Setelah lima tahun tak berjejak, Nuraini pulang kampung. Wajahnya semakin menarik. Meski berdandan sederhana, dirinya menjadi pusat perhatian laki-laki, yang membuat kaum ibu cemburu luar biasa.
Kisah ini terjadi 70 tahun lalu. Seorang dara bernama Nuraini tak pernah mengirimkan kabar kepada ayah dan ibunya, semenjak memutuskan merantau ke Malaysia.
Banyak cerita melingkupi tentang keberadaan dara berkulit kuning langsat dan rambut sepinggang. Juara umum lomba MTQ antar desa itu memutuskan merantau setelah bertubi-tubi kemalangan menimpa keluarganya, semenjak dirinya menolak lamaran Leman, jawara kampung yang juga agen madat dan toke lapak judi.
Baca: Arwah Abu Din ke Jambo Madat
Leman sangat marah tatkala Teungku Deurih dan Nuraini menolak lamarannya. Ia merasa terhina dina.
Begitu mendapat kabar bahwa lamarannya ditolak, dia mengambil pedang dan menyangkutkannya di pinggang. Dengan derap langkah penuh amarah dia berjalan lekas, diiringi dua pembantunya yang dapat disuruh apa pun.
Tiba di halaman, dia berkacak pinggang. Berteriak memanggil nama Teungku Deurih. Imam kampung yang telah memandikan jenazah puluhan warga di Gampong Pungget, turun dari rumoh Aceh.
Leman mengumpat dengan suara sangat keras. Seiisi kampung mendengar. Tapi tak ada yang berani mendekat.
Teungku Deurih mematung. Ia tidak menjawab sepatah katapun. Tatkala Leman mendekatkan mukanya ke wajah Teungku Deurih, pria berpeci putih tersebut berkata.
“Hari ini sahihlah sikapku. Kau memang tak pantas menjadi suaminya Nuraini. Enyahlah ke tempat engkau berasal. Aku bukan laki-laki penakut. Setapak lagi kau melangkah maju, rencong ini akan menembus perutmu!”
Leman terkejut. Bromocorah itu tidak menyangka bila Teungku Deurih berani menghardiknya. Pria yang selama ini dikenal lemah lembut, ternyata seekor banteng tua, yang tak gentar terhadap gongongan anjing hutan.
Sembari melangkah pulang, Leman berkata dengan penuh amarah. “Kau tunggu saja, apa yang akan berlaku terhadap keluargamu!”
Dua pagi kemudian, tiga ekor lembu milik Teungku Deurih mati di kandang. Empat hari kemudian, 16 batang kelapa di kebunnya ditebang oleh orang tak dikenal. Berturut-turut setiap malam rumahnya dilempari batu.
Satu bulan kemudian, anak-anak Teungku Deurih mengalami gatal-gatal di sekujur tubuh. Orang-orang kampung menyebutnya reuhat, semacam kurap, tapi berasal dari sihir yang dikirim oleh seseorang.
Sepanjang malam mereka tidak bisa tidur. Gatal yang luar biasa menjalar di sekujur tubuh. Hanya Teungku Deurih dan Nuraini yang tak mempan ditembus reuhat.
“Bila kemalangan terhadap keluarga kita berasal dari penolakan saya dipinang Leman, biarlah saya menikah saja dengan dia,” kata Nuraini pada suatu malam.
Teungku Deurih yang sedang memilin rokok daun nipah, terkejut. Dia tak menyangka bila putrinya menyerah pada keadaan.
“Lebih baik aku berkalang tanah, ketimbang engkau terpaksa kunikahkan dengan orang yang tidak mengenal Tuhan,” kata sang imam dengan mulut bergetar.
“Ayahanda, Nuraini tak sanggup lagi melihat Ayahanda, Ibunda, dan adik-adik menderita,” kata dara berhidung mancung itu.
“Kuharamkan engkau menikah dengan dirinya. Lebih baik Ayahanda mati, dari pada harus takluk kepada begundal itu.”
Nuraini tak kuasa lagi melanjutkan kata-kata. Ayahandanya pria yang tidak pernah mengganti tekadnya, bila sudah terucap. Dia sangat mengenal pria yang menjadi ayahnya. Seorang lelaki yang tak pernah bersedia bersekutu dengan kejahatan. Seorang imam kampung yang teguh memegang ajaran Islam.
***
Leman merupakan tokoh dari dunia kegelapan yang mampu menghegemoni Gampong Pungget. Semakin hari bertambah banyak warga yang menjauhi keluarga Teungku Deurih. Ia tidak lagi dipanggil memandikan jenazah, tidak lagi diminta bantu membacakan tahlil pada rumah-rumah yang mengalami kemalangan, tidak lagi diminta memimpin doa pada acara-acara penting hingga ke level mukim.
Pada suatu malam, dalam sebuah rapat kampung, sang imam diturunkan dari jabatannya, dengan alasan tak masuk akal.
Teungku Deurih tidak melawan. Setelah diturunkan dari posisi imam, dia mengucapkan terima kasih, menyampaikan permohonan maaf bilamana selama ia menjadi imam,ada melakukan kesalahan-kesalahan.
Esoknya, Keucik Raman datang ke rumah. Dia meminta maaf tak mampu melindungi sang imam pada malam rapat umum. Dia tertekan karena memiliki kepentingan dengan Leman.
Teungku Deurih memahami tekanan yang dihadapi Keuchik Raman. “Aku tidak menyalahkanmu, Raman. Aku memahami tekanan yang kamu hadapi,” kata sang imam.
***
Telah empat keluarga dari jauh datang meminang Nuraini. Tapi tiap kali usai meminang, tak satupun yang kembali. Semuanya mengirim utusan menyampaikan bila pertunangan dibatalkan. Tak ada alasan yang jelas. Tapi Teungku Deurih tahu ke mana muaranya.
Nuraini dilanda sedih luar biasa. Segala kemalangan bermula dari penolakan pinangan Leman.
Kini ia juga tidak lagi nyaman. Berembus isu bila pembatalan pinangan dari beberapa pria yang telah datang melamar dirinya, karena Nuraini memiliki kelainan. Bahkan ada isu bila Nuraini telah jebol duluan dengan seseorang yang tidak bertanggung jawab.
Dara itu tak kuasa menahan lagi segenap derita batin. Tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tak dapat ia terima. Setiap kali dia mencuci baju ke sungai, teman-teman sebaya menjauhinya. Ibu-ibu menggunjingya dengan bahasa-bahasa sindiran yang menyakitkan hati.
Akhirnya, dia kalah melawan keadaan. Keluarga memutuskan Nuraini dikirim ke Malaysia, ke tempat adik ayahnya bermukim.
“Kamu harus pergi ke rumah Pakcik Mansur. Mungkin Malaysia bisa menjadi obat bagi segenap derita yang sedang kamu tanggung,” kata Teungku Deurih.
Dua bulan setelah keberangkatan Nuraini, tibalah surat dari Malaysia. Mansur menanyakan apakah Teungku Deurih benar-benar serius mengirim Nuraini? Bila serius, mengapa Nuraini tak kunjung datang?
Teungku Deurih terkejut. Dengan perasaan gundah-gulana, dia membalas surat itu. menyampaikan putrinya telah berangkatdua bulan yang lalu menumpang kapal laut.
Kabar tidak sampainya Nuraini ke rumah Mansur kemudian menjadi bahan perbincangan di seluruh kampung. Banyak spekulasi beredar. Banyak isu dikembangkan. Tapi yang paling menyakitkan bagi keluarga Teungku Deurih, tersiarnya kabar bila sang dara pernah dilihat oleh seseorang di sebuah kompleks pemadat di Melaka.
Ada yang mengatakan bila Nuraini telah menikah dengan juragan madat di Selangor.
Semua kabar tersebut dibicarakan oleh pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, pada setiap kesempatan.
Karena tak kuasa menahan derita terhadap fitnah, Cut Ti, ibunya Nuraini jatuh sakit dan enam bulan kemudian meninggal dunia. Tiga bulan setelahnya Teungku Deurih jatuh sakit dan meninggal dunia.
Mansur yang pulang ke Gampong Pungget untuk melayat, membantah semua isu-isu yang menimpa keponakannya.
“Nuraini gadis baik-baik. Bila di kampung ini saja dirinya menolak pinangan bandit, konon lagi dia justru menikah dengan bandit di kota.
Bila di kampung ini saja dia tidak berbuat nista, mengapa pula di kota dia harus berbuat angkara? kalian semua tahu siapa Nuraini dan keluarganya. Yang aku tak habis pikir, tega sekali kalian menggunjing keluarga abangku dengan fitnah keji,” kata Mansur.
Beberapa pria yang duduk di atas tikar pada malam tahlilan, terlihat merasa bersalah. Mereka ikut menggunjing, dan kini telah menyadari kekeliruan.
“Bang Mansur bukan orang miskin. Nuraini bukan perempuan tak berpendidikan.Apa yang dia kejar sehingga harus hidup dalam gelimang dosa? Aku menduga keponakanku itu tak pernah menjejakkan kaki di Melaka. Telah terjadi hal buruk terhadap dirinya di dalam perjalanan,” kata Mansur.
Laki-laki yang duduk setikar, manggut-manggut.
Usai penyelenggaraan seunujoh, tiga anak Teungku Mansur dibawa serta bersama Mansur.
***
Lima tahun kemudian, pada malam Jumat, sebuah bus berhenti di depan warung kopi. seorang perempuan turun. Perempuan itu memakai baju kurung bermotif bunga kamboja. Kepalanya ditutup dengan selendang putih.
Beberapa laki-laki yang sedang berbincang di tengah udara malam, melonggok keluar. Mereka memperhatikan seseorang yang baru turun dari bus.
“Sepertinya aku tak asing dengan wajah itu,” kata Lah Ceurape, buruh kasar yang sehari-hari bekerja di hutan.
“Iya. Aku juga demikian,” timpal Dun Toke Baneng.
Mereka seksama memperhatikan perempuan yang masih berdiri di pinggir jalan.
Perempuan itu melangkah memasuki jalan desa. Dun dan Lah yang penasaran mengikuti dari belakang. Mereka kaget saat perempuan itu memasuki pekarangan rumah almarhum Teungku Deurih.
Merasa ada yang mengikuti, perempuan itu berhenti. Dia memalingkan wajah ke arah dua laki-laki yang mengikutinya.
Dua laki-laki itu terkejut, dan segera melarikan diri dengan wajah penuh kengerian.