BPS: Penyebab Kemiskinan Karena Makan Nasi, Minum Kopi dan Merokok

BPS: Penyebab Kemiskinan Karena Makan Nasi, Minum Kopi dan Merokok
Warung kopi. Foto: Novi Saputra/Getty Images.

Komparatif.ID, Jakarta— Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan konsumsi beras, rokok, dan kopi sachet menjadi penyebab kemiskinan di Indonesia pada Maret 2025. Ketiga komoditas ini mendominasi pengeluaran masyarakat, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, dan berdampak besar terhadap klasifikasi tingkat kemiskinan.

Dalam laporan resmi BPS, beras tercatat sebagai komoditas dengan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan. Di wilayah perkotaan, kontribusi beras mencapai 21,06 persen, sedangkan di wilayah perdesaan angkanya lebih tinggi, yakni 24,91 persen. Posisi kedua ditempati oleh rokok kretek filter, yang menyumbang 10,72 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan 9,99 persen di perdesaan.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dari temuan pada periode September 2024, beras tetap menjadi penyumbang utama garis kemiskinan dengan proporsi 21,01 persen di perkotaan dan 24,93 persen di perdesaan. Rokok kretek filter juga menempati urutan kedua pada periode tersebut dengan kontribusi masing-masing 10,67 persen di perkotaan dan 9,76 persen di perdesaan.

Lebih lanjut BPS mencatat proporsi pengeluaran masyarakat terhadap rokok ternyata lebih tinggi dibandingkan sejumlah bahan makanan pokok lainnya. Telur ayam ras, misalnya, hanya menyumbang 4,50 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan dan 3,62 persen di perdesaan. Sementara itu, daging ayam ras tercatat sebesar 4,22 persen di perkotaan dan 2,98 persen di perdesaan.

Baca juga: Strategi Mengeluarkan Aceh dari Kemiskinan & Ketergantungan

Bumbu masak seperti bawang merah, cabe rawit, dan gula pasir tercatat berada di bawah komoditas seperti rokok dan kopi dalam daftar kontribusi terhadap garis kemiskinan.

Untuk komoditas non-makanan, biaya tempat tinggal menjadi penyumbang terbesar dengan proporsi 9,11 persen di perkotaan dan 8,99 persen di perdesaan. Sementara itu, bahan bakar seperti bensin menempati posisi berikutnya dengan kontribusi masing-masing 3,06 persen dan 3,03 persen.

Garis kemiskinan sendiri merupakan batas minimum pengeluaran yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, baik makanan maupun non-makanan. Jika pengeluaran seseorang berada di bawah angka tersebut, maka ia dikategorikan sebagai penduduk miskin.

BPS menghitung garis kemiskinan secara lokal di tingkat kabupaten atau kota dengan memperhatikan dua komponen utama, yakni garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan. Untuk wilayah perkotaan, porsi garis kemiskinan makanan sebesar 73,67 persen, sedangkan di perdesaan lebih tinggi, yaitu 76,07 persen. 

Angka ini dihitung berdasarkan kebutuhan energi minimal sebesar 2.100 kilokalori per kapita per hari. Sisanya berasal dari komponen non-makanan seperti kebutuhan sandang, papan, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Penetapan garis kemiskinan juga mempertimbangkan perbedaan biaya hidup di tiap daerah. Provinsi dengan harga barang dan jasa yang lebih tinggi, seperti DKI Jakarta, akan memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan biaya hidup lebih rendah seperti Yogyakarta. Oleh karena itu, tingkat upah, harga sewa, biaya transportasi, dan harga pangan turut memengaruhi besaran garis kemiskinan regional.

Pada Maret 2025, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Angka ini menjadi tolok ukur untuk menentukan status kemiskinan secara nasional dan digunakan sebagai dasar dalam perumusan kebijakan sosial dan ekonomi.

Artikel SebelumnyaRio Ginting Pemalak Kedai Aceh di Medan Ternyata Anak Polisi
Artikel SelanjutnyaGurihnya Ketupat Jembut, Makanan Khas Semarang yang Disajikan Khusus Saat Syawal

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here