Sejak sore banjir telah menerjang Gampong Paya Rabo, Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Sekitar pukul 21.00 WIB, air telah mencapai dinding paling atas rumah penduduk. Saat itu warga belum tahu bila banjir terjadi di banyak wilayah di Serambi Mekkah.
Hujan yang telah turun berhari-hari dengan intensitas tinggi, membuat M. Nasir (42) khawatir. Alumnus Jurusan Bahasa Inggris Universitas Almuslim tersebut, mengambil inisiatif membawa pulang istri dan anak-anaknya ke Alue Krueb, Peusangan, Bireuen.
Alue Krueb merupakan desa tempat orang tua istrinya bermukim. Setelah menitipkan anak dan istrinya, ke kembali ke Paya Rabo.
M. Nasir, sehari-hari dia berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di UPTD SD Negeri 2 Sawang, Aceh Utara. Dia juga salah seorang perangkat desa di Paya Rabo, Kecamatan Sawang, Aceh Utara.
Saat bercerita kepada Komparatif.ID, Sabtu, 27 Desember 2025, dirinya sedang berada di sebuah kedai yang masih tutup di desanya.
Paya Rabo merupakan salah satu desa di Kecamatan Sawang, yang ikut diterjang oleh banjir bandang yang memuncak pada Rabu malam, 26 November 2025.
Baca: Guru SDN 2 Sawang Bergaya Pace Papua, Sampaikan Pesan Persatuan
Rabu sore, hujan yang belum menunjukkan tanda akan mereda, mulai menimbulkan kekhawatiran berlebih. Krueng Sawang yang berjarak dua kilometer dari Paya Rabo, mulai meluap. Alirannya yang deras bergerak cepat menggenani perkampungan di sepanjang alirannya, tak terkecuali Paya Rabo.
Nasir yang menetap di rumah semi panggung, bergegas menyelamatkan barang-barang yang dinilai sangat berharga, dan dapat diselamatkan dalam waktu tidak begitu lama.
Barang-barang itu ditaruhnya di para-para rumah. Gabah yang baru beberapa hari dipanen jiga ditaruh di tempat lebih tinggi.
Nasir berpikir banjir tidak akan lama, dan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Tapi, ketika malam beranjak larut, air sungai bertambah banyak. Pria berkulit hitam yang ketika kuliah sering memperagakan cara aparat keamanan dan pertahanan memeriksa KTP orang Aceh di masa konflik, harus berjibaku lebih keras.
Sekitar pukul 23.00 WIB, air sudah hampir mencapai atap rumah. Tak ada pilihan lain selain menyelamatkan diri.
Listrik masih menyala saat itu, demikian juga jaringan seluler dan internet. Pria yang sebelum kuliah sempat bekerja di lapangan golf di Malaysia itu, terjebak di rumahnya. Dia tidak bisa lagi kemana-mana. Di gulita malam, berenang ke tempat lain bukanlah pilihan yang tepat.
Nasir keluar dari rumahnya dan berenang ke kedai di depan rumah. Dia mengarahkan pandangan ke sekeliling. Gemuruh banjir sangat mengerikan. Deru air terdengar seperti suara dari dimensi lain.
Pria itu memanjat dinding kedai dan memilih duduk di kuda-kuda bagian dalam. Di atas kuda-kuda dia menghubungi tim SAR dan babinsa. Kenalannya di tim SAR berkali-kali tak mengangkat telepon. Demikian juga si babinsa.
Nasir mengirim pesan teks. Temannya di SAR memberitahu bahwa mereka terjebak di Krueng Mane. Banjir telah menyebabkan mereka tidak bisa menembus ke Paya Rabo.
Nasir menghubungi Keuchik Paya Rabo. Sang kepala desa membalas pesan bahwa dirinya sedang menyelamatkan diri di atap rumah.
“Saat itu tidak ada pilihan lain. Ya, masing-masing harus menyelamatkan diri. Lima hari setelah banjir saya bertemu Pak Babinsa. Dia mengatakan kantornya ikut tenggelam. Maka wajar dia tidak sempat menjawab telepon saya,” kata Nasir dengan suara agak serak.
Malam itu, banjir membawa lumpur pekat kental. Airnya cokelat kehitam-hitaman. Beruntung, kayu-kayu yang dihanyutkan dari hulu Krueng Sawang telah tersaring di desa-desa sebelum Paya Rabo.
Pun demikian, rumah tempat ia menyimpan puluhan karung gabah kering, jebol dihantam banjir. Gabah-bagah itu hanyut.
Satu malam suntuk duduk di atas kuda-kuda, pantat Nasir akhirnya ngilu. Dia berbisik, “Ya Allah, tariklah tentaramu.”. Dalam agama Islam, air merupakan salah satu benda yang sering disebut tentara Allah.
Tak ada kumandang azan Subuh kali itu. Nasir melihat layar hape. Sudah waktunya salat Subuh.Dia pun wudhu menggunakan air banjir berlumpur. Dia salat sambil duduk di atas kuda-kuda.
Pagi menjelang. Nasir tidak bisa melihat keluar. Dirinya masih terjebak di kuda-kuda atap kedai. Air belum surut. Pria yang sehari-hari sangat kocak itu, berzikir sembari menanti keajaiban. Bajunya masih basah. Dia kedinginan.
Di luar rumah tidak ada suara selain gemuruh banjir. Di atas kuda-kuda, Nasir terkadang tidur-tidur ayam, tapi lebih banyak terjaga.
Tiga malam dua hari dia tidak bisa kemana-mana, hanya bertahan di atas kuda-kuda kedai sembari terus berzikir.
Ketika air surut, dia bergegas surut. Misi utamanya hendak mencari makanan. Perutnya sudah sangat keroncongan. Tapi, begitu dia berhasil keluar dari kedai, pria itu langsung lemas. Kampungnya telah menjadi lautan lumpur yang tinggi. Lebih satu meter sedimen menutupi halaman. Jalan sepenuhnya “hilang”.
Nasir melangkah dengan tertatih-tatih melalui medan lumpur. Dia mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Tiba di tempat yang dianggap aman, penyintas banjir telah berkumpul. Satu satu muncul dari berbagai tempat.
Dua warga Paya Rabo dinyatakan meninggal dunia. Satu orang jasadnya ditemukan tersangkut di rumpun bambu di tepi sungai.
Hari itu Nasir dan penyintas lainnya bergerak mencari bantuan ke desa-desa yang tidak diterjang banjir. Ada yang ke Keude Sawang, ada yang menuju arah Gunung Salak.
Warga yang tidak terdampak langsung, memberikan pertolongan. Para penyintas diberikan makanan.
Paya Rabo 1 Bulan Setelah Banjir Bandang Berlalu
Warga Paya Rabo mengungsi ke sebuah dayah di desa tersebut. Dayah aman dari terjangan banjir. Di sana warga membuka kamp pengungsian. Ke sana pula berbagai bantuan disalurkan oleh oleh pemerintah dan donatur.
Saat ini jumlah pengungsi terus berkurang. Mereka yang tidak sangat parah terdampak banjir, sudah pulang ke rumah. Sementara sekitar 100 kepala keluarga masih bertahan di kamp, karena kondisi rumah mereka belum bisa ditempati.
Seperti Nasir, rumahnya di Paya Rabo tertimbun lumpur dengan ketinggian bervariasi. Rumah berkonstruksi kayu tersebut, tidak bisa dibuka untuk sementara waktu.
Nasir sudah mencangkul di bagian teras. Tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk membuang seluruh lumpur yang kini mulai memadat.
Jalan desa telah dibersihkan dari lumpur oleh pemerintah.
Saat ini Nasir tidak memiliki apa-apa lagi selain anak dan istri.
“Bahkan bantal pun sekarang aku tak punya,” katanya dengan suara berat diiringi batuk-batuk.
Ia berharap tak ada banjir susulan. “Kalau banjir susulan terjadi, kami yang sudah tak memiliki apa-apa, akan tersungkur dalam nestapa yang lebih menghancurkan,” imbuhnya.












