Curhatan Bacaleg

Ada, Don Zakiyamani menyoal polemik Dirut Bank Aceh Syariah. Bacaleg
Don Zakiyamani

Seorang bacaleg curhat tentang kondisi batinnya tentang dinamika politik. Ia menyampaikan pandangan orang terhadap lembaga DPR. Ia trenyuh namun lembaga wakil rakyat harus tetap ada. Saya sepakat.

Ada ungkapan lama yang masih relevan hingga kini. “Segemuk-gemuknya ikan pasti ada tulangnya, dan sekurus-kurusnya ikan pasti ada dagingnya.”

Sebaik-baiknya manusia pasti pernah berbuat dosa dan sejahat-jahat manusia pasti ada sisi baiknya. Ungkapan itu boleh kita berikan untuk kita semua, tidak terkecuali pada calon wakil rakyat yang sudah mendaftar.

Stigma negatif sudah tertanam sejak manusia Indonesia mengenal lembaga itu. Korupsi disertai perilaku negatif lainnya seolah lazim dilakukan wakil rakyat. Hingga kita semua nyaris putus asa. Kita sempat berpikir bubarkan saja lembaga itu (DPR). Padahal pembubaran lembaga itu melahirkan pemerintahan tiran. Pemerintahan tanpa pengawas dan akan berbuat sesuka hatinya. Lalu, mampukah lembaga wakil rakyat itu kembali ke tupoksinya?

Pemilu demi pemilu kita jalani. Regulasi terus bertambah namun korupsi terus terjadi. Semakin bertambah pula pola korupsi yang dilakukan. Dan bertambah pula lembaga yang berkolaborasi mencuri uang rakyat. Bukan hanya lembaga wakil rakyat, lembaga yang seharusnya memberi teladan penegakkan hukum malah ikut bermain kotor. Siapa yang percaya pada integritas kepolisian dan kejaksaan saat ini? Tidak ada.

Realitas itu memberi satu kalimat kesepakatan, “politik itu kotor”. Dan dampak perilaku mereka menimbulkan curhatan teman saya. Ia seorang bacaleg.

“Masa lalu dan kini telah mengancam kami yang akan berjuang di situ”, ucap seorang. Bukan hanya itu tambahnya, “kami tak punya ongkos politik semewah mereka, apalagi untuk suap,” demikian kata bacaleg itu.

Ongkos politik memang semakin mahal. Rakyat yang sudah terlanjur kecewa seolah menjadikan ajang pileg sebagai balas dendam. “Kalau bukan sekarang saat yang tepat, kapan lagi.”

Pernyataan ini tidak asing di telinga kita. Ada juga yang memilih tidak ke TPS. Reaksi negatif yang berasal dari aksi negatif memang hal wajar. Namun menjadi luar wajar ketika kita mampu bereaksi positif. Tentu bukan hal mudah.

Bacaleg yang curhat adalah korban dari wakil rakyat sebelumnya. Bukan korban langsung namun korban dari ketidakbenaran wakil rakyat menjalankan amanah. Tekadnya menjadi wakil rakyat dilandasi iman dan ilmu, namun ia berhadapan dengan realitas politik.

Realitas yang lebih memilih uang sebagai alat utama. Bukan iman apalagi ilmu, sehingga tidak penting Bacaleg beriman dan berilmu namun tanpa uang.

Wajahnya tampak pesimis, meski ia percaya pada kekuasaan Ilahi. Ia harus berhadapan dengan reputasi buruk wakil rakyat, dan ketiadaan uang sebagai alat beli suara. Peluangnya sangat tipis bahkan dapat dikatakan misinya mustahil. Hanya saja, iman dan ilmunya mengatakan “kemustahilan hanya milik Allah semata.” Ia akan terus berjuang dan hasilnya akan diserahkan pada Yang Maha Kuasa.

Baca juga: Wow, Partai Aceh Daftarkan 4 Doktor untuk Bacaleg Pemilu 2024

Niatnya berjuang menggunakan iman dan ilmu tidak akan berakhir kecewa apalagi putus asa. Katanya, ikhlas tidak melahirkan kecewa apalagi putus asa. Ia akan memulai satu titik dan selanjutnya titik-titik lain akan dibuat orang lain. Hingga mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah akan terwujud. Tak tahu kapan namun semua harus dimulai sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rad ayat 11.

Bacaleg itu percaya, masih bertahannya negeri ini karena masih banyak orang-orang baik. Masih banyak orang-orang yang berpegang pada nilai-nilai kebenaran. Hanya saja tidak semua orang baik dan benar berani mengambil risiko. Sikap itu tidak ia salahkan karena situasi dan kondisi setiap orang berbeda, pandangan dan reaksi terhadap aksi setiap orang juga berbeda.

“Setiap orang baik di negeri ini punya caranya sendiri untuk berjuang, kita harus apresiasi dan hormati itu,” katanya saat menenggak kopinya yang hampir dingin.

Ia pun bercerita bagaimana Al-Ghazali memilih jalan sunyi. Mengasingkan diri dari keramaian, meninggalkan jabatan dan segala penghormatan. Kondisi politik saat itu memang sedang kacau. Namun pada saat itu masih ada orang-orang yang tetap berusaha menjernihkan kotornya politik. “Silahkan pilih jalur masing-masing asalkan dilandaskan pada iman dan ilmu,” kata bacaleg itu.

Kemana pun kita pergi godaan akan selalu ada. Seperti halnya Adam yang digoda, lebih tepatnya diprovokasi. Begitu pula profesi yang digeluti, akan selalu diuji oleh beragam ujian. Seorang pedagang diuji oleh takaran, atau kualitas barang yang dijual. Pengusaha akan diuji kejujurannya, bahkan seorang guru sekalipun akan diuji, entah itu soal ikhlasnya maupun korupsi waktu.

Kita sejatinya kerap melakukan korupsi waktu. Misalnya waktu salat datang, tanpa uzur kita telat ke masjid bahkan tidak datang. Argumen kita membantah, itukan urusan personal. Beda dengan perilaku wakil rakyat yang mengambil hak orang banyak.

Padahal disadari atau tidak, ketika panggilan Ilahi saja kita abaikan konon lagi panggilan manusia. Itu akan menjadi karakter kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena ibadah yang diperintahkan Ilahi fungsinya agar kita menjadi baik terhadap sesama maupun makhluk hidup lainnya.

Allah sudah mengingatkan bahwa atas nama waktu kita bakal merugi. Kecuali, kita beriman, berbuat dan menganjurkan kebaikan, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al Ashr). Lalu bagaimana kita mengklaim beriman sementara panggilan salat masih kita anggap ritual belaka. Masih kita anggap sepele. Padahal itu panggilan kemenangan bersama, panggilan kebaikan bersama. Lalu kita berharap negeri lebih baik, penuh berkah. Sementara jalan menuju negeri berkah kita abaikan.

Bila demikian, mengapa negeri-negeri Barat tanpa salat, tapi negerinya maju? Sebabnya sederhana, mereka tidak munafik. Ketika tidak mengakui keberadaan Tuhan, mereka tidak bertuhan pada benda atau jabatan. Ketika mengakui Tuhan A mereka tidak bertuhan pada selain A. Beda dengan kita yang bertuhan Allah namun di saat yang sama menghamba pada uang, jabatan dan kekuasaan.

Selain itu, mereka menggunakan ilmu. Mereka menghargai ilmu sebagai solusi persoalan kehidupan. Mereka menghargai dan menghormati orang berilmu.

Dalam Pileg misalnya, apakah kita mau memilih orang berilmu sebagai wakil kita? Tentunya menggunakan ilmu yang kita miliki maupun menggali informasi dari orang-orang berilmu. Ribet atau melelahkan pasti. Namun setidaknya dapat dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.

Jika tidak demikian, biasanya kita akan menyesal di kemudian hari. Setidaknya setiap hari menggerutu karena wakil rakyat melakukan tindakan amoral maupun kriminal.

Di akhir curhatannya, bacaleg mohon doa. Dia juga berharap agar tak sungkan menegur apabila dalam proses nantinya melakukan tindakan amoral. Perbuatan melanggar hukum Ilahi maupun hukum negara.

Bacaleg perempuan yang belum menikah itu memberi senyum; tulus bercampur cemas. Ia cemas jika hari itu hari terakhir idealismenya, pertemuan selanjutnya bisa jadi ia telah menjadi Iblis betina.

Ia memberi sepucuk surat dan hanya boleh dibuka ketika Pileg selesai. Surat itu katanya suara hati tanpa intervensi dari buku maupun artikel di media. Hasil renungan setelah sekian tahun kami saling kenal tanpa komunikasi kecuali ingin bertemu mendiskusikan negeri.

Selamat berjuang, Cantik, bayangkan saja kukunjungi dirimu di gedung itu bersama rakyat yang engkau wakili.

Artikel SebelumnyaAkhirnya, Emas!
Artikel SelanjutnyaH. Mukhlis Serahkan Bantuan Untuk Korban Kebakaran di Samalanga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here