
Komparatif.ID, Jakarta— Peneliti dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan pemerintah harus mengubah cara pandang terhadap cukai rokok. Cukai seharusnya tidak dilihat sebagai mesin pencetak uang dengan cara meningkatkan volume penjualan, melainkan sebagai instrumen fiskal untuk menekan konsumsi.
Hal itu disampaikan Abdillah Ahsan pada konferensi pers membaca RAPN 2026 yang digelar Center of Human and Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan pada Jumat (22/8/2025).
“Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai adalah intervensi ‘best buy’ yang paling efektif. Menaikkan harga akan menurunkan konsumsi, mengurangi angka kesakitan, sekaligus tetap meningkatkan penerimaan negara. Tidak etis jika negara meningkatkan penerimaan dengan cara membuat anak-anak dan rakyat miskin semakin mudah membeli rokok,” papar Abdillah.
Ia memberikan contoh komparatif dari negara lain. Di Arab Saudi, kenaikan cukai 100 persen berhasil menurunkan konsumsi hingga 27 persen. Studi global di 181 negara juga menunjukkan kenaikan pajak dan cukai rokok rata-rata 42 persen dapat mencegah 15 juta kematian dan justru menaikkan penerimaan cukai global sebesar 47 persen.
Sementara itu, Ekonom Muhammadiyah, Mukhaer Pakkannam menyebut komitmen Presiden Prabowo Subianto mewujudkan ekonomi tangguh dan kesehatan berkualitas dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tersimpan paradoks.
Pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, dengan alokasi anggaran kesehatan yang juga melonjak signifikan menjadi Rp244 triliun.
Baca juga: BPS: Penyebab Kemiskinan Karena Makan Nasi, Minum Kopi dan Merokok
“Ada sesuatu yang kontradiksi. Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 saja menunjukkan beban biaya kesehatan akibat penyakit yang ditimbulkan rokok mencapai Rp435 triliun. Angka ini jauh melampaui penerimaan cukai dan saya yakin delapan tahun kemudian angkanya semakin membengkak,” ujar Mukhaer.
Menurutnya, para ekonom dan pakar kesehatan menegaskan salah satu penopang utama target penerimaan tersebut, yakni cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, justru menjadi bahan bakar utama bagi krisis kesehatan dan kemiskinan yang coba ditanggulangi oleh anggaran jumbo tersebut.
Mukhaer mengibaratkan kebijakan ini seperti menggali lubang untuk menutup lubang lainnya. Di satu sisi, pemerintah menggelontorkan ratusan triliun untuk program seperti cek kesehatan gratis dan penanganan TBC, namun di sisi lain, sumber penyakitnya—konsumsi rokok—secara tidak langsung tetap difasilitasi melalui kebijakan cukai yang belum optimal sebagai instrumen pengendalian.
Lebih jauh, Mukhaer menyoroti dampak sosial-ekonomi yang akut, surplus ekonomi masyarakat kelas bawah berpindah menjadi pundi-pundi kekayaan bagi segelintir pemilik modal industri rokok.
“Masyarakat miskin, petani tembakau, dan buruh industri rokok adalah donatur utama yang membuat industri ini kaya raya. Ini adalah pergeseran kekayaan yang menyedihkan dari kantong rakyat kecil ke kantong para taipan,” imbuhnya.