Bilik Asmara untuk Pengungsi, Mengapa Penting?

bilik asmara
Warga terdampak banjir bandang mengungsi di gudang milik warga di Desa Sumuran, Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Di kamp pengungsi, keberadaan bilik asmara merupakan hal yang sangat penting. Pengungsi yang hidup dalam kondisi tak menentu, mengalami stress tingkat tinggi. Bercint* bersama pasangan yang sah merupakan salah satu obat paling mujarab.

Selain itu ketika libido naik, penyalurannya tidak bisa ditunda. Bila harus diembargo, maka akan melahirkan masalah baru; uring-uringan, sakit kepala, stress meningkat, dan ujung-ujungnya melahirkan disharmoni di tengah pengungsian.

Saya mau berbagi cerita. Dulu, ketika menjadi pengungsi konflik di sebuah pengungsian, saya menyaksikan seorang pria yang mudah sekali marah. Dia tidak ramah kepada siapapun. Sedikit saja terjadi salah bicara, tensinya langsung naik.

Baca: 3 Lokasi Susuk Ani-ani untuk Menggaet Suami Bunda

Tak ada nasihat yang masuk ke dalam kepalanya, hingga akhirnya diam-diam dia “menghilang” dari kamp pengungsian, setelah mendapatkan izin bawah tangan dari seorang tokoh.

Izin itu disertai catatan, bila dia mengalami hal buruk di jalan, penanggung jawab posko, tidak disalahkan. Saya tidak tahu apakah kesepakatan tersebut tertulis atau tidak. Hal yang pasti, lelaki itu dan istrinya, diam-diam meninggalkan posko pengungsian. Mereka pulang ke rumahnya.

Sorenya si pria yang waktu itu berusia kira-kira 40 tahun, kembali ke pengungsian. Wajahnya berseri-seri. Rambutnya disisir rapi, ia ramah kepada siapapun.Demikian juga istrinya. Lebih ramah ketimbang sebelum mereka diberikan izin pulang sebentar.

Tidak lama kemudian muncul bilik asmara di tengah kamp pengungsian. Karena lokasinya terlalu di tengah—menjadi pusat perhatian, akhirnya bilik itu kosong. Siapa sudi bercinta di dalam sebuah ruangan, sementara orang lain tahu bahwa sepasang suami istri sedang bercinta di dalamnya.

Di sisi lain, setiap hari selalu saja ada pasangan suami istri yang minta izin pulang sebentar dengan alasan menjenguk kebun, menjenguk binatang peliharaan; atau sekadar ingin menjenguk rumah.

Semua orang tahu bahwa itu bukan alasan yang sebenarnya. Karena faktanya mereka nekat pulang ke rumah demi satu hal; melampiaskan hasrat—bentuk kasih sayang paling penting—yang telah tertimbun akibat dari kondisi tidak ideal.

Bilik Asmara untuk Penyintas Bencana Alam

Lalu, bagaimana dengan korban bencana alam yang berada di pengungsian? Perlukah bilik asmara untuk mereka. Jawabannya, sangat perlu. Korban bencana alam—tepatnya penyintas bencana alam, tetap membutuhkan bilik asmara. Karena mereka tak mungkin pulang ke rumah, karena rumahnya sudah tidak bisa dihuni lagi.

Pemerintah perlu menyediakan bilik asmara untuk mereka. Bilakah itu akan dipergunakan? Bila dibangun dengan pola lama, tentu banyak yang enggan menggunakannya.

Bilik asmara yang terlalu mencolok akan dijauhi oleh pasangan suami istri. Mereka tentu tidak mau ketika mereka sedang berbagi kasih sayang, orang di luar bilik mengetahui. Bahkan menjadikan mereka sebagai lelucon.

bilik asmara
Bilik Asmara yang disiapkan di Tempat Pengungsian di Desa Deyangan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Minggu (15/11/2020). Foto: Tribunyogya.

Ingat juga, tidak menyediakan bilik asmara, merupakan sebuah kesalahan. Pasangan suami istri, apalagi yang masih produktif dalam urusan biologis, tentu membutuhkan ruang mengaplikasikan rasa kasih sayang dalam bentuk yang satu itu.

Lalu, bagaimana caranya? Pemerintah perlu menyediakan tenda skala rumah tangga. Setidaknya setiap kepala keluarga mendapatkan satu.

Tenda itu tidak disebut sebagai bilik asmara, tapi ruang lebih aman untuk keluarga di tengah pengungsian. Tapi fungsinya akan ganda. Selain sebagai hunia darurat keluarga, sekaligus menjadi ruang privat bagi suami istri bertemu, dan kemudian memadu kasih.

Pemerintah/pengelola pengungsian tidak perlu mengajari pasangan suami istri mencuri waktu untuk bertemu dalam urusan itu, karena mereka lebih paham.

Tugas pemerintah sediakan saja tenda per kepala keluarga, dan biarkan ayah dan ibu yang menentukan kapan mereka akan saling “berdiplomasi” dalam urusan itu.

Percayalah, bilik asmara merupakan sesuatu yang sanagt urgent. Keberadaannya sangat menentukan stabilitas kamp pengungsian. Karena hidup dalam ketidakpastian, apalagi beramai-ramai dalam satu atap, memicu tekanan yang sangat tinggi. Pria dan wanita akan sama-sama menderita.

Aspirasi arus bawah yang tidak tersalurkan, akan menimbulkan gejolak. Dan ini selalu saja terjadi. Gara-gara merasa diperlakukan tak adil di pengungsian, melahirkan perkelahian. Gara-gara sepotong ikan asin, menimbulkan kericuhan.

Sebagai catatan tambahan. Bekali setiap pasangan sah tersebut dengan karet pengaman. Mengapa?

Pertama, dengan skala kerusakan akibat banjir dan tanah longsor yang memuncak pada Rabu, 26 November 2025, kemungkinan besar kondisi ekonomi tidak akan pulih dalam dua tiga tahun ke depan.

Bila tidak dibekali karet pengaman, sembilan bulan kemudian akan terjadi ledakan kelahiran. Ini sangat tidak ideal. Anak yang lahir berpotensi besar mengalami stunting.

Kedua, berkasih sayang dalam kondisi terburu-buru, sedikit peluang mendapatkan keturunan yang unggul. Banyak hasil penelitian menunjukkan fakta itu.

Dengan demikian, meskipun banyak pasangan enggan menggunakan karet pengaman—dengan alasan utama; rasanya tidak alami, tapi mereka harus diedukasi, dalam kondisi saat ini—darurat—tanpa menggunakan karet pengaman, masalah baru akan timbul di kemudian hari.

Akhirnya, mari terus melakukan yang terbaik untuk Aceh yang lebih baik.

Artikel SebelumnyaBanjir Tewaskan 37 Warganya, Raja Maroko Luncurkan Bantuan Darurat Nasional
Artikel SelanjutnyaPemkab Pidie Minta APH Tindak Pangkalan LPG 3 Kg yang Jual di Atas HET
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here