
Komparatif.ID, Aceh Utara– Paloh Raya di Kecamatan Muara Batu, ikut dihembalang banjir Aceh pada Rabu (26/11/2025). Warga yang selamat mengungsi ke Meunasah Paloh Raya. Yang meninggal dikuburkan secara layak.
Zulfadli Kawom, seniman rapai Pasee, juga seorang teknisi cat mobil, juga seorang penyanyi, juga seorang penulis, benar-benar tak bisa tidur nyenyak di Banda Aceh.
Hatinya gelisah; gundah gulana. Istri dan anak-anaknya di Aceh Utara, jauh dari jangkauannya. Komunikasi sulit dilakukan karena Rabu pagi, listrik mulai padam di seluruh Aceh.
Ia kemudian mendapat kabar bila beberapa anggota keluarganya hilang digulung banjir. Air matanya mengalir. Ia tak kuasa menahan tangis.
Bukan Zulfadli namanya bila berlama-lama melankolis. Setelah ia membiarkan diri tenggelam dalam duka, Kawom segera membangun pikiran rasional. Ia mulai menyusun rencana pulang.
Rabu, 3 Desember 2025, ia memulai perjalanan pulang ke Aceh Utara menggunakan sepeda motor Honda Supra. Dia membawa BBM cadangan, pisang, dan apa pun yang bisa ia bawa.
Ia menembus malam. Berteduh di beberapa tempat di Pidie dan Pidie Jaya karena hujan di dalam perjalanan. Saat tiba di jalan elak Trienggadeng-Meureudu, ia harus menerjang air mengalir di atas badan jalan. Supaya aman, ia mengikuti kendaraan roda empat.
Baca juga: Korban Meninggal Banjir Sumatra Tembus 914 Jiwa, Aceh Tertinggi
Kamis (4/12/2025) pagi ia menyeruput kopi di WD Coffee Shop, Bireuen. Ia di sana hingga siang.
Saat sedang menyeruput kopi dia teringat bila listrik masih padam di seluruh Aceh. Hanya tempat -tempat tertentu listrik menyala. Di Paloh Raya, listrik sama sekali tak menyala.
Zulfadli berinisiatif membeli sel surya. Dia menuju Jalan Ramai. Tiba di sebuah toko, sel surya hanya tersisa satu unit. Harganya Rp1,3 juta. Di kantong Zulfadli hanya Rp600 ribu.
Ia keluar toko dengan langkah gontai. Tapi semangatnya tak padam.
Pikirannya menerawang ke Meunasah Paloh Raya. Di sana pengungsi yang sedang kesusahan harus bergelap-gelap pada malam hari. Anak-anak menangis karena menderita bersebab pandangan mereka terbatas. Orang tua yang harus meraba-raba di kegelapan.
Kawom menghubungi teman-temannya. Memberi tahu bila meunasah di gampongnya membutuhkan pencahayaan alternatif, dan dia bermaksud membeli sel surya. Harganya Rp1,3 juta. Di kantongnya tersisa Rp600 ribu.
Donasi segera masuk. Dari pemuda Kruengmane di perantauan, dari aktivis perempuan, dan dari Indonesia Community Perth Australia. Dalam waktu tidak begitu lama, uang terkumpul, cukup untuk satu sel surya.
Pria berambut gondrong tersebut kembali ke toko itu. Ia harap-harap cemas. Alhamdulillah, sel surya itu masih berada di tempatnya.
Ia langsung membeli dan kemudian membawa keluar. Mengikatnya di jok motor, selanjutnya ia kembali menyeruput kopi di WD.
Siang hari, ia bergegas menuju Kutablang, Bireuen. Tiba di tepi Krueng Tingkeum, ia berbelok ke kiri, menuju Kuala Ceurapee. Di sana sejumlah boat melayani penyeberangan.
Dasar Zulfadli. Ia tak langsung menyeberang, meski telah ikut antri. Dia menguntit informasi tentang bisnis penyeberangan di sana. Hahaha, bencana mirip waktu paling pas mencari uang. Ureueng meukarat tetap tak berdaya. Celah itu dimanfaatkan.
Setelah mendapatkan informasi yang cukup, ia balik kanan. Menginap di Matangglumpangdua, di kediaman adik ipar temannya.
Jumat, 5 Desember 2025, ia berhasil menyeberang ke seberang. Ia bergegas menuju Paloh Raya.
Di sana keluarganya telah menunggu. Setelah saking bertanya kabar, Kawom menuju meunasah.
Ia membuka kotak sel surya. Kemudian menjemurnya. Setelah waktu penjemuran mencukupi, ia memasangnya.
Butuh waktu sekitar 10 jam penjemuran, sebelum dipasang untuk pertama kali . Daya tahannya mencapai 6-8 jam, tergantung penggunaan.
“Saya sudah mentransfer ilmu untuk para pemuda gampong korban banjir, tentang bagaimana menggunakan alat ini dan merawatnya. Alat ini sudah canggih (terbaru) karena dilengkapi remote control, kita bisa on/off jarak jauh dan mengatur penggunaan cahaya dari rendah, sedang ke level tinggi serta bisa mengatur timer (waktu mati) secara otomatis,” kata Zulfadli, seniman serba bisa yang juga jenaka.
Kini Meunasah Paloh Raya telah terang di malam hari. Cukup untuk menenangkan bocah, serta lebih dari cukup supaya orang tua tak lagi perlu meraba-raba di gulita.
Listrik PLN belum menyala. Janji terus diundur, dan entah seperti apa Aceh setelah ini.











