Meulaboh, nama yang berakar dalam lintasan sejarah Aceh, kini telah berusia 437 tahun. Sejak abad ke-16, kota ini telah menjadi pusat kehidupan di pantai barat Aceh, tempat berlabuhnya kapal-kapal niaga, tempat lahirnya para ulama dan pejuang, serta tempat bertumbuhnya budaya dan peradaban yang menghidupi banyak generasi.
Namun, di antara semua kota tua peninggalan kerajaan dan kolonial di Aceh, Meulaboh adalah satu-satunya ibu kota lama yang belum menjadi kota secara administratif. Ia tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Barat — seperti seorang wanita tua yang tabah, yang telah melahirkan banyak anak dan tetap setia menjaga rumah besar yang bernama Meulaboh.
Ibu yang Melahirkan Banyak Anak
Dari rahim sejarah dan wilayahnya, Meulaboh telah melahirkan banyak kabupaten dan kota baru. Dulu ia menaungi Nagan Raya, Aceh Jaya, dan Simeulue — yang kini tumbuh menjadi kabupaten mandiri. Lebih jauh ke barat, Simeulue juga pernah berada dalam lingkup pengaruh administratif Meulaboh sebelum akhirnya berdiri sendiri sebagai kabupaten kepulauan.
Anak yang paling tua adalah Aceh Selatan, yang juga sudah punya anak. Berarti Meulaboh juga punya cucu. Aceh Selatan melahirkan Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), menandakan suburnya pertumbuhan wilayah yang berakar dari satu garis sejarah Aceh Barat Raya.
Sementara itu, di pesisir dan timur Aceh, Kutaraja (kini Banda Aceh) telah lama berdiri sebagai ibu kota provinsi. Langsa berkembang sebagai kota industri dan perdagangan, sedangkan Lhokseumawe menjadi kota energi dan niaga yang dinamis.
Dari semua itu, Meulaboh tetap menjadi satu-satunya kota lama yang belum menyandang status “kota”, meski dalam makna sejarah dan budaya, ia telah menjadi kota jauh sebelum Aceh mengenal kata otonomi.
Meulaboh harus ditangani dalam bentuk kota. Dengan demikian, Bupati Aceh Barat juga harus menjadi Bupati Aceh Barat sekaligus Wali Kota Meulaboh. Dalam RPJMN Pak Prabowo, Meulaboh juga diperlakukan sebagai sebuah perkotaan.
Dari Bandar Analabou ke Kota Peradaban
Dalam peta kuno Belanda dan catatan para penjelajah Eropa, Meulaboh dikenal sebagai Analabou atau Labo, sebuah bandar penting sejak masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil pada tahun 1588 M —tahun yang kini ditetapkan sebagai hari jadi Kota Meulaboh.
Belanda kemudian menjadikannya pusat pemerintahan kolonial di pantai barat yang disebut Westkust van Atjeh. Dari Meulaboh, mereka mengatur daerah dari Tapaktuan hingga Simeulue, menandakan betapa strategis dan sentralnya peran kota ini dalam sejarah Aceh.
Baca juga: Pembangunan Jalan Geurutee di Masa Kolonial Belanda
Namun, jauh sebelum masa kolonial, Meulaboh sudah menjadi kota peradaban. Ia menjadi tempat bertemunya para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Eropa; tempat para ulama mengajarkan ilmu; dan tempat rakyat menemukan makna kebersamaan di bawah syariat dan adat Aceh yang luhur.
Kota yang Tak Pernah Tua
Waktu boleh berjalan, pemerintahan boleh berganti, tapi jiwa Meulaboh tak pernah pudar. Ia menjadi pusat pendidikan, perdagangan, dan spiritualitas di pantai barat Aceh —tempat berdirinya masjid-masjid tua, sekolah-sekolah rakyat, dan pasar yang hidup sejak pagi hingga senja.
Di setiap ubin masjid, di setiap jalan menuju pantai, dan di setiap cerita rakyat, tersimpan kisah tentang keuletan dan kesetiaan orang Meulaboh menjaga peradaban mereka.
Selamat Ulang Tahun, Meulaboh
Hari ini, kita tidak hanya merayakan ulang tahun sebuah kota. Kita sedang menyapa ingatan dan masa depan sekaligus —mengingat dari mana kita berasal dan ke mana kita ingin melangkah.
Selamat Ulang Tahun ke-437 Kota Meulaboh. Selamat kepada Bupati dan Wakil Bupati Aceh Barat beserta seluruh masyarakat yang telah menjaga denyut kehidupan di pesisir barat ini.
Semoga Meulaboh tetap menjadi kota sejarah yang hidup di masa depan, bukan sekadar dikenang di masa lalu. Sebab Meulaboh bukan hanya tempat di peta, ia adalah ibu dari banyak kabupaten dan satu kota, pelabuhan kasih, dan jiwa peradaban Aceh Barat Raya.
“Selamat ulang tahun, Meulaboh — wanita tua yang tetap anggun; seangkatan dengan Langsa, Lhokseumawe, dan Kutaraja. Engkau tetap menjadi ibu yang setia, menjaga cahaya di pantai barat Aceh, tempat sejarah dan cinta tak pernah padam.”
Tulisan Teuku Ahmad Dadek. Disitat dari lini masa Facebook.












