunya.
Koordinasi antara pemerintah dan masyarakat juga belum maksimal. Kadang, laporan kasus DBD lambat ditindaklanjuti, dan keterlibatan komunitas dalam pencegahan masih kurang. Padahal, kalau semua pihak ikut bergerak, risiko DBD bisa ditekan lebih jauh.
Penulis dr. RM. Agung Pranata, M.Biomed, dosen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.