
Komparatif.ID, Banda Aceh—Majelis Seniman Aceh (MaSA) menggelar gala amal bertajuk Ie Mata Nanggroe, pada Minggu (28/12/2025) malam di Taman Budaya, Banda Aceh.
Acara tersebut dikemas dalam Perayaan Internasional Laksamana Keumalahayati yang diperingati setiap 1 Januari.
Ketua Umum Majelis Seniman Aceh (MaSA) Chairiyan Ramli, menyebutkan acara bertajuk Ie Mata Nanggroe dan Spirit Keumalahayati akan dimeriahkan oleh para seniman.
Baca: Masjid Kogokariyan, Membebaskan Jamaah dari Masalah
Para seniman seperti Krakuistik, Gitahandayani, Seulanga, Puisi Teatrikal (Sparta), Orang Utan Squad, Bur’am feat Thak Peut, serta berbagai talent lainnya.
Event tersebut digelar sebagai perayaan hari lahir Keumalahayati yang ke-475, setelah UNESCO pada 2024 lalu menetapkan 1 Januari 1550 sebagai hari kelahiran laksamana perempuan pertama di dunia tersebut.
Sebagai penghormatan terhadap kontribusi Laksamana Keumalahayati terhadap sejarah Aceh, maka tanggal 1 Januari dijadikan sebagai hari perayaan internasional.
“Ini sebagai bentuk refleksi semangat Laksamana Keumalahayati. Dengan merefleksi kembali semangat tersebut , kami berharap masyarakat Aceh yang baru ditimpa musibah bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah longsor bisa segera pulih dan bangkit kembali,” ujar Chairiyan Ramli.
Chairiyan Ramli menambahkan, para seniman Aceh yang tergabung dalam MASA tergerak untuk berbuat sesuatu dalam semangat saling membantu, saling menguatkan. Serta mengajak masyarakat untuk ikut peduli berdonasi membantu meringankan sedikit beban masyarakat yangg terkena imbas bencana terutama para seniman di daerah terdampak.
“Maka kita ambil tema acara ini ie mata nanggroe dan spirit Laksamana Keumalahayati. Mengingat kembali kepemimpinan, keberanian, dan kontribusinya dalam membela tanah air, serta menjadikan spirit tersebut sebagai pendongkrak semangat masyarakat Aceh korban bencana,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Panitia Pelaksana Samsul Bahri. Pria yang sering disapa Sarjev ini memaparkan, acara tersebut merupakan sebuah inisiatif para penggiat seni budaya untuk merespon dampak akibat banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Aceh.
Musibah tersebut, katanya, juga telah menyebabkan hanyutnya icon peradaban Aceh seperti rapai Pase dan semua yang ditemukan sudah rusak dibawa banjir.
Sementara rapai Pase setiap 5 tahun dibawa ke Banda Aceh untuk opening art Pekan Kebudayaan Aceh (PKA).
“Kami mengajak siapa pun untuk peduli terhadap warisan indatu yang sudah hadir sejak abad ke-13 ketika Samudera Pase menjadi pusat kajian Islam di Asia Tenggara,” ungkap Sarjev.











