Seikat Cinta Fatwa Kehidupan untuk Korban Banjir Aceh

Seikat Cinta Fatwa Kehidupan untuk Korban Banjir Aceh

Tim Fatwa Kehidupan melihat langsung kehancuran Aceh Tamiang. Air mata mereka jatuh, negeri itu porak-poranda. Satu hal yang menarik, para korban tidak berebut bantuan, meski mereka sedang dalam penderitaan.

Syaikh Muhammad Zuhri, pimpinan Yayasan Padepokan Fatwa Kehidupan yang bermarkas di Tangerang, Banten, sangat trenyuh begitu mendapatkan kabar banjir Aceh dan Sumatra yang puncaknya pada Rabu, 26 November 2025.

Sang Syaikh pun mengumpulkan donasi melalui Yayasan Padepokan Fatwa Kehidupan. Dari sanalah muhibah kemanusiaan untuk Aceh dan Sumatra dimulai.

***

Kendaraan roda empat yang ditumpangi Mukhtaramil, Muhammad Khusnul Fahjori, dan Azli bin Ayob, memasuki Kuala Simpang, Aceh Tamiang, pada Rabu, 10 Desember 2025. Mereka tiba sekitar pukul 13.00 WIB.

Negeri Melayu tersebut telah porak-poranda. Sejauh mata memandang yang terpampang hanyalah lumpur tebal, dan negeri yang hancur. Puing bangunan, balok kayu, kendaraan dari berbagai ukuran, tergeletak di mana-mana; dengan formasi tidak teratur.

Aliran Sungai Tamiang tidak lagi mengerikan. Bahkan, di atas permukaan, air seolah tidak mengalir; sangat tenang. Tapi di sisi kiri dan kanan sungai, negeri yang dilintasi oleh sungai yang berhulu di Gunung Bendahara, telah luluh lantak.

Setiap wajah yang melintas terlihat lelah. wajah-wajah itu muram. Mahaduka setelah prahara bencana alam, telah merenggut keceriaan rakyat negeri yang sejak zaman dulu telah Berjaya dengan sawit.

Mukhtaramil yang merupakan Ketua Majelis Wilayah Fatwa Kehidupan Aceh, tertegun di atas jembatan. Demikian juga Muhammad Khusnul Fahroji, Ketua Mawil Banten, dan Azli bin Ayob dari Malaysia. Mereka kehilangan kata-kata. Kehancuran yang terpampang di hadapan mereka, tidak dapat lagi dilukiskan.

Mukhtaramil menghirup udara dan kemudian mengembuskannya. Dia butuh udara segar yang lebih banyak masuk ke dalam otaknya. Sebagai orang Aceh, meski lama hidup dalam suasana perang ketika konflik masih membekap Aceh, tapi melihat alam begitu marah, baru dua kali. Gempabumi dan tsunami Aceh 2004, dan banjir Aceh-Sumatra 2025.

Hari itu, bersama dengan rombongan Mawil Fatwa Kehidupan Sumatera Utara yang dipimpin oleh Dedek Juliansyah, yang telah masuk lebih dulu ke Aceh Tamiang, mereka berpencar. Bergerak tanpa tujuan posko. Di mana ada orang yang membutuhkan bantuan, di sana mereka berhenti.

Sepanjang perjalanan berkeliling Aceh Tamiang—Muktaramil tidak tahu nama lokasinya—hanya ditemukan satu pengungsian di sebuah masjid. Selebihnya masyarakat bertahan di rumah masing-masing. Berkumpul di tempat umum, ataupun bertahan di rumah masing-masing, tantangannya tetap sama; air bersih dan sanitasi yang sudah hancur.

Anak-anak, remaja, dan orang dewasa, selalu berlarian menuju mobil-mobil yang menjulurkan bantuan. Meski mereka berjuang mendapatkan logistic, tapi rasa kemanusiaan tidaklah hilang.

Setiap dikerubuti korban, Muktaramil mengatakan, “bila Anda telah memiliki beras, maka ambillah hal lain. Ambil yang Anda butuhkan. Bukan yang Anda inginkan.”

Baca juga: Cinta untuk Tanoh Gayo di Tepian Krueng Teupin Mane

Ternyata, imbauan pria berkacamata itu dipatuhi oleh korban banjir. Ada yang hanya meminta sampo, sabun mandi, sabun cuci, snack, dll. Ada yang minta beras tapi tak butuh mi instan. Ada yang minta mi instan tapi tak butuh beras.

“Saya hanya butuh mi instan, Pak. Beras kasihkan saja kepada yang membutuhkan. Saya sudah punya,” sebut seorang pria dewasa, yang juga korban banjir.

Sore, ketika matahari telah bergelayut di ufuk barat, rombongan Fatwa Kehidupan tarik diri dari medan bencana. Mereka pulang, menyusuri jalan dengan perasaan campur aduk.

Seikat Cinta Fatwa Kehidupan untuk Korban Banjir Aceh
Yayasan Fatwa Kehidupan saat menyerahkan bantuan untuk korban banjir dan tanah longsor di Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Fatwa Kehidupan Berbagi di Berbagai Kabupaten

Pada Senin, 8 Desember 2025, perjalanan kemanusiaan dimulai. Start pertama di Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh.

Perjalanan itu dimulai malam hari, menyusuri jalanan aspal hitam di lintas timur Serambi Mekkah.

Perjalanan itu agak melambat. Karena mereka berhenti di banyak titik di Pidie Jaya dan Bireuen. Menyalurkan bantuan logistik pangan dan lainnya untuk korban bencana banjir di pedalaman kedua kabupaten.

Pada Selasa, 9 Desember, mereka tiba di Kutablang, Bireuen. setelah berhasil menyeberang, mereka melanjutkan perjalanan ke Lhokseumawe, Aceh Utara dan Aceh Timur dan Langsa. Mereka menyalurkan sumbangan ke beberapa posko pengungsian.
Muhktaramil menyebutkan, bantuan langsung diberikan kepada pengungsi di wilayah-wilayah yang disinggahi.

“Seluruh bantuan dalam bentuk barang yang disesuaikan dengan kebutuhan korban banjir. Seperti pangan, sandang, dan kebutuhan lainnya,” kata Mukhtaramil.

Ia berharap, seikat cinta dari Fatwa Kehidupan, menjadi amal bagi penyumbang, dan berguna bagi korban dan keluarganya.

Artikel SebelumnyaBaitul Mal Aceh Salurkan Bantuan Rp735 Juta Untuk Korban Banjir
Artikel SelanjutnyaWagub Aceh Sebut Masih Banyak Wilayah Terisolasi
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here