Siapa sangka Cut Nyak Dien ternyata berdarah Minangkabau. Ya, istri Teuku Umar Djohan Pahlawan tersebut, memiliki darah Minangkabau dari garis ayahnya.
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Aceh Rayek pada 12 Mei 1848. Ia merupakan putri dari Teuku Nanta Setia, Panglima Perang Aceh yang juga Ulee Balang VI Mukim Kesultanan Aceh.
Teuku Nanta Setia merupakan putra dari Datuk Makhudum Sati, seorang perantau Minangkabau yang berlabuh di pantai barat Aceh pada abad 18. Ia pertama kali mendapatkan jabatan di Kesultanan Aceh sebagai penjaga keamanan Istana Daruddunya. Kemudian diberikan kepercayaan sebagai Uleebalang VI Mukim.
Asal usul Datuk Makhudum Sati disebut-sebut berasal dari Luhak Limopuluah. Tetapi ada juga yang mengatakan sang Datuk berasal dari Rawa Pasaman.
Baca: Arti Istilah Aceh Pungo
Datuk Makhudum Sati merantau ke pesisir barat Aceh pada abad ke-18 bersama pengikutnya. Mereka berlabuh di Meulaboh. Saat itu Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Jamalul Badrul Munir (1711-1733).
Terdapat dua pendapat mengapa Datuk Makhudum Sati merantau ke Aceh. Ada yang mengatakan ia meninggalkan Minangkabau karena sudah menjadi kebiasaan seperti orang Minang lainnya. Ada pula yang mengatakan ia eksodus karena menghindari perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri.
Tiba di pantai barat Aceh, dia dan pengikutnya membuka perkebunan lada, yang di kemudian hari menjadikan kawasan tersebut maju. Kabar kemajuan ekonomi di pantai barat, sampai ke telinga Sultan Aceh.
Karena menjadi wilayahnya, Sultan Aceh memerintahkan supaya Datuk Makhudum Sati membayar upeti. Di awal-awal Datuk membayarnya secara lancar. Tapi kemudian dia membangkang. Dia tidak senang dengan perilaku pihak kerajaan.
Karena membangkang, dia ditangkap dan dibawa ke Bandar Aceh Darussalam. Di sana Makhudum Sati dihukum berat. Akan tetapi Datuk tidak mati. Ia mampu bertahan. Berkat daya tahannya, serta hukuman yang bertimpa-tiba, akhirnya Sultan iba dan kemudian mengampuninya.
Datuk diangkat sebagai penjaga istana di lingkungan Daruddunya. Selama menjadi penjaga istana, Datuk Makhudum Sati menunjukkan kesetiaan, Datuk berjuang habis-habisan saat seorang panglima sagoe hendak melakukan kudeta. Sultan mengagumi kesetiaan Datuk.
Selanjutnya Sultan memberikannya gelar Nanta Setia Raja, dan diberi kekuasaan di VI Mukim untuk turun-temurun. Setelah ia mangkat, jabatan tersebut diserahkan kepada putranya yang diberi nama Teuku Nanta Setia. Satu lagi putranya diberi nama Teuku Cut Mahmud.