Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis untuk mengendalikan konsumsi rokok elektrik dengan menerapkan tarif cukai sejak 2018.
Kenaikan tarif ini diharapkan dapat mengurangi prevalensi penggunaan, khususnya di kalangan remaja yang semakin terpapar oleh produk ini. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kebijakan ini benar-benar efektif? Berdasarkan data yang ada, jawabannya tidak sesederhana itu.
Rokok elektrik telah menjadi fenomena baru dalam beberapa tahun terakhir, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara. Dengan klaim sebagai alternatif lebih aman dibandingkan rokok konvensional, produk ini meraup popularitas luar biasa, terutama di kalangan anak muda.
Sayangnya, mitos tentang keamanan tersebut terbukti menyesatkan. Kandungan nikotin yang tinggi dan zat kimia berbahaya seperti diacetyl dan cinnamaldehyde tetap menjadi ancaman serius bagi kesehatan.
Meskipun demikian, banyak pengguna merasa bahwa risiko kesehatan ini sepadan dengan manfaatnya, terutama ketika rokok elektrik dianggap sebagai gaya hidup atau simbol status.
Pemerintah mencoba membendung arus ini dengan mengadopsi kebijakan fiskal yang progresif. Kenaikan tarif cukai yang bertahap, dari sistem ad valorem hingga tarif spesifik, diharapkan menjadi penghalang bagi konsumen untuk terus membeli produk ini. Namun, data survei menunjukkan bahwa kebijakan ini belum cukup kuat.
Baca juga: Dampak Kesehatan Akibat Rokok 7,5 Kali Lebih Besar dari Pajak yang Diterima
Mayoritas pengguna tetap melanjutkan konsumsi meskipun harga naik, dengan hanya 25,3% yang mempertimbangkan untuk mengurangi penggunaan. Ketergantungan psikologis dan fisik menjadi alasan utama mengapa konsumen terus membeli, meskipun dampaknya pada anggaran mereka semakin besar.
Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep utilitas marginal dalam ilmu ekonomi. Rokok elektrik, seperti produk adiktif lainnya, memiliki permintaan yang inelastis.
Artinya, konsumen akan terus membeli produk tersebut meskipun harganya meningkat, karena manfaat subjektif yang dirasakan melebihi biaya yang dikeluarkan. Dalam konteks ini, kenaikan tarif cukai saja tidak cukup untuk mengubah pola konsumsi secara signifikan.
Di sisi lain, kebijakan fiskal semacam ini juga menghadapi tantangan besar dalam implementasinya. Persepsi keliru bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok konvensional telah menghambat efektivitas kebijakan.
Banyak remaja yang menganggap produk ini sebagai tren gaya hidup tanpa memahami risiko kesehatan yang melekat. Lebih parah lagi, pengawasan terhadap produk ilegal masih sangat lemah.
Peredaran cartridge ilegal terus meningkat, dengan jumlah penyitaan yang melonjak setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, kebijakan fiskal akan sulit mencapai tujuannya.
Pengalaman negara lain dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Thailand dan Filipina, misalnya, berhasil menurunkan prevalensi merokok dengan menerapkan tarif cukai yang jauh lebih tinggi hingga 70%.
Namun, keberhasilan mereka tidak hanya bertumpu pada kenaikan tarif, tetapi juga pada pendekatan komprehensif yang mencakup edukasi publik, pengawasan ketat, dan alokasi dana cukai untuk program kesehatan. Indonesia dapat mengambil langkah serupa dengan mengadopsi strategi yang lebih progresif.
Edukasi publik adalah kunci untuk mengubah persepsi masyarakat tentang rokok elektrik. Kampanye masif yang menjelaskan risiko kesehatan produk ini dapat membantu mengurangi daya tariknya, terutama di kalangan remaja.
Reformasi struktur tarif juga diperlukan untuk memberikan tekanan harga yang lebih besar pada produk yang mudah diakses. Selain itu, pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap produk ilegal melalui kerja sama lintas lembaga, termasuk Bea Cukai dan aparat penegak hukum.
Diversifikasi pendapatan negara dari cukai juga menjadi langkah yang penting. Dana yang dihasilkan dapat dialokasikan untuk program kesehatan atau subsidi bagi petani tembakau yang terkena dampak kebijakan ini. Dengan cara ini, kebijakan fiskal tidak hanya mengendalikan konsumsi tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil jika tidak ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menghadapi tantangan ini.
Kebijakan fiskal hanyalah salah satu dari banyak alat yang tersedia untuk mengendalikan konsumsi rokok elektrik. Tanpa pendekatan yang holistik, kenaikan tarif cukai hanya akan menjadi kebijakan parsial yang tidak memberikan dampak signifikan.
Dengan populasi pengguna rokok elektrik yang terus bertambah dan tantangan yang semakin kompleks, Indonesia perlu segera mengubah pendekatannya. Kenaikan tarif cukai adalah langkah awal yang baik, tetapi bukan satu-satunya solusi.
Dibutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk mengurangi prevalensi penggunaan, melindungi generasi muda, dan meningkatkan kesehatanmasyarakat secara keseluruhan