Buku “Dua Dekade Damai Aceh” Abaikan Perspektif Korban

“Dua Dekade Damai Aceh” Abaikan Perspektif Korban
Antropolog UIN Ar-Raniry, Reza Idria. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Antropolog UIN Ar-Raniry, Reza Idria, menyebut buku Dua Dekade Damai Aceh menggunakan pendekatan sangat BRA-sentris dan mengabaikan suara-suara masyarakat terdampak langsung, seperti korban konflik, mantan kombatan, perempuan penyintas, serta kelompok marjinal lainnya. 

Reza mengatakan tidak ada ruang yang cukup bagi kesaksian atau keterangan dari mereka yang menjalani realitas pascakonflik secara langsung usai dua dekade damai Aceh. 

“Tidak ada ruang bagi kesaksian atau wawancara naratif dari masyarakat terdampak, yang sesungguhnya menjadi aktor kunci dalam reintegrasi sosial. Hal ini membuat narasi dalam buku terasa sangat top-down dan tidak dialogis,” ujar Reza pada bedah buku “Dua Dekade Damai Aceh” yang ditulis Iskandar Norman dan editor Teuku Murdani di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (26/6/2025).

Reza menekankan perdamaian tidak bisa dilepaskan dari konteks perang yang mendahuluinya. Karena itu, suara dari mereka yang berada di lapangan—baik mantan kombatan yang menyerahkan senjata, masyarakat sipil terdampak konflik, hingga aparat TNI yang pernah bertugas di Aceh penting untuk ditampilkan.

“Karena perdamaian atau perang itu bukan hanya berbicara tentang saling melakukan kekerasan, tapi juga ada efek psikologis yang luar biasa yang dialami,” kata Reza.

Selain itu, Reza menuturkan Dua Dekade Damai Aceh cenderung menghindari evaluasi kritis terhadap kinerja Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Ia mencontohkan bagaimana isu alokasi tanah bagi eks kombatan hanya disebut sepintas sebagai pekerjaan rumah, tanpa penjelasan struktural mengenai penyebab kegagalan tersebut. 

Padahal, menurutnya, masalah ini merupakan “utang sejarah” yang sering kali menjadi sorotan masyarakat sipil di Aceh. Kesan umum yang ditangkap, lanjut Reza, adalah bahwa buku ini lebih menyerupai laporan pertanggungjawaban kelembagaan daripada sebuah refleksi kritis terhadap dua dekade perdamaian.

Baca jugaUIN Ar-Raniry & BRA Bedah Buku “Dua Dekade Damai Aceh”

“Meskipun menampilkan banyak capaian, buku ini gagal menghadirkan evaluasi mandiri yang kritis. Misalnya, alokasi tanah untuk eks kombatan disebut sebagai pekerjaan rumah, tetapi tidak dibahas penyebab struktural kegagalannya,” lanjutnya.

Reza juga menyoroti absennya pendekatan metodologis ketat dalam penulisan Dua Dekade Damai Aceh. Ia mengatakan klaim-klaim yang dibuat, seperti jumlah sekolah yang dibangun atau bantuan yang disalurkan, tidak didukung oleh data primer atau sekunder yang dapat diverifikasi. Banyak data tampaknya bersumber dari ingatan atau laporan internal tanpa ada upaya verifikasi lapangan. 

Hal ini, menurut Reza, menjadi catatan penting bagi kredibilitas akademik buku tersebut, apalagi jika buku ini ingin diposisikan sebagai referensi sejarah damai Aceh bagi generasi ke depan.

Dua Dekade Damai Aceh Buku Penting

Meski demikian, Reza tidak menafikan pentingnya keberadaan buku Dua Dekade Damai Aceh. Ia menekankan buku ini tetap menawarkan satu kronik sejarah yang relevan dan dan memiliki nilai pemanfaatan jangka panjang. 

“Buku ini akan menjadi buku yang sangat penting. Jadi, percayalah, walaupun saya mengatakan beberapa hal tadi yang barusan, tapi buku ini menawarkan satu kronik sejarah yang penting yang nantinya itu bisa dipergunakan oleh berbagai lembaga,” ujarnya.

Ia juga menyebut buku ini dapat dipergunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti UIN Ar-Raniry, terutama mengingat hingga saat ini belum ada kurikulum resmi yang secara khusus membahas tentang pendidikan konflik Aceh. 

Padahal, menurutnya, hal tersebut telah menjadi pembicaraan sejak lima tahun terakhir, tetapi belum juga terealisasi dalam bentuk mata kuliah atau program pendidikan formal.

Momentum dua dekade damai Aceh ini, menurut Reza, seharusnya bisa menjadi pijakan untuk memulai pendidikan damai dalam kurikulum perguruan tinggi.

Ia menyampaikan harapan agar narasi sejarah damai tidak berhenti sebagai dokumen institusional, tetapi menjadi bagian dari refleksi dan pembelajaran generasi muda, terutama generasi Z yang kini menjadi lapisan terakhir masyarakat yang masih memiliki sedikit pemahaman tentang konflik Aceh. 

Jika tidak segera dimasukkan ke dalam sistem pendidikan, ia khawatir narasi damai Aceh hanya akan tinggal sebagai catatan sejarah yang kehilangan makna substantifnya.

Artikel SebelumnyaSaat Diam Bukan Lagi Emas
Artikel SelanjutnyaBLK Juli Akan Jadi Kampus Sekolah Rakyat Perintis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here