
Komparatif.ID, Banda Aceh— Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bireuen memamerkan berbagai inovasi hasil program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) pada Festival Literasi Aceh di Perpustakaan Wilayah Aceh, Banda Aceh.
Program yang juga dikenal sebagai Pusat Pelayanan Kepustakawanan Berbasis Inklusi Sosial ini dirancang untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan kolaboratif dengan perpustakaan di tingkat desa.
Perwakilan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bireuen, Susi, menyampaikan keikutsertaan mereka di Festival Literasi Aceh untuk mempromosikan konsep literasi yang lebih luas. Ia menekankan literasi tidak hanya berhenti pada aktivitas membaca buku, tetapi juga mencakup inovasi dan kreativitas yang menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat.
“Kami ingin memperkenalkan program kolaborasi literasi berbasis TPBIS. Literasi bukan hanya soal membaca, tapi bagaimana bisa melahirkan produk-produk yang berdampak langsung kepada masyarakat,” ujar Susi kepada Komparatif.ID, Selasa (2/9/2025).
Stan yang ditampilkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bireuen menjadi salah satu daya tarik pengunjung festival. Sejumlah produk UMKM yang lahir dari program TPBIS dipamerkan, mulai dari makanan olahan, kerajinan tangan, hingga produk karya pelaku usaha disabilitas.
Baca juga: Pemkab Bireuen Gandeng Kejari Tangani Masalah Hukum Perdata dan TUN
Salah satu produk yang paling menonjol adalah keripik pepaya buatan anggota Perpustakaan Gampong Lueng Daneun. Produk tersebut pernah meraih juara pertama dalam kompetisi, menjadi bukti literasi bisa menghasilkan inovasi dengan nilai ekonomi.
“Kami mengembangkannya dengan berinovasi dan berkreasi melalui produk-produk yang ada, sehingga literasi memiliki nilai tambah dan berdampak langsung pada masyarakat,” tambahnya.
Selain itu, stan Bireuen juga memamerkan berbagai kerajinan tangan, seperti perabotan dapur berbahan kayu jati, gerabah dari tanah liat, dan piring dari pelepah pinang.
Produk-produk ini menunjukkan kreativitas masyarakat yang dibina melalui program literasi inklusif. Tak hanya kerajinan, pengunjung juga dapat menemukan ragam kuliner lokal, mulai dari keripik pisang, keripik sukun, keripik ubi, hingga makanan tradisional seperti wajik dan dodol.
Lebih jauh, produk-produk yang ditampilkan juga mencakup karya pelaku UMKM disabilitas, termasuk pakaian seperti daster dan tas. Ia berharap ke depan lebih banyak produk berbasis literasi yang lahir dari masyarakat desa.
“Harapan kami, semoga semakin banyak produk-produk literasi yang bisa dikembangkan, karena potensi UMKM di daerah sangat besar,” ucapnya.
Festival Literasi Aceh 2025 menjadi momentum bagi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bireuen memperlihatkan perpustakaan dapat berfungsi lebih dari sekadar tempat membaca.











