
Komparatif.ID, Jakarta— Lahirnya UU Pemerintahan Aceh —Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, tidak dapat dipisahkan dari piawanya tiga sosok dalam memberikan dukungan dan melakukan lobi. PDIP yang sebelumnya sangat antipasti, akhirnya melunak.
Ketiga sosok tersebut yaitu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Wapres Jusuf Kalla (JK), dan Ferry Mursyidan Baldan, politisi Tanah Rencong, kader Partai Golkar di DPR RI.
Demikian ditulis di dalam buku berjudul Menegakkan Damai Di Serambi Makkah: Menguak Proses UU Pemerintahan Aceh, yang ditulis oleh Suradi, dalam diskusi bertajuk “Titik Temu: Ruang Alinea membincangkan karya dan dunia kepenulisan” diadakan setiap awal bulan.
Diskusi kali ini merupakan yang ketiga kalinya. Pada perhelatan kali ini, diskusi digelar di kediaman penulis yang merupakan tempat aktivitas Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Bukit Duri Bercerita, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (03/08/2025).
Suradi yang merupakan salah satu penulis yang berhimpun di Aline, mengetengahkan buku yang membahas sejarah perjalanan penggodokan UU Pemerintah Aceh di DPR RI. Buku tersebut merupakan hasil “ratifikasi” tesisnya saat mengikuti sidang magister Program Studi Ilmu Komunikasi, Bidang Kekhususan Manajemen Komunikasi Politik, FISIP UI tahun 2007, dengan judul asli Strategi Persuasi di Dewan Perwakilan Rakyat: Studi Pembahasan RUU Pemerintahan Aceh.
Suradji mengatakan, meskipun usia perdamaian di Aceh telah mencapai 20 tahun, menerbitkan buku bertema perdamaian Aceh masih sangat relevan. Apalagi yang dibahas tentang proses lahirnya turunan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
“Mengingat UU Pemerintah Aceh akan direvisi pada beberapa pasal, maka pembahasan tentang ini masih tetap relevan. Ketua DPRA dalam sambutannya menegaskan bahwa revisi ini dilakukan sebagai bentuk respons terhadap aspirasi masyarakat dan dinamika pembangunan Aceh yang telah berlangsung hampir dua dekade sejak UUPA diundangkan,” papar Suradi yang telah menulis sejumlah buku biografi dan juga buku politik-hukum.
Baca juga: Revisi UUPA Harusnya Libatkan Tim Perunding GAM
Ketika memaparkan hubungan penandatanganan MoU Perdamaian Aceh dan pembahasan UU Pemerintahan Aceh, Suradi menyebutkan dua figur yang sangat berperan dalam konteks kajian bukunya.
Pertama figur sentral Jusuf Kalla (JK)yang saat itu menjabat Wakil Presiden dan juga Ketua umum Partai Golkar. Dengan posisi yang sangat strategis dan ini direstui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu, ditambah kemampuan lobi dan ekonominya, JK berbagai langkah menuju meja perundingan antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia.
Tokoh yang juga berperan sentral, khususnya ketika membahas RUU Pemerintahan Aceh ungkap Suradi, adalah politisi kawakan berdarah Aceh, dari Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemerintah Aceh ini mampu melakukan pendekatan persuasif kepada seluruh fraksi, termasuk Fraksi PDIP yang sejak awal penandatanganan MoU Helsinki sangat kritis terhadap RUU ini mengingat sikap Megawati, Ketua umum PDIP yang ketika itu khawatir dengan penandatanganan Mou Helsinki, Aceh akan lepas dari NKRI.
“Namun dalam waktu yang singkat meski banyak pasal-pasal krusial dalam RUU Pemerintahan Aceh, dapat diselesaikan dengan mulus, bahkan tanpa voting. Artinya, semua fraksi di Pansus RUU Pemerintahan Aceh ini memahami maksud pembuatan UU ini sebagai perintah dari MoU Helsinki,” ujar Suradi.
Dalam buku ini, Suradi selain menjelaskan setting MoU Helsinki, dan materi pokok soal pembahasan RUU Pemerintahan Aceh dengan menjelaskan bagaimana strategi pembahasan yang semula alot, menjadi mulus. Penulis juga mencantumkan lampiran isi Mou Helsinki 15 Agustus 2025 dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, serta lampiran hasil wawancara baik dengan para politis anggota Pansus, tokoh-tokoh Aceh yang terkait, dan pengamat politik asal Aceh Dr. Fachry Ali.
Semua itu dimaksudkan untuk memberi pemahaman utuh kepada pembaca yang tidak mengikuti langsung proses perdamaian Aceh di Helsinki dan pembahasan UU Pemerintahan Aceh.
Murizal Hamzah, salah seorang wartawan Aceh yang bermukim di Jakarta, menyambut baik kehadiran buku tersebut. Ia menyebutkan tahun ini, 2025 genap 20 tahun damai Aceh. Pada waktu bersamaan, DPRA mengajukan revisi UUPA 2006 ke DPR RI. Revisi ini berkaitan dengan dana Otonomi Khusus (Otsus). Beberapa pasal yang mengatur alokasi dan penggunaan dana otsus harus diubah untuk mengakomodasi kebutuhan yang berkembang. Keberlanjutan dan efektivitas dana Otsus sangat penting bagi kemajuan Aceh.
Karena itu, keberadaan buku ini yang bersamaan dengan 20 tahun damai Aceh mampu membongkar jejak penyusunan UUPA yang penuh kompromi di parlemen. Ada tolak tarik untuk mewujudkan kesepakatan. Ada pihak yang berkiprah dalam penyusunan yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Pemerintahan Aceh yang tidak tercatat dalam lembaran sejarah.
“Buku ini menjadi penting untuk merekam jejak perjuangan dari rimba raya ke rimba beton. Dari ujung peluru ke ujung pena. Buku ini tidak sekadar penghias etalase rak buku. Lebih dari itu, buku ini mengungkapkan hal-hal yang tidak terungkap yang telah diuji di sidang akademik S-2 di Universitas Indonesia, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,”ujar Murizal.
Para penulis Alinea yang hadir seperti pendiri Baca Di Tebet, Kanti W Janis dan Wien Muldian, penulis Nuri Soeharto, wartawan senior dan penyair Idrus F. Sahab, cerpenis Kunia Effendi (KEF), penulis penyintas, Magdalena Sitorus, Direktur Eksekutif Alinea, Deasy Tirayoh, Pengurus Alinea yang juga novelis Stebby Julionatan, penulis dan dosen psikologi, Danny Yatim, dan penulis Dini Rini ikut hadir wartawan Sudrajat.
Hampir semua yang hadir memberikan tanggapan dan juga pertanyaan kritis mengenai buku ini. Mulai pertanyaan mengapa MoU dilaksanakan di Helsinki dan bagaimana peran mediator Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, hubungan MoU Helsinki dengan UU Aceh, hingga relevansi buku ini untuk kepentingan masyarakat Aceh saat ini.
Suradi selaku penulis dan ketika pembahasan RUU Aceh meliput dan mengikutinya hingga tuntas, menjawab semua pertanyaan dan tanggapan dari rekannya sesama penulis Aline. satu hal yang disepakati bahwa karya tulis atau buku dalam beragam konteks dan konten tetap bermakna bagi publik.[]