Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad yang dirayakan oleh umat Islam setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan kalender Hijriah.
Secara substansi, peringatan ini merupakan bentuk ekspresi kegembiraan atas lahirnya Nabi Muhammad. Sejak abad ke 4 H, peringatan Maulid Nabi Muhammad sudah menjadi sebuah perayaan yang mendarah daging di jiwa umat Islam hingga sekarang.
Walaupun demikian, ada juga sebagian orang Islam yang memvonis bahwa maulid Nabi sebuah Amalan yang tercela lagi sesat alias bid’ah dhalalah. Dengan dalih karena tidak pernah di lakukan atau diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Baca juga: Maulid Nabi di Aceh, 3 Bulan Kenduri untuk Rasul Tercinta
Kebanyakan ulama terdahulu telah sepakat bahwa peringatan maulid bukan termasuk Bid’ah dhalalah tetapi tergolong ke dalam Bid’ah hasanah. Maulid Nabi Muhammad merupakan sebuah bentuk rasa senang, kegembiraan dan rasa cinta atas rahmat yang Allah SWT berikan kepada manusia khususnya umat Islam yaitu, lahirnya manusia paling agung dan mulia Baginda Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Alquran Surat Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا
Artinya, “Katakanlah (Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”.
Di Indonesia, peringatan maulid sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional sejak masa kemerdekaan. Maulid Nabi dimeriahkan dengan berbagai kegiatan yang menarik di seluruh umat muslim Indonesia.
Masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda ketika merayakan Maulid Nabi. Di Aceh begitu banyak cara dan tradisi yang dilakukan masyarakat Aceh dalam menyemarakkan hari kelahiran Nabi atau lebih dikenal dengan Molod Nabi.
Seperti dikè sebuah tradisi di Aceh yang berupa zikir-zikir atau syair-syair yang dilantunkan dengan berbagai variasi irama menarik untuk membakar semangat para anggota meudikè serta masyarakat yang menonton acara meudikè untuk menghadiri maulid.
Adapun isi dari syair dan zikir dikè berupa pujian kepada Allah SWT, doa-doa, kisah-kisah para nabi terdahulu khususnya Nabi Muhammad, serta kisah-kisah yang mengandung manfaat bagi kehidupan.
Agar lebih mengencangkan saraf mata penonton, sebagian grup dikè membumbui zikir dan syair tersebut dengan menggoyangkan badan serta kepala mereka dengan berbagai macam variasi gerakan atau lebih dikenal dikè lingik.
Untuk memperingati maulid, umumnya masyarakat muslim di Indonesia menyambut kelahiran Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan salawat, pembacaan syair barzanji dan diisi dengan ceramah tentang kelahiran Nabi Muhammad, perjuangan dalam menegakkan agama Islam, serta sebagai suri teladan.
Kita sebagai umat yang dicintai oleh Nabi Muhammad serta yang mengharapkan curahan rahmat Allah SWT harus meneladani semua keteladanannya di semua aspek kehidupan. Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Sekadar Maulid Nabi, Tak Meneladani Rasul
Namun demikian, dari sudut pandang penulis yang sempit ini, apa yang kita lihat dewasa ini sama sekali tidak mencerminkan meneladani Nabi.
Banyak umat muslim saat ini khususnya Aceh menjadikan peringatan maulid hanya sebatas acara seremonial saja. Banyak dari kita yang merayakan hanya sebuah bentuk apresiasi dan ikut-ikutan agar tidak malu dengan tetangga.
Ada juga yang menjadikan maulid sebagai ajang hiburan semata serta pesta keluarga berkedok cinta. Tanpa ada perubahan dan pembenahan diri agar menjadi lebih baik.
Ajaran Rasulullah yang disampaikan kembali oleh ulama, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Ironisnya lagi, di hari sakral yang seharusnya suci ini ternoda akibat perilaku manusia yang tidak tahu menahu makna dari maulid itu sendiri.
Di sisi lain mulai datangnya perempuan ke maulid, tanpa didampingi oleh mahram. Bukannya penulis melarang wanita menghadiri maulid Nabi. Akan tetapi, di pusat keramaian yang menjadi titik temu antara dua jenis insan, alangkah baiknya mereka pergi dengan ditemani suami atau mahram terdekatnya.
Karena, jika kita membiarkan hal itu terjadi tentunya akan menstimulasi terjadinya ikhtilat (bercampur baur) antara pria dan wanita. Padahal ikhtilat itu sendiri sangat dilarang keras dalam agama Islam.
Abu Usaid Al-Anshari meriwayatkan bahwa dia mendengar sabda Rasulullah saat Beliau keluar masjid didapatinya laki-laki dan wanita bercampur baur di jalan, Beliau bersabda kepada kaum wanita:
اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَّاتِ الطَّرِيقِ
Artinya:“Menepilah karena kalian tidak layak berada di tengah jalan, hendaknya kalian berada di tepi jalan.”Maka seorang wanita menempelkan tubuhnya di dinding hingga bajunya menempel karena saking rapatnya dia dengan dinding tersebut.“ (HR. Abu Daud dalam Sunannya).
Jelas sekali dalam hadis tersebut bahwa Nabi melarang laki-laki dan wanita berjalan berentetan hingga bercampur aduk di jalan. Apalagi jika ini terjadi di satu perkumpulan dengan zona terbatas di mana antara laki-laki dan wanita larut bak garam dan air di satu gelas di bawah lantunan zikir-zikir pembacaan sirah Nabi.
Fenomena yang tak kalah uniknya lagi, kebanyakan masyarakat baik tua ataupun muda, pria ataupun wanita tatkala menghadiri maulid bukannya ikut berpartisipasi membaca salawat dan zikir-zikir, malah sibuk keluyuran menonton acara kelompok meudikè, memborong aneka jajanan yang diperjualbelikan dan yang mengherankan malah duduk melamun atau membahas hal yang tidak ada wasilahnya dengan maulid.
Oleh karena itu, mari bongkar kebiasaan buruk itu yang telah mengakar di dalam kehidupan kita. Mulai benahi diri dengan menjadikan Nabi panutan hidup. Genggam dengan erat apa saja yang telah dititahkan serta tanamkan di jiwa tentang keteladanan di semua aspek kehidupan kita hari ini, esok, dan seterusnya hingga akhir hayat tiba.
من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح، ومن كان يومه مثل أمسه فهو مغبون ومن كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون
“Barang siapa yang harinya (hari ini) lebih baik dari sebelumnya, maka ia telah beruntung, barang siapa harinya seperti sebelumnya, maka ia telah merugi, dan barang siapa yang harinya lebih jelek dari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat”.
Penulis: Gamal Faraby, santri Dayah Darul Abrar, Aceh Jaya.