Dari Desa, Oleh Elit, untuk Statistik?

Dari Desa, Oleh Elit, untuk Statistik?
Weni Fadila. Foto: Dok. Penulis.

Pembangunan desa sering digambarkan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari berbagai aspek ekonomi, sosial, budaya, hingga lingkungan. Namun, di balik jargon “partisipatif” dan “berbasis masyarakat,” kita perlu bertanya dengan jujur: benarkah pembangunan selama ini sudah berjalan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?

Fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Jalan dibangun, tetapi air bersih tetap langka. Gedung pertemuan berdiri megah, tapi sepi karena tak sesuai kebutuhan warga. Dalam banyak kasus, pembangunan terasa seperti proyek elit datang dari atas, diputuskan dari luar, dan dijalankan tanpa suara masyarakat.

Sebagai mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam yang terjun langsung dalam pendampingan, saya menyaksikan sendiri bagaimana warga kerap hanya menjadi objek, bukan subjek pembangunan. 

Padahal, mereka yang paling tahu apa yang dibutuhkan desanya. Musyawarah desa pun sering hanya sebatas formalitas untuk memenuhi prosedur, bukan ruang dialog sejati.

Pembangunan sejati tak bisa dipaksakan secara top-down. Ia harus lahir dari partisipasi aktif warga dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Di sinilah peran pendamping desa menjadi sangat penting, bukan sekadar menjalankan program, tapi menjadi jembatan antara kebijakan dan realitas lapangan.

Baca juga: Menjaga Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan Bumi

Pendamping yang baik harus bersikap dialogis dan kontekstual. Ia peka terhadap dinamika sosial dan menghormati kearifan lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan nilai-nilai komunitas. 

Islam sendiri mendorong prinsip keadilan sosial, persaudaraan, dan tolong-menolong dalam pembangunan. Konsep maslahah (kemanfaatan umum) menjadi relevan sebagai landasan membangun masyarakat yang mandiri dan berdaya.

Hari ini, pembangunan terlalu sering diukur dari fisik, berapa jalan dibangun, berapa bangunan berdiri. Tapi bagaimana dengan kualitas hidup? Apakah pembangunan menghadirkan harapan? Apakah ia menyentuh persoalan nyata seperti pengangguran, keterbatasan akses pendidikan, atau ketimpangan sosial?

Kita butuh perubahan paradigma. Pembangunan harus melihat manusia sebagai inti, bukan sekadar target proyek. Harus ada ruang bagi suara warga untuk menentukan nasib sendiri. Jangan sampai masyarakat hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri.

Untuk itu, para pemangku kebijakan, pendamping, dan masyarakat bisa bersama sama menghidupkan semangat pembangunan yang sejati. Semangat yang meletakan rakyat sebagai subjek utama, bukan objek belaka. 

Pembangunan yang tidak hanya megah di permukaan, tetapi juga memberi manfaat nyata, membangun harapan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan.

Dengan demikian pendampingan yang benar dan keterlibatan masyarakat yang sungguh sungguh, pembangunan gampong dapat menjadi motor penggerak perubahan sosial yang positif. Masyarakat bukan hanya penerima bantuan, tetapi aktor utama yang mampu menginisiasi dan mengelola perubahan demi kesejahteraan bersama.

Kini saatnya kita kembali ke semangat awal, pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, dan benar-benar untuk rakyat. Dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh, serta pendampingan yang jujur dan berpihak pada rakyat, pembangunan desa bisa menjadi jalan menuju perubahan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

 

Penulis: Weni Fadila, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Artikel SebelumnyaKetua PPP Aceh Desak Polisi Ungkap Kematian Hasyimi di Peusangan Selatan
Artikel SelanjutnyaPakar Sejarah Asia Tenggara Anthony Reid Tutup Usia
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here