
Bendera putih yang berkibar di sepanjang jalan lintas nasional Banda Aceh–Medan, terlihat dari Banda Aceh hingga sampai ke Aceh Tamiang. Di halaman rumah warga dan sudut-sudut kampung yang rusak, kini menjadi simbol kuat krisis kemanusiaan di Aceh sejak banjir dan longsor hebat melanda pada akhir November yang lalu.
Pemandangan ini tampak sederhana dan nyaris sunyi, namun di baliknya tersimpan pesan mendalam dan pesan yang tersirat: jeritan warga yang semakin mendalam, kelelahan dan hampir kehabisan pilihan untuk bertahan hidup.
Bendera putih bukan hanya sekadar simbol menyerah. Dalam konteks bencana Aceh, ia adalah bahasa darurat masyarakat yang paling sederhana dan paling jujur untuk mengatakan bahwa mereka ada, mereka terisolasi, dan mereka membutuhkan pertolongan segera.
Ketika saluran komunikasi formal tersendat, ketika bantuan tak kunjung tiba, kain putih menjadi penanda bahwa cara visual yang dibaca oleh siapa pun yang melintas.
Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh bukan peristiwa sesaat. Curah hujan ekstrem yang berlangsung berhari-hari memicu banjir bandang dan longsor di berbagai wilayah. Memutus akses transportasi, merusak ratusan ribu rumah, serta mengisolasi puluhan kecamatan.
Dari jalan nasional hingga akses kecamatan sampai ke pedesaan terkubur dengan lumpur, jembatan runtuh, dan jaringan listrik serta internet terputus. Sementara itu, bantuan logistik datang terlambat dan belum merata. Kondisi ini membuat banyak warga terisolasi dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup paling mendasar.
Di wilayah seperti Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah hingga ke Pidie Jaya. krisis tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang rusak, tetapi dari lamanya masyarakat bertahan tanpa kepastian.
Persediaan bahan pangan menipis, air bersih sulit diperoleh, layanan kesehatan terbatas, dan pengungsian darurat berlangsung jauh lebih lama dari apa yang diperkirakan. Dalam situasi seperti ini, waktu menjadi faktor paling menentukan: semakin lama bantuan terlambat datang, semakin berat beban sosial dan psikologis yang ditanggung warga.
Bendera Putih sebagai Bahasa Kemanusiaan
Fenomena pengibaran bendera putih yang muncul di banyak titik Aceh bukanlah aksi spontan tanpa makna. Di banyak kampung, warga awalnya mencoba bertahan dengan kemampuan sendiri mengandalkan solidaritas internal, sisa persediaan, dan harapan bahwa bantuan akan segera datang.
Namun ketika hari berganti minggu bahkan mendekati satu bulan, situasi tidak kunjung membaik, kain putih akhirnya dikibarkan sebagai penanda atas keadaan krisis yang dirasakan sampai kapan tanpa kepastian.
Baca juga: Penanganan Banjir Lambat, Wajar Masyarakat Aceh Kibarkan Bendera Putih
Bendera itu menyampaikan pesan yang sederhana namun tegas: “Kami di sini, dan kami butuh bantuan.” Ini bukan bentuk kepasrahan, melainkan upaya terakhir agar keberadaan kami tetap terlihat. Dalam situasi darurat, ketika suara tak terdengar dan akses terputus, simbol visual seperti bendera putih menjadi cara paling efektif untuk menyampaikan pesan terdalam.
Di tengah banjir Aceh yang kian parah dan berkepanjangan, kelelahan warga semakin terasa.
Respons Negara dan Celah di Lapangan
Pemerintah daerah menyatakan bahwa pengibaran bendera putih tidak dimaksudkan sebagai tanda menyerah, melainkan upaya warga menarik perhatian solidaritas rasa simpati. Pernyataan ini penting karena menunjukkan adanya empati dan pemahaman kultural terhadap kejadian tersebut.
Status tanggap darurat memang telah ditetapkan di sejumlah wilayah. Namun di lapangan, status administratif belum selalu berbanding lurus dengan akses bantuan yang cepat dan merata. Masih adanya desa-desa yang terisolasi selama berminggu-minggu menunjukkan bahwa mekanisme tanggap darurat belum sepenuhnya menjangkau kelompok paling rentan dan pelosok pedalaman.
Dari Pemerintah pusat terus menyampaikan empati dan komitmen, sekaligus menyalurkan bantuan logistik, pangan, dan kebutuhan dasar secara bertahap. Melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah juga menyampaikan permohonan maaf atas berbagai kekurangan, dengan mengakui bahwa medan dan kondisi geografis yang berat menjadi kendala di lapangan.
Meski demikian, pemerintah menegaskan akan terus bekerja, memperbaiki kinerja, dan segera memenuhi kebutuhan darurat masyarakat di Sumatera. Pemerintah juga mengapresiasi dan berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan tulus melalui semangat gotong royong, serta berkomitmen mendengar kritik dan masukan masyarakat dalam penanganan bencana di Sumatra.
Kritik Publik dan Suara Kemanusiaan
Di tengah situasi ini, kritik dari masyarakat sipil menguat. Pengibaran bendera putih dipandang sebagai indikator kegagalan sistemik dalam tata kelola bencana. Ketika warga harus mengirim sinyal darurat dengan cara yang begitu mendalam, itu menunjukkan bahwa jalur perlindungan negara belum sepenuhnya bekerja dan merata.
Sebagian kelompok masyarakat sipil mendorong agar status bencana nasional segera ditetapkan dan akses bantuan internasional segera dibuka, mengingat dampak bencana ini sangat luas dan berat.
Bencana kali ini, tidak hanya melanda wilayah pesisir, tetapi menjangkau sekitar 20 kabupaten/kota yang ada di Aceh, dari daerah bibir pantai hingga kawasan pegunungan seperti Aceh Tengah dan sekitarnya.
Kondisi ini berbeda dengan kejadian tsunami tahun 2004, yang hanya berdampak terutama di Banda Aceh hingga pesisir sumatera bagian barat selatan, sehingga bantuan lebih mudah disalurkan melalui jalur laut. Hal ini juga disampaikan oleh Gubernur Aceh yang menyebut bencana ini sebagai “tsunami kedua”, karena ada sejumlah kampung di Aceh yang pada malam kejadian tersapu arus dan hilang tanpa jejak.
Dan dalam wawancara bersama jurnalis Najwa Shihab di program Mata Najwa 7 Desember 2025, raut kesedihan Gubernur Aceh tampak jelas, seolah menyiratkan pesan mendalam tentang beratnya situasi yang dihadapi. Ketika ditanya apakah penetapan status bencana nasional akan menyulitkan pemerintah daerah, pernyataan dan ekspresinya justru menunjukkan bahwa krisis ini telah melampaui kemampuan daerah dan membutuhkan dukungan yang lebih besar dan cepat.
Dalam bencana kali ini, banyak wilayah terisolasi dari mulai pesisir daratan hingga ke pegunungan, sehingga membutuhkan dukungan ekstra, termasuk distribusi bantuan melalui udara. Karena itu, penetapan status bencana nasional menjadi sangat penting dan perlu segera dilakukan.
Status ini sebagai langkah besar agar proses pemulihan berjalan lebih cepat serta membuka akses bantuan internasional. Langkah tersebut bersifat strategis dan mendesak, terutama untuk mendukung rekonstruksi dan rehabilitasi yang skalanya tidak dapat ditangani secara optimal jika hanya mengandalkan mekanisme status tanggap darurat saja.
Martabat Manusia yang Dipertaruhkan
Di Aceh, mengibarkan bendera putih bukan pilihan ringan. Dalam budaya yang menjunjung tinggi martabat, kemandirian, dan harga diri, tindakan tersebut menunjukkan bahwa kondisi sudah sangat mendesak.
Karena itu, bendera putih di tengah bencana harus dibaca sebagai pengingat mendalam akan tanggung jawab kemanusiaan. Hal ini menjadi peringatan bagi para pemangku kebijakan, pimpinan negara, elit kekuasaan, serta masyarakat luas bahwa krisis kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai urusan sesaat, melainkan tanggung jawab bersama yang menuntut kepedulian dan tindakan aksi nyata bersama.
Dan kejadian ini mengingatkan bahwa bencana bukan hanya soal alam dan cuaca, tetapi juga soal keadilan sosial, tata kelola, dan kepedulian kemanusiaan kepada Alam dan lingkungan.
Lebih dari sekadar simbol, bendera putih di Aceh adalah panggilan moral. Ia menuntut negara untuk hadir lebih serius, lebih dekat, dan lebih berpihak kepada para korban yang hingga hari ini masih bertahan hidup di antara harapan dan kesedihan. Hadir tidak hanya setelah krisis membesar, tetapi sejak tahap perencanaan ekologis, pengelolaan lingkungan, dan mitigasi risiko berbasis keselamatan jangka panjang keselamatan martabat manusia.
Di lapangan, kain putih terus dikibarkan sebagai tanda darurat. Ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial belum sepenuhnya menjangkau warga yang paling membutuhkan, dan sekaligus menandakan bahwa janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia masih belum sepenuhnya terwujud dalam kenyataan.
Dan secara historis Aceh memiliki sejarah ketangguhan yang luar biasa. Namun kebangkitan sejati tidak diukur dari seberapa cepat infrastruktur diperbaiki, melainkan dari sejauh mana martabat manusia dijaga di tengah krisis.
Selama bendera putih masih harus dikibarkan untuk meminta perhatian, Selama kondisi ini pula masih dalam suasana mencekam, kita patut bertanya: sudahkah negara benar-benar hadir dan memastikan warganya terlindungi secara merata, bahkan setelah hampir satu bulan bencana berlalu?











