Kisah misteri berjudul Bercinta Dengan Kuntilanak ini sudah terjadi puluhan tahun lalu di sebuah gampong di Aceh. Untuk menghormati ahli famili dan menjaga hal-hal yang tidak baik di kemudian hari, penulis terpaksa menyamarkan nama pelaku, daerah kejadian dan saksi-saksi yang ikut menikmati kisah yang unik ini.
Bagaimana cerita misteri Bercinta Dengan Kuntilanak selengkapnya? Simaklah cerita di bawah ini.
Syahdan, pada tahun 70-an menikahlah sepasang sejoli di salah satu gampong pedalaman. Sebut saja pengantin prianya Leman dan pengantin wanitanya Leni. Kedua insan manusia itu hidup bahagian di sebuah gubuk sederhana.
Sebagai lelaki sekaligus suami, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Leman saban hari bekerja di kebun. Berbilang bulan kemudian, kabar bahagia datang. Leni mengandung. Mendapatkan kabar demikian, semakin giatlah Leman bekerja. Pagi-pagi dia sudah berangkat. Dan baru pulang bila senja telah merunduk ke ufuk barat.
Baca: Bangkitnya Arwah Nurma
Kehamilan Leni semakin mendekati hari lahir. Seluruh keluarga Leman dan istrinya sibuk menyiapkan perbekalan menyambut lahirnya sang tamu.
Saat yang ditunggu pun tiba. Malam itu hujan lebat. Leni meraung-raung di kamar. Seluruh isi rumah gelisah. Leman sejak tadi mondar-mandir tak menentu. Ibu mertuanya memerintahkan agar dia segera menjemput Ma Blien (Dukun beranak-pen). Dengan berpayung daun pisang kemudian Leman menembus hujan dan kegelapan.
Satu jam kemudian Ma Blien tiba. Jarak yang jauh dan hujan lebat membuat perjalanan mereka agak terhambat. Saat itu kondisi Leni sudah semakin lemah. Wajahnya sudah terlihat pucat. Melihat kondisi Leni yang sudah sekarat, Ma Blien langsung melakukan tindakan pertolongan.
Leman hendak ikut masuk ke dalam kamar. Akan tetapi dilarang oleh mertua dan Ma Blien. Sesuai dengan reusam (semacam aturan lokal-pen)di masa itu, suami dilarang mendampingi istri melahirkan. Sebab tugas memproses kelahiran bayi adalah tugasnya perempuan.
Leman menunggu dengan gelisah. Petir di luar menyambar-nyambar. Seakan-akan sedang mengabarkan sesuatu. Dan sesuatu itu terjadi.
Leni meninggal dunia. Berikut bayinya di dalam perut. Leman melihat samar wajah istrinya dari cahaya pudar lampu teplok. Dia menangis keras. Mahaduka meraja hatinya.
Kematian Leni menjadikan Leman sebagai lelaki yang tidak lagi mengenal matahari. Saban hari dia mengurung diri di dalam rumah. Bila malam tiba, dia akan duduk di teras gubuknya sambil memainkan seruling. Lantunan bunyi seruling menggurat rasa kecewa yang dalam. Sedih, sepi dan menusuk ulam jantung.
Biasanya Leman baru berhenti meniup seruling bila malam telah merambat menuju pagi.
Beberapa orang tetua kampung menyebutkan bahwa irama seruling yang ditiup oleh Leman adalah sebuah nada duka atas kepergian orang tercinta.
Hingga pada suatu malam seseorang yang kebetulan melintas, menemukan Leman sedang duduk di teras rumah sambil bercengkerama dengan seorang perempuan. Tidak cukup jelas siapa. Sebab cahaya rembulan tidak mampu menerangi serambi gubuk yang dihuni oleh Leman.
Orang itu heran. Sebab satu-satunya rumah di sana hanya milik Leman. Sedangkan tetangga terdekat itu jaraknya satu km dari sana. Lalu siapakah perempuan itu? Karena ada hajat yang lebih penting, orang itu kemudian melupakan teman ngobrol Leman.
Pasca munculnya tamu perempuan itu Leman berubah. Dia sudah mulai keluar di pagi hari. Dia sudah kembali rajin ke kebun. Dia menanam sayur mayur, dan tumbuhan kebun lainnya. Dia baru pulang bila petang menjemput.
Kepada orang-orang yang kebetulan bertanya, dia menjelaskan bahwa dia harus melanjutkan hidup. Dia harus rajin bekerja, sebab tidak lama lagi dia akan mendapatkan kejutan. Saat mendengar itu, orang-orang hanya mengernyitkan dahi sambil berpikir bahwa Leman sudah sinting.
Memergoki Leman Bercinta Dengan Kuntilanak
Teungku Imum Din adalah orang pertama yang menangkap wajah pucat Leman. Rupa duda muda itu sudah seperti manusia tak punya darah. Dia curiga Leman sedang dalam suatu perkara. Mustahil manusia normal, wajahnya mirip mereka yang sudah tak bernyawa.
Hingga akhirnya dia memilih menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tiga malam dia melakukan pengintaian, dia gagal menemukan hal aneh. Pada malam keempat. Saat itu kalau tidak salah tepatnya Malam Jumat. Hampir saja Imum Din menyerah. Namun ketika dia hendak beranjak pulang tiba-tiba suasana menjadi lain.
Dari arah belakang rumah Leman nampak bayang putih berpendar. Meliuk-liuk di kebun kelapa milik Utoh Gani. Pertama dia berpikir itu pencuri. Akan tetapi saat semakin dekat, menjadi jelaslah bila benda gaib itu tidak menyentuh tanah.
Teungku Din memfokuskan perhatiannya pada bayangan itu. Glek! Dia terkejut. Samar-samar dia sepertinya mengenal bayangan itu. Leni! Belum pulih keyakinannya akan bayang itu, kini makhluk itu telah menyelinap ke dalam gubuk itu lewat lubang jendela.
Sejenak kemudian dia mendengar suara orang kenikmatan dari dalam rumah. Mungkinkah mereka bersetubuh? Saat dia mengintip, tidak terlihat apapun. Di dalam gubuk hitam pekat. Hanya suara lelaki dan perempuan yang sepertinya sedang naik “ke bulan” memberikan gambaran bahwa sedang terjadi sesuatu di dalam gubuk itu. Teungku Din berkesimpulan bila pria itu sedang bercinta dengan kuntilanak yang mirip istrinya.
Sebagai seorang imam dan tetua, tentu apa yang dia lihat beberapa malam yang lalu tidaklah dia sebar begitu saja. Hanya kepada orang tertentu dia menyampaikan perihal aneh itu.
Keuchik gampong (kepala desa) nampak prihatin. “Berarti saat ini Leman sedang tidak menguasai dirinya. Iblis-iblis sedang merasuki jiwanya. Mungkin itulah makna irama menyayat seruling itu. Kita tidak boleh berlama-lama. Leman harus kita selamatkan,” katanya dengan nada prihatin.
Maka malam-malam selanjutnya adalah misi pengintaian. Beberapa tetua gampong melakukan proses pengintaian itu hingga beberapa malam. Sama seperti yang dialami Teungku Din sebelumnya. Leni tidak muncul. Hingga mereka jengah dan hendak pulang, tiba-tiba dari kebun kelapa sebuah bayangan terbang. Semakin dekat semakin nyata bahwa itu adalah orang yang pernah mereka lihat.
Seperti biasa. Bayangan putih itu segera masuk melalui lubang jendela. Sejenak kemudian kisah seperti sebelumnya terulang. Para tetua kampung segera memasang formasi penyergapan hantu.
Mereka segara ambil ancang-ancang. Doa-doa pengusir setan pun dibaca dengan lantang. Sejenak suasana menjadi hening. Dalam hitungan menit kemudian sebuah suara mengerikan terdengar dari dalam rumah.
Seperti raungan serigala bercampur bercampur suara musang. Menyayat dan menyedihkan serta mengerikan.
Langsung saja terndengar kegaduhan dari dalam rumah. Seperti ada orang yang sedang berkelahi. Langit seolah-olah ikut mendukung suasana mencekam. Hujan deras turun. Petir menyambar-nyambar.
Sebuah bayangan putih mencelat keluar rumah dengan penuh kemarahan. Bayangan itu meraung-raung sambil menyeringai. Akan tetapi para tetua kampung adalah manusia-manusia pilihan. Pengalaman puluhan tahun dalam menghadapi hal-hal mistik, membuat mereka tidak goyah.
Hingga akhirnya drama itu disudahi dengan kalahnya iblis betina yang mirip Leni. Dengan tubuh basah kuyup Imum Din cs segera masuk ke dalam gubuk. Segera saja dalam kegelapan, dengan disinari sinar senter tiga isi, mereka menemukan tubuh Leman terlentang tak sadarkan diri. Tubuhnya tak dibalut satu helai benangpun. Nampak kucuran keringat membasahi tubuhnya yang pucat. Kemaluannya basah.
***
Sejak peristiwa bercinta dengan kuntilanak terbongkar, Leman tidak nampak di gampong. Kata orang-orang dia diantar berobat ke sebuah dayah di Aceh Timur. Sedangkan kubur Leni sudah dilakukan prosesi pembalikan batu nisan. Ini dilakukan agar tidak bisa lagi jin-jin yang kurang kerjaan untuk menyerupai Leni.
Saat ini Leman sudah menjadi kakek. Dia telah menikah dengan wanita lain. Dan dikarunia anak-anak yang cantik dan manis-manis. Dia sendiri tidak pernah menceritakan pengalaman bercinta dengan kuntilanak. Semoga saja peristiwa yang sama tidak menimpa orang lain.
Ihwal kisah bercinta dengan kuntilanak, diceritakan dari mulut ke mulut oleh berbagai generasi. Namun seperti biasa, sesuai aturan tidak tertulis bahwa cerita itu tidak diceritakan bila ada keluarga Leman atau Leni di antara para pendengar.