
Komparatif.ID, Jakarta– Bank Indonesia (BI) melaporkan membeli Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder dengan nilai mencapai Rp200 triliun. Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan langkah itu merupakan bagian dari sinergi dengan Kementerian Keuangan melalui mekanisme burden sharing.
Dana yang dihimpun dari pembelian surat utang pemerintah tersebut sebagian dipergunakan untuk mendukung pembiayaan program-program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, termasuk pembangunan perumahan rakyat hingga penguatan koperasi desa.
“Per kemarin kami telah membeli SBN sebesar Rp200 triliun, termasuk untuk kebutuhan debt switching,” kata Perry dalam rapat virtual bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (2/9/2025).
Perry menjelaskan kebijakan ini merupakan bagian dari upaya bank sentral mendorong pertumbuhan ekonomi, selain melalui instrumen moneter berupa penurunan suku bunga acuan yang telah dipangkas lima kali sejak September 2024.
Burden sharing sendiri bukan hal baru dalam praktik koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia. Skema ini pertama kali dijalankan pada masa pandemi Covid-19 pada 2020 ketika pemerintah membutuhkan dukungan pembiayaan tambahan untuk menangani krisis kesehatan dan ekonomi.
Dalam praktiknya, BI membeli obligasi pemerintah di pasar perdana sehingga turut membantu menutup defisit anggaran.
Menurut catatan Badan Supervisi Bank Indonesia, burden sharing merupakan bentuk kerja sama antara otoritas fiskal dan moneter dalam menghadapi situasi luar biasa. Konsep ini mengacu pada pembagian beban finansial antara pemerintah dan bank sentral, terutama dalam kondisi tekanan ekonomi yang mengancam stabilitas nasional.
Baca juga: NasDem Minta DPR Hentikan Tunjangan dan Gaji Ahmad Sahroni
Meski dianggap efektif pada masa krisis, kebijakan burden sharing juga menimbulkan perdebatan terkait risiko jangka panjang. Melansir Tempo, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai keterlibatan BI dalam skema ini berpotensi mengurangi independensi bank sentral.
Ia mengingatkan BI seharusnya tetap berdiri bebas dalam menentukan kebijakan moneter tanpa tekanan fiskal dari pemerintah.
Selain soal independensi, Bhima menyoroti risiko inflasi dari skema ini. Menurutnya, pembelian SBN oleh BI pada dasarnya sama dengan pencetakan uang baru. Bertambahnya jumlah uang beredar berpotensi menurunkan nilai rupiah dan meningkatkan harga barang. Ia menegaskan, dalam jangka panjang langkah ini bisa menekan daya beli masyarakat.
Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Maret 2022 juga mencatat risiko lain dari burden sharing, yaitu beban besar pada neraca bank sentral. IMF memperkirakan jika suku bunga acuan meningkat hingga 6 persen pada akhir 2025, total biaya yang harus ditanggung BI dari kepemilikan SBN bisa mencapai Rp164 triliun sepanjang periode 2023–2025.
Di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak pada kepercayaan investor. Rupiah tercatat melemah sekitar 12 persen terhadap dolar Amerika Serikat dalam tiga tahun terakhir meski tingkat bunga sudah relatif tinggi.











