Cerpen: Lebaran

lebaran
Ilustrasi seorang ibu yang brkomunikasi mengguankan teknologi komunikasi. Foto: IStock.

Besok Lebaran pertama dimulai. Hujan turun dengan sangat deras. Guntur berkali-kali membuat gemuruh di langit. Jamilah baru saja selesai salat Isya. Perempuan berusia 55 tahun itu berjalan menuju ruang tengah.

Tiba di sana dia duduk di atas sebuah sofa yang dibeli 20 tahun lalu, ketika ia dan suaminya baru mulai sukses membangun bisnis.

Dari tempat duduknya, Jamilah memandangi satu persatu pintu kamar tidur yang dibangun berjejer. Tiga kamar tidur, satu ia tempati bersama Imran. Satu dihuni oleh Siti putri bungsu, dan satu lagi miliknya Robi, sang putra sulung.

Baca: Sebelum Ibu & Ayah Pergi, Pulanglah

Imran telah meninggal lima tahun lalu pada usia 60. Pria penyayang istri itu dipanggil pulang setelah kalah melawan kanker hati. Dia mengembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Ketika Imran dijemput Izrail jelang Lebaran, Siti sedang ada urusan bisnis di Taiwan. Sedangkan Robi melawat putra pertamanya yang sedang sekolah di Amerika Serikat.

Kedua putra-putri mereka baru tiba di Banda Aceh, tiga hari setelah Imran dimakamkan. Keduanya hanya dapat melihat pusara pria yang selama hidupnya mati-matian memperjuangkan mereka. Siang dan malam bekerja, demi menyekolahkan mereka di lembaga pendidikan terbaik. Menerima semua jenis pekerjaan berisiko besar, supaya dapat melunasi biaya SPP putra dan putrinya yang sangat mahal.

Sejak Imran sakit-sakitan, hanya Jamilah satu-satunya teman yang senantiasa mendampingi. Siang dan malam, sang istri selalu ada. Tanpa pernah mengeluh. Tiap kali Imran berkeluh kesah tentang minimnya perhatian dari Siti dan Robi, Jamilah selalu menghibur.

“Anak-anak kita sudah besar, Pak. Mereka sibuk mengurus bisnis. Bukankah itu mimpi Papa dulu. Supaya anak-anak kita lebih sukses dari Papa? Sudahlah, Pa. Mereka pasti ingat kok kepada kita,” kata jamilah sembari mengelus rambut suaminya yang terbaring lemah di tempat tidur.

Saat lamunan jamilah makin mendalam mengenang masa-masa akhir Imran. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Dia melirik smartphone yang ditaruh di atas meja kaca. Siti menelepon. Jamilah tersenyum.

“Halo, Nak, apa kabar? Jadikan pulang Lebaran ini?”

“Halo, Ma. Rencana sih gitu. Seharusnya sudah pun sampai di Banda Aceh sebelum Lebaran. tapi tiba-tiba klien menelepon ada urusan yang belum selesai. Siti awalnya berharap urusan mendadak itu segera tuntas. Tapi sepertinya bakal lama deh. Apalagi karyawan Siti semuanya sudah pulang kampung,” kata Siti di seberang telepon. Suaranya seperti rada-rada menyesal tak bisa pulang Lebaran, tapi juga menegaskan bahwa ia sedang sangat sibuk dengan bisnisnya.

“Apa tak bisa ditunda? Presiden saja libur pada saat Lebaran,” bujuk Jamilah sembari tertawa kecil. Rindu dan kecewa menyatu dalam tawa tak berwarna.

“Mama, please, jangan sedih ya. Siti janji setelah ini selesai, pasti akan pulang.”

Jamilah menyeka air matanya yang turun tanpa disadari. Ia sedih, tapi mencoba tegar. Ini kali ke empat Siti tak pulang kampung pada Lebaran. Bahkan ini tahun ke empat Siti tak pernah menginjak kakinya di beranda rumah tempat ia dan Robi dibesarkan dengan limpahan fasilitas.

Perempuan berkulit kuning langsat itu hanya dapat mendoakan semoga Siti selalu sehat, dan kemudian menutup telepon dengan perasaan sepi.

“Pa, benar kata-kata Papa. Anak-anak kita telah tenggelam dalam dunianya, dan mengabaikan kita sebagai bagian dari dunia mereka,” kata jamilah sembari sesenggukan. Ia bicara kepada foto Imran yang dipajang di ruang tengah.

Jamilah menyeka air mata, dan kemudian membuka telepon genggamnya. Dia berselancar di media sosial. Menatap lekat foto-foto Robi, istri dan anaknya yang sedang berlibur ke Dubai. Mereka menghabiskan Idulfitri tahun ini di sana. Kepada Jamilah, Nita istrinya Robi mengatakan anak mereka ingin berlibur ke Dubai, setelah penat belajar di Amerika Serikat.

“Si Rafael gak mau pulang ke Banda Aceh, Moms. Dia katanya kampung ayahnya masih sangat ketinggalan. Kolot, dan tak menarik,” kata Nita kepada Jamilah beberapa waktu lalu melalui telepon.

Jamilah hanya dapat menghela nafas bila mengenang percakapan itu. Ia telah kehilangan anak-anaknya sendiri. Putranya telah menjadi milik istrinya; seutuhnya.

Ia berduka, tapi tahu sumber masalahnya. Saat ini Tuhan sedang menghukumnya. Dulu, ia nyaris tak punya waktu menemui ayah dan ibunya di kampung. Dengan alasan sibuk bekerja, ia dan Imran selalu mengabaikan hasrat rindu di dalam hati. Setiap kali rasa ingin mudik lahir di hati mereka, secepat mungkin diberi tuba. Mereka selalu mengatakan rindu adalah racun, penghambat kesuksesan.

Keduanya, baru sempat pulang ke kampung dan berdiam selama tiga hari di sana, ketika orang tua masing-masing satu persatu pamit dari kehidupan dunia.

“Aku tahu, Pa. Tuhan sedang membalas kita. Anak-anak melupakan kita, sama persis seperti kita dulu membunuh rindu, dan menganggap karir dan keluarga kecil kita jauh lebih penting ketimbang ayah dan ibu di kampung. Tuhan tunai membalas kita. Bahkan setelah engkau pergi, Siti dan Robi tak juga menaruh perhatian kepadaku,” kata jamilah dengan suara pelan. Ia kemudian tertidur di atas sofa.

Kumandang azan Subuh membangunkan jamilah. Dia bergegas ke kamar mandi. Selesai salat Subuh dia menuju dapur. Memanaskan rendang yang sedianya disiapkan untuk Siti dan anak-anaknya. Mereka menggemari rendang. Ia juga memanaskan sambal lidah lembu kesukaan suami Siti.

Jamilah membuka kulkas. Sejenak menatap setumpuk daging bebek lati yang telah ia potong-potong. Ia tahu Robi, Nita dan anak mereka tidak pulang. Tapi sebagai seorang ibu, ia selalu berharap ada keajaiban. Dia selalu berharap ada kejutan. Siapa tahu Robi pura-pura tidak pulang kampung. Eh, tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu sembari tersenyum lebar.

Bila itu terjadi, Jamilah tak mau kecolongan. Ia akan segera memasak kari bebek lati kesukaan Robi. Dalam hal kuliner Aceh, lidah Robi dan Imran sama. Penggemar kari bebek lati dan kuah pliek.

Ia hanya tersenyum melihat daging bebek telah membeku di freezer.

Jamilah tak tahu memanaskan rendang dan sambal untuk siapa. Ia sendiri tak selera.

Semua makanan yang telah dipanaskan, dia taruh di meja makan. Ia bergegas menuju masjid, menunaikan salat Ied. Ia berharap Malik, istri dan anak-anaknya datang lebih cepat. Keponakannya itu memberikan perhatian lebih kepadanya. Tiap Lebaran tak pernah melupakan dirinya. Seringkali menginap. Semasih hidup, Imran sangat menyukai Malik. Imran kagum kepada Malik yang gigih bekerja tapi tetap peduli kepada kedua orangtuanya.

Di jalan Lorong rumah dia berpapasan dengan Umiyah, temannya satu Angkatan kuliah, yang menikah dengan seorang pedagang beras di los kota. Umiyah mengangguk sembari tersenyum.

Di samping Umiyah, lima perempuan berusia 28 hingga 34 berjalan beriring. Mereka anak dan menantunya.

“Wah, pulang semua keknya Lebaran ini. Yang laki-laki pada kemana?” sapa Jamilah dengan wajah berseri. Ia bahagia melihat Umiyah didampingi anak dan menantunya.

“Para pejantan berangkat ke masjid bersama Bang Din,” jawab Umiyah sembari membalas senyum. Bang Din adalah suaminya Umiyah.

“Ramai ya rumah kamu. Pasti seru,”

“Iya, Bu Jamilah. Anak dan menantu serta cucu kumpul.”

“Berapa hari mereka di sini?”

“Paling tiga hari. Karena mereka juga harus pulang ke orangtua pasangan masing-masing,” jawab Umiyah.”Robi dan Siti tak pulang?”

“Siti rencana awal sih pulang. Tapi tiba-tiba gak jadi. Kalau Robi, apalagi mau kubilang. Ia kalah sama istrinya. Kalau ke kampung istrinya selalu ada waktu. Kalau jatah saya, ada saja alasan cucu minta liburan ke luar Indonesia. Mau apalagi, toh, Robi sekarang adalah suaminya Nita. Asal ia bahagia, saya pun bahagia,” jawab Jamilah sembari menggandeng tangan Umiyah menuju masjid.

Artikel SebelumnyaIngin Berlebaran di Aceh, Ratu Azira Zahra Tenggelam di Selat Malaka
Artikel SelanjutnyaHati-hati Berkunjung Ke Jogja, Klitih di Mana-mana
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here