Behind Story Kisah Sukses Jaminan Kesehatan Aceh

Jaminan kesehatan Aceh
dr. M. Yani dan Saifullah Abdulgani. Foto. HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Polemik tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Debat kusir yang terjadi kian liar dan jauh dari sikap toleran. Ide pengusiran dari Aceh mereka yang pro dengan bank konveksional pun bergulir ke lini massa. 

Polemik yang mengarah kepada debat kusir ini mestinya segera diakhiri. Komparatif.ID. pun ingat pada program kesehatan yang juga sempat mengundang polemik, yakni Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). JKA digulirkan 12 tahun silam oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. 

Program berobat gratis ini awalnya disambut dengan kontroversi dan bahkan ada  tundingan sebagai bentuk penghamburan dana Otsus demi politik citra sang penguasa. Tapi akhirnya JKA menjadi idola masyarakat dan menjadi rujukan Program Jaminan Kesehatan Nasional. 

Baca: Ekonomi Syariah Indonesia Masih Kekurangan SDM

Berdasarkan referensi yang ada, JKA digulirkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat berobat tapi terkendala karena faktor biaya. JKA satu-satunya model layanan kesehatan  yang bersifat universal coverage di Indonesia, saat ini. Apa yang membuat JKA itu berakhir heppy ending bagi masyarakat Aceh? 

Untuk menjawab ini Komparatif.ID mencoba hubungi Saifullah Abdulgani, salah satu penyusun Program Jaminan Kesehatan Aceh dan sekaligus menjadi Humas JKA hingga tahun 2013. Tak diyana, Jumat (9/6/2023) pagi, pria yang akrab disapa SAG itu memenuhi undangan Komparatif.ID. untuk ngopi di Centra Kopi, Lambhuk, Banda Aceh. 

Sekadar me-refresh ingatan, SAG adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikenal sangat dekat dengan wartawan. Ia pernah diberi mandat sebagai Kabag Humas Setda Aceh, Juru Bicara Pemerintah Aceh, dan sekaligus Juru Bicara Satgas Covid-19 Aceh. 

Ia menghampiri Komparati.ID. dengan canda segarnya. Itu khas pria kelahiran Gampong Raya Tambo, Peusangan, tersebut. Siapa saja yang pernah berkomunikasi dengan SAG tentu tahu, bahwa pria hitam manis tersebut selalu ceria, meski persoalan yang dihadapi sangat pelik. Komparatif mengajak SAG menyeruput kopi pagi untuk sharing ide bagaimana menyikapi polemik revisi Qanun Nomor 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Keuangan Syariah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Qanun LKS, berdasarkan pengalaman suksesnya pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh. 

“Sebenarnya yang lebih patut bercerita tentang riwayat Jaminan Kesehatan Aceh adalah dr. M. Yani, M.Kes—mantan Kepala Dinas Kesehatan Aceh. Namun sambil menunggu beliau mari berbincang-ringan saja,” ajaknya sembari menyeruput kopi robusta yang disajikan dalam gelas kaca.

JKA diluncurkan ke publik pada Juni 2010. Sedangkan pada April 2010 anggarannya sudah tersedia di dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Pemerintah Aceh menempatkan anggaran Rp241 miliar dan bekerja sama dengan PT Askes. Untuk tahap pertama, siapa saja yang berobat hanya perlu membawa fotocopy KTP dan KK. Jumlah warga Aceh yang dibiayai oleh JKA 1,2 juta jiwa. 

Tim perumus tentu saja harus bekerja ekstra selama dua bulan agar JKA dapat diluncurkan 1 Juni 2010. Mereka menyusun pedoman pelaksanaan melalui berbagai rapat hingga larut malam. Alhamdulillah, saat itu tim perumus merupakan himpunan para ahli di bidang kesehatan, dan intens melibatkan Komisi V DPRA. 

Ketika sedang menceritakan proses penyusunan kerangka kerja, SAG melihat mantan Kadinkes Aceh dr. Y. Yani, yang juga punya peran besar dalam perumusan JKA hingga program unggulan tersebut berjalan sukses hingga saat ini.

Dr. M. Yani, meskipun sudah memiliki janji dengan koleganya, bersedia berbagi pengalaman saat mereka menggodok Jaminan Kesehatan Aceh menjadi program yang awalnya dikritik keras, namun kemudian menjadi program yang sangat dicintai rakyat Aceh, dan bertahan hingga saat ini.

“Inilah satu-satunya program dari dana otsus yang sangat terukur. Termasuk dalam pengelolaan anggaran,” sebut dr. M. Yani. 

Pria ramah tersebut berkisah, awal mula dicetusnya Jaminan Kesehatan Aceh karena di awal perdamaian jumlah rakyat miskin sangat banyak di Aceh. mereka sangat terbebani dengan biaya yang harus dikeluarkan saat berobat ke fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit.

Tidak jarang saat itu, kegiatan penggalangan dana di media sosial untuk membantu seseorang yang membutuhkan perawatan medis, namun tak punya uang.

Namun ide melahirkan Jaminan Kesehatan Aceh terbentur kenyataan bahwa di tingkat nasional belum ada modelnya. Artinya Aceh akan jadi model. Bila sukses maka tak jadi soal, bagaimana kalau gagal?

Namun berangkat dari tekad bahwa rakyat Aceh harus diberikan perlindungan di bidang kesehatan, Pemerintah Aceh dan tim perumus bertekad bahwa ide tersebut harus maujud. Sandaran utama mereka adalah universal health coverage (UHC) yang terus didorong oleh World Health Organisation (WHO) supaya dilaksanakan di seluruh negara di dunia.

Para penyusun konsep menyadari bahwa untuk tahap pertama, pedoman yang mereka susun tidak akan sempurna. Untuk itu perlu dibentuk unit pengaduan yang melayani keluhan dan masukan selama 24 jam. Sebagai palang pintu, dipercayakan kepada Saifullah Abdulgani (SAG), yang sudah dikenal luas dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.  

“Pak SAG ini mampu mencari solusi meski persoalan yang dihadapi belum ada solusi,” puji dr. M. Yani sambil terkekeh. 

Tim yang mengelola unit tersebut tidak diberi honor. Setiap pembiayaan operasional selama bertugas ditanggung oleh kantong masing-masing. Tapi demi Aceh, tak menjadi persoalan. Mereka ikhlas bekerja.

Ternyata unit pengaduan yang dipawangi SAG sangat diminati. Warga yang tidak paham prosedur layanan kesehatan seringkali komplain. Warga yang tidak puas terhadap layanan rumah sakit juga komplain. Keluarga pasien yang gagal berkomunikasi dengan rumah sakit, tak kurang mengajukan keluhan. 

Komplain-komplain itu harus selesai sesegera mungkin. Berkat komitmen bersama, didukung oleh Gubernur Irwandi Yusuf, alhamdulillah, semua tertangani dengan baik. Unit komplain justru menjadi “pusat riset” yang hasilnya dijadikan sebagai rujukan memperbaiki regulasi, meningkatkan layanan.

Belajar dari Jaminan Kesehatan Aceh

Hiruk pikuk tolak dan dukung revisi Qanun LKS di Aceh telah menimbulkan jurang perbedaan. Dalam amatan Komparatif.ID, banyak orang yang berbicara tapi tak mengetahui secara pasti mengapa wacana revisi itu muncul. Hal yang diketengahkan kepada publik bahwa ada upaya penggerogotan kekhususan Aceh di bidang ekonomi.

Yani dan Saifullah Abdulgani menolak memberikan komentar tentang dinamika tersebut. Tupoksi mereka tidak di sana. Bidang kerja juga bukan di area itu.

Pun demikian, M. Yani menyarankan adanya unit komplain pelayanan perbankan berbasis Qanun LKS yang bekerja full time seperti unit koplin Program Jaminan Kesehatan Aceh diawal pembentukannya. Tugas unit ini menerima pengaduan dari para pelaku bisnis atau warga biasa, atas berbagai kekurangan pelayanan keuangan berbasis Qanun LKS. 

Komplin-komplin masyarakat akan menjadi referensi bagi semua pihak untuk memperbaiki layanan sehingga LKS menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi Aceh. Apabila keluhan yang dominan pada aspek pelayanan perbankan, maka menjadi dasar (database) bagi lembaga perbankan untuk memperbaiki sistem pelayanannya kepada masyarakat. Apabila ada komplin tentang hambatan bertransaksi antar negara, antar bank, maka pengalaman pelaku transaksi itu menjadi rujukan untuk memperluas jaringan layanan perbankan di Aceh. 

“Saya kira Unit Komplain LKS ini penting ada supaya secepatnya mendapatkan masukan riil. Nantinya bisa dijadikan rujukan utama apakah Qanun LKS yang perlu direvisi, ataukah hanya aspek pelayanan perbankan saja yang harus dikoreksi,” tutup dr. M. Yani, M.Kes, PKK. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here